Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dari mana si putih datang

Orang yang memilih golput lebih banyak di kota dan kaum terpelajar. Golput "tradisional" biasanya pindah ke Golkar.

30 Mei 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA pecah "Kejadian Yogya" pekan lalu, golput seolah ditahbiskan menjadi partai keempat. Tak hanya "tanda gambar"nya yang diarak. Para pendukungnya di Yogya kini mengacungkan empat jari dengan menekuk ibu jari ke dalam untuk menyatakan diri pendukung golput. Seorang pengamat menduga, golput tumbuh subur di kalangan masyarakat kota yang kesadaran politiknya tinggi. Untuk mendapat gambaran lebih jelas tentang golput, TEMPO mengerahkan wartawan dari enam Biro TEMPO di enam kota besar -- Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Palembang -- dan berhasil mewawancarai 269 orang sumber berita yang terdiri dari anak muda dan terpelajar. Dari hasil wawancara itu, ternyata banyak hal menarik yang bisa digali. Menurut pilihan sumber TEMPO, di Yogya, Bandung, dan Surabaya pemilih yang mau golput dalam Pemilu 1992 nanti ternyata lebih besar dibandingkan PPP atau PDI. Ini memang baru perkiraan. Ada yang menilai, basis golput adalah masyarakat kota yang cenderung banyak menerima berbagai informasi. Yang menarik, dari wawancara dengan sumbersumber TEMPO, jumlah golput di Jakarta -- yang dianggap pusat informasi -- kalah pesat ketimbang kota-kota lainnya. Barangkali, ini akibat terserapnya pendukung golput oleh partai politik dan Golkar di Jakarta. Kalau diingat, Golkar sejak 1989 sudah berhasil merangkul para kawula muda yang merupakan pangsa terbesar golput dalam Forum Dinamika Jakarta. Kenyataan bahwa golput lebih besar di lima kota yang lain dibandingkan Jakarta mungkin bisa diterangkan dengan meminjam teori Daniel Dhakidae, yang pernah meneliti perilaku golput dalam Pemilu 1971. Dulu, kata Daniel, golput berasal dari kalangan elite, baik dalam hal penguasaan informasi maupun kedekatan terhadap pusat kekuasaan. Kaum ini memiliki kesadaran politik yang tinggi. Namun, Daniel memperkirakan, sekarang ini golput "baru" bukan lagi berasal dari elite tadi, tapi sudah "turun kelas" baik dalam sosial politik maupun ekonomi. Ini, ujarnya, "akibat trauma dari bulldozer politics atau politik hantam kromo." Contohnya, bisa saja masyarakat Kedungombo kini memilih golput akibat proses pembangunan waduk yang mereka rasakan kurang adil. Hasil lain dari wawancara TEMPO menunjukkan, rupanya orang golput bisa dianggap lebih sadar politik ketimbang calon pencoblos dua partai politik dan Golkar. Ketika ditanyakan soal siapa calon-calon legislatif yang nanti pada 1993 akan duduk di Senayan, calon pemilih Golkar dan PPP memiliki pengetahuan yang sama baiknya. Hampir 25 persen mereka itu tahu persis siapa itu Rachmat Witoelar, Abdurrahman Wahid, A.M. Saefuddin, Laksamana Sukardi, Kwik Kian Gie, atau Jakob Tobing. Namun, orang golput rupanya memiliki pengetahuan lebih baik tentang calon-calon anggota legislatif ini. Sekitar 40 persen pemilih golput menjawab benar siapa calon tadi. Yang paling "parah" urusan mengenal calon anggota DPR/MPR ini adalah pencoblos PDI, sekitar 16 persen. Kalau dilihat dari Pemilu 1982 dan Pemilu 1987, pemilih golput termasuk kelompok orang-orang yang "betah" di kotaknya. Artinya, sebagian besar pemilih golput adalah sumber TEMPO yang pada 1982 juga memilih "Partai Putih" itu. Kalaupun ada perpindahan, orang golput cenderung meloncat ke Golkar dibandingkan ke dua kontestan lainnya. Malah, persentase perpindahan orang golput ke Golkar, antara dua pemilu tadi, sama besarnya dengan jumlah orang PPP yang "membelot" ke Golkar. Sementara itu, jumlah orang PDI yang menyeberang ke Golkar lebih besar lagi, yakni hampir dua kali lipat dari jumlah golput ke Golkar tadi. Bila dilihat dari kelompok usia, orang golput kebanyakan berusia 23 sampai 35 tahun. Kelompok ini biasanya sudah pernah punya pengalaman mencoblos. Dari segi pekerjaan, pekerja swasta merupakan kelompok yang paling banyak memilih golput, dan baru kemudian kelompok mahasiswa dan pelajar. Data ini agak berbeda dengan kesan umum bahwa sumber golput adalah kampus. Namun, bisa juga terjadi karena proporsi pekerja swasta yang lebih besar dalam pemilihan sumber tadi. Apa sebab orang menjadi golput? "Karena saya menganggap pemilu hanyalah pentas politik semu," ujar seorang wiraswastawan berusia berusia 35 tahun. Lulusan UGM Yogya ini sudah tak menggunakan hak pilihnya sejak Pemilu 1982. Namun, tampaknya Pemerintah tak membiarkan persentase golput naik. Senin lalu, Ketua PPI Rudini dan pimpinan ketiga OPP bertekad menekan angka golput itu. Sebab, menurut Rudini, adanya golput bisa saja mengundang kerawanan. Toriq Hadad, Sandra Hamid, dan Ivan Haris (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus