Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dituntut hukuman mati

Imran, terbukti melakukan tindakan subversi: mendalangi penyerangan pos polisi cicendo, otak pembajakan pesawat woyla dan anti pancasila. jaksa menuntut hukuman mati, tapi dia minta keringanan.(nas)

27 Februari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IMRAN bin Muhammad Zein, halnya tersenyum mendengar tuntutan hukuman mati baginya. Ia malah mengatakan tidak perlu memberikan pembelaan. Namun, dalam sidang Sabtu 20 Februari -- seminggu setelah tuntutan -Imran berubah. Ia meminta agar Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman yang seringan mungkin. "Saya adalah anak yang paling disayang emak, dapat dibayangkan perasaan emak mendengar saya dituntut hukuman mati," kata Imran dengan suara serak dan linangan air mata. Emak Imran, Nyonya Darmais, 50 tahun, tidak begitu terkejut mendengar tuntutan hukuman mati itu. "Tapi sebagai orang tua tentu saja kami sedih," katanya kepada TEMPO di edan. Sebelumnya, ibu setengah tua ini sudah kehilangan putranya Wemdy, adik Imran yang tertembak sebagai salah satu pelaku pembajak:m pesawat terbang DC-9 Garuda, "Woyla" di Bangkok beberapa waktu lalu. Dokumen CSIS Wanita yang melahirkan Imran itu mengaku berdoa kepada uhan setiap malam. "Kalau anak saya bersalah supaya hukumannya diringankan," pintanya. Namun, ia siap pula menerima keadaan lain, "Jika Tuhan menghendaki anak saya dihukum mati, itulah yang akan terjadi," katanya pasrah. Pembajakan Woyla, salah satu perbuatan Imran yang dikatakan Jaksa Zukri sebagai bukti bekas imam itu melakukan subversi. Sebelumnya serangkaian kekerasan telah dilakukan anak buah Imran berdasarkan perintahnya. Antara lain penyerangan pos polisi, Kosekta Cicendo di bawah pimpinan Salman, menyebabkan tiga orang anggota polisi tewas. Imran juga dikatakan jaksa terbukti memerintahkan pembunuhan terhadap tiga anggota jamaah yang "membelot": Koptu Najamuddin, Suyono dan dr. Syamsuddin. Dua terakhir luput dari percobaan pembunuhan itu. Tindakan kekerasan itu menurut jaksa, tidak terlepas dari rentetan peristiwa sebelumnya. Masih merantau di Mekah, bekas preman Medan itu diangkat sebagai imam oleh teman temannya, pada 1976. Ketika itu, kata jaksa, jamaah Imran sudah berniat untuk "menegakkan syariat Islam dan mengganti Pancasila dengan hukum Islam." Untuk itu mereka mengusahakan bantuan dari negara-negara asing baik senjata maupun materi. Sekembalinya di Indonesia, setahun kemudian, Imran aktif memberikan pengajian di Cimahi, Jawa Barat, di Sumatera Barat yang isinya menghantam ulama seperti Natsir, Hamka, yang dianggap Imran penakut dan melacur. Juga terhadap tokoh-tokoh pemerintah, dan Presiden. Tahun 1980, Imran diangkat sebagai imam oleh jamaahnya di Cimahi dan semua anggota jamaahnya dibaiat (disumpah) untuk setia kepada Imam Im, begitu panggilannya. Setelah itu Imran menurut jaksa, memerintahkan anak buahnya untuk mencari senjata, baik dengan mencuri atau merampasnya dari alat-alat negara. Imran juga menulis surat kepada Imam Khomeini di Iran, dengan cap Dewan Revolusi Islam Indonesia dan mengutus anggotanya Mahrizal (juga salah seoran pembajak Woyla yang mati) untuk membawa surat itu ke Iran. Isinya: menjelaskan terbentuknya Dewan Revolusi Islam di Indonesia yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan Soeharto. Tapi baik di pemeriksaan persidangan maupun dalam pembelaannya Sabtu itu, Imran membantah jaksa. Menggebu-gebu sejak awal sidang, Imran menganggap banyak saksi-saksi yang juga anggota Jamaahnya berkhianat. Ia membantah ikut merencanakan pembajakan pesawat Woyla, pembunuhan Najamuddin dan Suyono. "Yang saya akui hanyalah perintah untuk membunuh Syamsuddin, karena ia memfitnah saya," ujar Imran. Selain itu ia hanya mengaku diberitahu oleh anggota-anggota jamaahnya. Aktor Intelektual Imran membenarkan memerintahkan anggotanya mencari senjata, "karena menurut dokumen CSIS kami orang Islam akan dilindas setelah Pemilu 1982," alasannya. Dokumen dari lembaga pengkajian studi-studi strategis internasional yang diketuai oleh Daoed Joesoef itu, kini Menteri P & K, menurut Imran, didapatnya dari Jenderal Purnawirawan Ishak Juarsa. Sebab lain, Imran merasa umat Islam selalu dicurigai oleh pemerintah, padahal aktivitas umat Kristen tidak pernah dipersoalkan, seperti penye baran agama Kristen dari rumah ke rumah. "Padahal tanpa orang Islam negara ini tidak ada," ujar Imran seperti berkhotbah. Namun di akhir pembelaannya, Imran, 32 tahun, meleleh sendiri. Selain mengingatkan emaknya, ia juga meminta perhatian hakim akan nasib anak-anaknya yang membutuhkan pendidikan dan kehadirannya. Tim pembela Imran dalam pleidoinya, Senin lalu, menganggap banyak hal yang tidak terungkap dalam kasus Imran. "Banyak hal yang merupakan misteri dan mengundang tanda tanya, apakah di balik peristiwa ini tidak ada tangan tersembunyi yang menggerakkan?" tanya Abdurahman Saleh, salah seorang pembela Imran. Selain dari dokumen dan keterangan Ishak Juarsa yang dibantah kembali oleh aksi itu, Abdurahman mempersoalkan juga peranan Najamuddin. Anggota jamaah yang kemudian dibunuh oleh kelompok Imran di rumah tersangka sendiri, kata Abdurahman, dicurigai sebagai intel. Sebab, seperti dikatakan Imran, Najamuddin yang merencanakan penerangan Pos Polisi Cicendo, namun bebas setelah peristiwa itu. "Yang lain termasuk Salman, ditangkapi," kata Imran. (lihat box) Abdurahman Saleh, tidak melihat kasus yang dibelanya itu hanya sebagai kasus Imran. "Saya lebih cenderung menamakan kasus itu sebagai kasus Najamuddin," ujarnya. Alasan pengacara dan direktur LBH Jakarta ini, peranan Najamuddin dalam kasus itu sangat besar. Ia tangan kanan Imran, dan semua surat-surat Imran melaluinya," ujar Abdulrahman. Tapi ia juga tidak menganggap almarhum Najamuddin sebagai otak, "ia hanya pelaksana, ada aktor intelektual yang tidak bisa diungkapkan persidangan," ujar pembela itu. Tim pembela melalui Abdurahman Saleh mengajukan pertanyam kepada majelis hakim: "Benarkah terdakwa ini seorang teroris, ataukah ia orang Islam muda yang terpojok, ataukah ia seorang anak manis dari Medan yang menangis di depan sidang karena teringat emak yang sangat mencintainya?" tanya Abdurahman Saleh. Tentu majelis yang diketuai Hakim Soebandi jua yang berkewajiban menjawabnya dalam utusan lakim yang diperkirakan jatuh bulan depan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus