IMRAN bin Muhammad Zein, halnya tersenyum mendengar tuntutan
hukuman mati baginya. Ia malah mengatakan tidak perlu memberikan
pembelaan.
Namun, dalam sidang Sabtu 20 Februari -- seminggu setelah
tuntutan -Imran berubah. Ia meminta agar Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman yang
seringan mungkin. "Saya adalah anak yang paling disayang emak,
dapat dibayangkan perasaan emak mendengar saya dituntut hukuman
mati," kata Imran dengan suara serak dan linangan air mata.
Emak Imran, Nyonya Darmais, 50 tahun, tidak begitu terkejut
mendengar tuntutan hukuman mati itu. "Tapi sebagai orang tua
tentu saja kami sedih," katanya kepada TEMPO di edan.
Sebelumnya, ibu setengah tua ini sudah kehilangan putranya
Wemdy, adik Imran yang tertembak sebagai salah satu pelaku
pembajak:m pesawat terbang DC-9 Garuda, "Woyla" di Bangkok
beberapa waktu lalu.
Dokumen CSIS
Wanita yang melahirkan Imran itu mengaku berdoa kepada uhan
setiap malam. "Kalau anak saya bersalah supaya hukumannya
diringankan," pintanya. Namun, ia siap pula menerima keadaan
lain, "Jika Tuhan menghendaki anak saya dihukum mati, itulah
yang akan terjadi," katanya pasrah.
Pembajakan Woyla, salah satu perbuatan Imran yang dikatakan
Jaksa Zukri sebagai bukti bekas imam itu melakukan subversi.
Sebelumnya serangkaian kekerasan telah dilakukan anak buah Imran
berdasarkan perintahnya. Antara lain penyerangan pos polisi,
Kosekta Cicendo di bawah pimpinan Salman, menyebabkan tiga orang
anggota polisi tewas.
Imran juga dikatakan jaksa terbukti memerintahkan pembunuhan
terhadap tiga anggota jamaah yang "membelot": Koptu Najamuddin,
Suyono dan dr. Syamsuddin. Dua terakhir luput dari percobaan
pembunuhan itu.
Tindakan kekerasan itu menurut jaksa, tidak terlepas dari
rentetan peristiwa sebelumnya. Masih merantau di Mekah, bekas
preman Medan itu diangkat sebagai imam oleh teman temannya, pada
1976. Ketika itu, kata jaksa, jamaah Imran sudah berniat untuk
"menegakkan syariat Islam dan mengganti Pancasila dengan hukum
Islam." Untuk itu mereka mengusahakan bantuan dari negara-negara
asing baik senjata maupun materi.
Sekembalinya di Indonesia, setahun kemudian, Imran aktif
memberikan pengajian di Cimahi, Jawa Barat, di Sumatera Barat
yang isinya menghantam ulama seperti Natsir, Hamka, yang
dianggap Imran penakut dan melacur. Juga terhadap tokoh-tokoh
pemerintah, dan Presiden. Tahun 1980, Imran diangkat sebagai
imam oleh jamaahnya di Cimahi dan semua anggota jamaahnya
dibaiat (disumpah) untuk setia kepada Imam Im, begitu
panggilannya.
Setelah itu Imran menurut jaksa, memerintahkan anak buahnya
untuk mencari senjata, baik dengan mencuri atau merampasnya dari
alat-alat negara. Imran juga menulis surat kepada Imam Khomeini
di Iran, dengan cap Dewan Revolusi Islam Indonesia dan mengutus
anggotanya Mahrizal (juga salah seoran pembajak Woyla yang
mati) untuk membawa surat itu ke Iran. Isinya: menjelaskan
terbentuknya Dewan Revolusi Islam di Indonesia yang bertujuan
untuk menggulingkan pemerintahan Soeharto.
Tapi baik di pemeriksaan persidangan maupun dalam pembelaannya
Sabtu itu, Imran membantah jaksa. Menggebu-gebu sejak awal
sidang, Imran menganggap banyak saksi-saksi yang juga anggota
Jamaahnya berkhianat. Ia membantah ikut merencanakan pembajakan
pesawat Woyla, pembunuhan Najamuddin dan Suyono. "Yang saya
akui hanyalah perintah untuk membunuh Syamsuddin, karena ia
memfitnah saya," ujar Imran. Selain itu ia hanya mengaku
diberitahu oleh anggota-anggota jamaahnya.
Aktor Intelektual
Imran membenarkan memerintahkan anggotanya mencari senjata,
"karena menurut dokumen CSIS kami orang Islam akan dilindas
setelah Pemilu 1982," alasannya. Dokumen dari lembaga pengkajian
studi-studi strategis internasional yang diketuai oleh Daoed
Joesoef itu, kini Menteri P & K, menurut Imran, didapatnya dari
Jenderal Purnawirawan Ishak Juarsa. Sebab lain, Imran merasa
umat Islam selalu dicurigai oleh pemerintah, padahal aktivitas
umat Kristen tidak pernah dipersoalkan, seperti penye baran
agama Kristen dari rumah ke rumah. "Padahal tanpa orang Islam
negara ini tidak ada," ujar Imran seperti berkhotbah.
Namun di akhir pembelaannya, Imran, 32 tahun, meleleh sendiri.
Selain mengingatkan emaknya, ia juga meminta perhatian hakim
akan nasib anak-anaknya yang membutuhkan pendidikan dan
kehadirannya.
Tim pembela Imran dalam pleidoinya, Senin lalu, menganggap
banyak hal yang tidak terungkap dalam kasus Imran. "Banyak hal
yang merupakan misteri dan mengundang tanda tanya, apakah di
balik peristiwa ini tidak ada tangan tersembunyi yang
menggerakkan?" tanya Abdurahman Saleh, salah seorang pembela
Imran.
Selain dari dokumen dan keterangan Ishak Juarsa yang dibantah
kembali oleh aksi itu, Abdurahman mempersoalkan juga peranan
Najamuddin. Anggota jamaah yang kemudian dibunuh oleh kelompok
Imran di rumah tersangka sendiri, kata Abdurahman, dicurigai
sebagai intel. Sebab, seperti dikatakan Imran, Najamuddin yang
merencanakan penerangan Pos Polisi Cicendo, namun bebas
setelah peristiwa itu. "Yang lain termasuk Salman, ditangkapi,"
kata Imran. (lihat box)
Abdurahman Saleh, tidak melihat kasus yang dibelanya itu hanya
sebagai kasus Imran. "Saya lebih cenderung menamakan kasus itu
sebagai kasus Najamuddin," ujarnya. Alasan pengacara dan
direktur LBH Jakarta ini, peranan Najamuddin dalam kasus itu
sangat besar. Ia tangan kanan Imran, dan semua surat-surat
Imran melaluinya," ujar Abdulrahman. Tapi ia juga tidak
menganggap almarhum Najamuddin sebagai otak, "ia hanya
pelaksana, ada aktor intelektual yang tidak bisa diungkapkan
persidangan," ujar pembela itu.
Tim pembela melalui Abdurahman Saleh mengajukan pertanyam kepada
majelis hakim: "Benarkah terdakwa ini seorang teroris,
ataukah ia orang Islam muda yang terpojok, ataukah ia seorang
anak manis dari Medan yang menangis di depan sidang karena
teringat emak yang sangat mencintainya?" tanya Abdurahman Saleh.
Tentu majelis yang diketuai Hakim Soebandi jua yang berkewajiban
menjawabnya dalam utusan lakim yang diperkirakan jatuh bulan
depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini