Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DOKTER spesialis saraf Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Adre Mayza, agak terkejut ketika suatu siang ke datangan pasien perempuan berusia 40 tahun yang berderai air mata. Dengan sedikit bingung, Adre bertanya apa tangisnya karena rasa sakit yang mendera. Ternyata bukan. Perempuan itu mengaku bukan dirinya yang sakit, melainkan suaminya hingga membuat rumah tangga mereka hancur.
"Awalnya saya berpikir, kok, dia pergi ke dokter saraf? Tapi, setelah saya tanya lebih lanjut, dia mengatakan kedatangannya ini dianjurkan seorang psikolog yang mendiagnosis suaminya mengalami kerusakan otak karena kecanduan pornografi," kata Adre saat diwawancarai, Rabu pekan lalu. Pasangan itu sering bertengkar karena sang suami memaksa istrinya melihat video porno. Karena istrinya sering menolak, sang suami mencari sasaran lain. Hingga suatu malam, perempuan itu memergoki suaminya berselingkuh dengan pembantu mereka.
Menurut Adre, ada bagian otak dari suami si perempuan yang rusak akibat kecanduan pornografi. Bagian otak ini disebut lobus prefrontal atau bagian depan otak besar. Bagian ini baru berkembang secara sempurna ketika seseorang memaÂsuki usia 7 tahun. Di bagian lobus pre frontal terdapat subbagian yang disebut prefrontal cortex (PFC). Dari luar kepala, letaknya dapat ditandai di atas alis sebelah kanan.
PFC merupakan pusat kognitif yang berfungsi membentuk nilai dan moral, membuat perencanaan, mengontrol diri dan emosi, menunda kepuasan, mengetahui konsekuensi, serta mengambil keputusan. PFC merupakan bagian yang membedakan otak manusia dengan otak makhluk hidup lain. Bagian inilah yang rusak pada pecandu pornografi.
Dalam prosesnya, otak pecandu pornografi mengeluarkan zat yang disebut Delta FosB. Zat ini dihasilkan saat kepuasan atau kesenangan seseorang terpenuhi. Delta FosB adalah zat yang sama dihasilkan ketika seseorang makan cokelat atau es krim. "Begitu berasa enak, dia pengen lagi yang lebih," ujar Adre. Begitu juga pada pecandu pornografi, Delta FosB terus meningkat sehingga keinginan melihat adegan pornografi ke tingkatan yang lebih tinggi terus terjadi.
Produksi Delta FosB yang terlalu banyak di otak mengakibatkan hormon dopamin—pencipta rasa senang—ikut meningkat. Akibatnya, timbul keinginan untuk mengulang kejadian yang membuat rasa senang itu dengan cara mencari media pemuasan. Pada pencinta es krim, media pemuasannya gampang: tinggal membeli es krim dan memakannya. Pada pecandu pornografi, media pemuasannya dari masturbasi, mengintip, sampai melampiaskan kepada lawan jenis, sejenis, hingga akhirnya pada anak-anak, bahkan binatang.
Selain berfungsi sebagai pencipta rasa senang, dopamin berfungsi sebagai neurotransmitter atau penghantar rangsang pada sel-sel saraf otak. Bila dopamin diproduksi terlalu banyak, dapat mengganggu kinerja hantaran rangsang otak. "Akibatnya, seseorang menjadi sangat aktif dan agresif," kata Adre.
Kerusakan otak pecandu pornografi dapat terlihat dalam gambar yang diambil melalui mesin magnetic resonance imaging (MRI). Kerusakan otak pecandu pornografi muncul dalam warna yang berbeda dari penampang otak seseorang yang normal. Gambar yang muncul hampir sama dengan kerusakan otak orang yang mengalami cedera kepala pada kecelakaan mobil, orang yang kecanduan narkoba dan nikotin, serta orang yang mengalami obesitas.
Adre menunjukkan proses kerusakan berawal di bagian tengah depan otak yang ditandai oleh warna kontras yang tidak begitu luas. Kemudian secara perlahan warna kontras ini semakin luas ke bagian depan hingga belakang otak seiring dengan meningkatnya derajat candu yang didapat.
Selain dapat terlihat melalui MRI, kerusakan otak dapat terlihat dari uji neurotransmitter atau kadar dopamin dalam otak. Pecandu pornografi secara otomatis memiliki jumlah dopamin lebih banyak daripada orang normal. "Bahkan dopamin mereka sampai menekan produksi hormon oksitosin, yaitu hormon yang memiliki fungsi menenangkan. Makanya jadi agresif," ucap Adre.
Karena otak bekerja dengan sistem yang berkaitan satu sama lain, bila salah satu fungsi terganggu, akan menular ke fungsi lain. Salah satu bagian yang ikut rusak adalah sistem pengatur emosi, rasio, dan perilaku, yang semuanya ada di otak besar. Sistem ini disebut sistem limbic. "Makanya seorang pecandu pornografi perilakunya di luar kontrol karena berusaha memenuhi kebutuhan biologis tanpa melibatkan emosi di dalamnya," kata Adre.
Kecanduan ini pada akhirnya memicu produksi hormon lain yang identik dengan hormon yang dihasilkan tubuh secara alamiah saat seseorang melakukan hubungan suami-istri. Maka konten pornografi, menurut psikolog anak dan keluarga dari Yayasan Kita dan Buah Hati, Elly Risman, secara tidak langsung telah mengaktifkan saluran seks dari kepala hingga kaki dengan cara yang tidak alami dan menetap di otak.
Elly menyatakan PFC baru matang pada umur 25 tahun. Artinya, sebelum memasuki usia tersebut, seseorang belum mampu mengontrol diri dan emosi, belum mampu menunda kepuasan, belum mengetahui konsekuensi, serta belum mampu mengambil keputusan. Maka, bila seseorang terpapar gambar porno di usia yang belum matang, ketika dewasa ia dapat dipastikan menjadi pecandu.
"Otak anak akan kaget dan bingung, ditambah lagi dopamin yang menimbulkan sensasi menyenangkan serta memuaskan telah terlanjur banyak diproduksi, membuat berahi, akhirnya menjadi candu dan menagih terus untuk dipenuhi," kata Elly saat diwawancarai di Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia, Senin pekan lalu.
Celakanya, perjumpaan pertama dengan pornografi terjadi pada saat kanak-kanak. Data yang bisa dikumpulkan Yayasan Kita dan Buah Hati pada 2013 menyebutkan hampir 95 persen anak dan remaja terpapar pornografi saat duduk di bangku sekolah dasar. Cara mereka terpapar kebanyakan dari Internet. Media inilah yang paling berperan besar dalam penyebaran hal-hal yang berbau pornografi, dari foto hingga video.
"Misalnya iklan atau gambar-gambar yang muncul tiba-tiba di beberapa situs media sosial (pop up), juga beberapa game Internet. Ini membuat seseorang merasa penasaran dan akhirnya malah mengklik," ujar General Manager Yayasan Kita dan Buah Hati, Nia Soewardi, saat diwawancarai di Cilandak, Kamis dua pekan lalu.
Ada pula anak-anak yang terpapar karena kelalaian orang tua. Nia mencontohkan orang tua yang lupa menaruh gadget-nya di sembarang tempat tanpa menggunakan password.
"Misalnya baru membuka video porno yang jadi bahan pergunjingan bersama teman, tapi lupa ditutup," kata Nia.
Cheta Nilawaty
Empat Tangga Bencana
1. Terpapar gambar porno
Reaksi yang muncul adalah rasa malu tapi ingin tahu. Dopamin mulai terpicu keluar, yang menimbulkan sensasi senang dan puas.
2. Eskalasi
Yaitu kebutuhan untuk melihatnya lagi dan lagi. Peningkatan ini terjadi karena gambar yang sama tidak lagi membuat orang yang melihatnya merasa terangsang. Reaksi yang terjadi, seseorang akan mencari variasi gambar porno dengan tingkatan yang sama.
3. Disensitisasi.
Pada tahap ini, otak tidak lagi merasa sensitif terhadap gambar yang sudah pernah dilihat dan akhirnya merasa bosan. Reaksi yang muncul adalah dengan mencari gambar porno dengan tingkatan yang lebih tinggi. "Pecandu akan menggunakan waktu yang lebih lama di Internet untuk menemukan gambar-gambar yang lebih ekstrem yang mampu meningkatkan dan memelihara tingkat rangsangan yang dibutuhkannya," kata Elly.
4. Acting out.
Pelaku yang sudah terangsang luar biasa akan melakukan apa yang dilihatnya. Awalnya, menurut Elly, pecandu bisa saja mewujudkannya dengan masturbasi, kemudian intensitas masturbasi bertambah. Setelah bosan, mereka melampiaskan kebutuhan seksualnya kepada lawan jenis, lalu meningkat ke sesama jenis. Lama-kelamaan akhirnya dilampiaskan kepada golongan yang lemah. "Makanya ada yang melampiaskan ke anak kecil atau bahkan binatang," ujarnya. Dalam tahapan ini, persepsi mahluk di hadapan pencandu pornografi sudah melenceng jauh. Elly mencontohkan, seorang pecandu pornografi yang sudah parah melihat obyek yang dilihatnya tidak lagi bentuk asli. Misalnya orang yang baru dikenal atau anak kecil dalam pandangan pecandu pornografi adalah obyek seksual.
Kerusakan otak pecandu pornografi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo