GOLONGAN putih alias golput, kata bekas Menteri Penerangan Ali Moertopo, ibarat "kentut". Baunya tercium, tapi barangnya tak terwujud. Arief Budiman, salah seorang tokoh Angkatan 66 yang kini staf pengajar Universitas Satya Wacana Salatiga, ketika itu menjawab sindiran tadi dengan mengumumkan proklamasi golput di Jakarta, tepat sebulan sebelum Pemilu 1971. Sejak itu, isu golput sering hidup lagi menjelang pemilu. Bentuknya bisa pamflet, poster, selebaran, atau tanda gambar segi lima kosong di berbagai sudut kota. Dan sudah lazim pula, selalu ada serangan dari Pemerintah atas kaum yang kerap menyerukan bahwa tak memilih adalah hak mereka. Kini, sesudah 21 tahun lewat, ternyata golput sudah lebih dari sekadar "kentut". Golput sudah kelihatan "barangnya". Di Yogyakarta, kaum golput sudah turun ke jalan-jalan, membuat mimbar bebas di kampus, atau mengarak keranda dan meletakkannya di jalan-jalan kemudian dibacakan tahlil yang katanya untuk menghormati arwah demokrasi. Golongan yang dulu sungkan untuk mengekspresikan diri itu kini seperti unjuk diri dan bahkan berkampanye agar rakyat tak usah mencoblos. Kampanye golput ini merisaukan bekas pimpinan Muhammadiyah K.H. A.R. Fakhruddin, yang menetap di Yogya. Pak AR, begitu dia biasa dipanggil, sampai perlu membuat surat terbuka di Kedaulatan Rakyat, edisi Jumat pekan lalu. Isinya menyerukan pada massa PPP dan PDI agar jangan terpengaruh ajakan bergolput. Disebutnya, umat PPP yang golput berdosa, dan umat PDI yang golput berkhianat kepada patriot-patriot bangsa. Pada TEMPO, Kiai Fakhruddin menjelaskan, ia menulis surat itu lantaran melihat bendera dan tanda gambar PPP dan PDI diturunkan di Yogya. Dan bendera putih dikerek. "Kalau sampai golput, yang rugi umat Islam," katanya. Memilih pemimpin yang baik melalui pemilu adalah wajib. "Bila yang wajib ini tak dikerjakan, saya dosa pada Allah. Semua pekerjaan harus dipertanggungjawabkan pada Allah, meski hanya urusan dunia," tutur Kiai Fakhruddin. Setuju atau tidak, tentu terpulang kepada umat. Tapi, apa yang sebenarnya terjadi di Yogya? Barangkali, cerita bisa diawali dari turunnya SK Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu pekan lalu. Isinya melarang pawai dengan sepeda motor dalam masa kampanye. Kebetulan, sehari setelah SK tadi keluar, giliran kampanye jatuh pada PDI, yang dalam putaran sebelumnya berhasil mengumpulkan sekitar 200 ribu massa. Pihak PDI rupanya menilai, SK ini sengaja untuk menghambat massanya. Dan gelombang protes pun mulai bermunculan. Mulanya, saat lepas magrib Kamis pekan lalu, beberapa kelompok pemuda menurunkan tanda gambar serta bendera PDI dan PPP. Aksi ini bergerak cepat. Menjelang tengah malam, Yogya sudah bersih dari tanda gambar dua kontestan pemilu itu. Tak cuma di pusat kota, tapi terus meluas sampai di Bantul, Sleman, dan Kulonprogo. Yang tinggal hanya tanda gambar Golkar. Mengapa PPP ikut-ikutan? "Sebagai sesama partai kecil, kami solider pada PDI yang diperlakukan tak adil," kata Inung Nursani, 25 tahun, Ketua Komisariat PPP di Gondomanan. Dia melihat, banyak massa PDI yang ditilang kendaraannya dan dihalanghalangi menuju tempat kampanye. Maka, secara sukarela, ia dan sekelompok pemuda PPP ikut bergabung dengan pemuda PDI untuk menurunkan segala bentuk atribut partainya. Kamis malam itu, dua jip bercat loreng merah dan beberapa mobil yang ditumpangi pemuda PDI muncul dari sebelah barat Kota Yogya. Di belakangnya, puluhan sepeda motor meraung-raung. Dan ada pula ratusan pemuda yang berbaris. Ada yang bertelanjang dada, ada yang mengenakan kaus putih, ada pula yang mengarak bendera putih. Dua buah keranda dan patung mayat dari kertas koran kelihatan diusung, seraya menggemakan tahlil. Asap kemenyan mengepul semerbak. Mendekati daerah Kauman, yang dikenal sebagai basis PPP, arak-arakan di malam hari itu bertambah ramai. Sekitar dua ribu anak muda itu terus bergerak memasuki Jalan Malioboro di jantung Yogyakarta. Mulailah terdengar teriakan seperti, "Ora adil, ojo nyoblos, golput wae (Tidak adil, jangan nyoblos, golput saja)." Di depan kantor DPRD DIY, di Jalan Malioboro, iring-iringan yang kian bersemangat itu meletakkan keranda yang bertuliskan "Arwah Anak Demokrasi" dan berteriak-teriak kian ramai. Aksi ini baru bubar setelah enam buah mobil petugas keamanan datang dan menghentikan para pemuda tadi. Beberapa pemuda tampak dinaikkan ke atas mobil petugas. Aksi pun bubar ketika jam sudah menunjukkan pukul tiga, Jumat dini hari. Esok harinya, praktis hanya bendera Golkar yang berkibar. Dan hampir di setiap pelosok Yogya, bendera putih dikibarkan setengah tiang. Di antara bendera putih itu, ada kata-kata bernada protes, misalnya "Berkabung" atau "Aku Golput Wae". Dan Yogya benar-benar bersih dari tanda gambar PPP dan PDI. Di pinggir Kali Code, daerah lahan PDI, tak satu pun gambar banteng bertengger. Di Kauman, daerah basis PPP, patung-patung mayat yang terbuat dari kertas koran bergelantungan, juga bendera putih dari kain putih atau kantung-kantung plastik. Di sebuah tembok, ada tulisan cat hitam, "Kami Kecewa Berat, Lebih Baik Tidak Nyoblos". Semua bentuk protes ini, menurut Hamzah Haz, yang Jumat lalu kampanye di Bantul, "Merupakan tanda bagi aparat untuk introspeksi terhadap kebijaksanaan yang tak adil." Toh ia menganggap penurunan bendera PPP bukanlah merupakan suatu aksi untuk golput. Sementara itu, aksi lain terus berjalan. Di jalan antara Yogya dan Bantul, kelihatan ada keranda dipajang di pinggir jalan, ditutup kain batik lusuh. Lucunya, beberapa anak kecil yang belum cukup usia untuk nyoblos berkerumun di seputar keranda, sembari menggumamkan tahlil. Entah siapa yang menyuruh anak-anak di bawah umur itu. Lain lagi yang terjadi di depan Kampus IAIN Sunan Kalijaga. Seusai salat Jumat, kampus mulai penuh. Ternyata, pagi harinya, sudah beredar undangan dari tangan ke tangan untuk hadir di acara yang mereka namakan "Pawai Simpatik dan Mimbar Demokratik". Sebentar saja, sudah sekitar dua ribu orang berkumpul dalam suasana serba putih. Bendera kain putih polos dikibarkan. Para wanita berkerudung putih. Yang lelaki berbaju dan berkaus putih. Di pergelangan tangan atau kepala ada dililitkan kain putih. Silih berganti anak-anak muda ini angkat bicara di mimbar -- berupa tong yang ditegakkan di tengah jalan. Dan sering terdengar ajakan untuk golput saja dalam pemilu nanti. Massa pemuda ini pun menyambutnya dengan acungan empat jari seolaholah ada partai keempat di sini -- disertai teriakan "hidup golput". Upaya menghentikan mimbar bebas ini dilakukan oleh pihak Kapolwil Yogyakarta. Sekitar pukul empat sore, massa bergerak menjauhi kampus IAIN. Aparat keamanan yang dipimpin langsung oleh Kapolwil Kolonel (Pol.) Nana Permana ikut mengawal dari belakang dibantu pasukan antihuru-hara. Di sepanjang jalan, mereka mengacung-acungkan empat jari dan mengajak rakyat di pinggir jalan agar ikut golput. Ternyata, anak-anak muda itu tak pulang ke rumah. Mereka justru bergerak ke arah Kampus Universitas Gadjah Mada, sekitar lima kilometer. Repotnya, barisan ini rupanya sukar untuk tak melakukan perusakan. Ada yang merusak poster dan umbul-umbul Golkar. Ada pula yang tampak mabuk karena menenggak minuman keras. Di UGM, massa pemuda ini diminta Ketua Senat Mahasiswa UGM Anis Baswedan agar menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Sebagian massa ikut, tapi ada juga yang menyanyikan Padamu Negeri, dengan sebagian bait-baitnya diganti jadi "golput". Agak keterlaluan, memang. Dan ini rupanya membuat marah pihak polisi Yogya yang sedari tadi dengan sabar mengikuti para pemuda ini dari belakang. Apalagi pihak polisi juga "kebagian" hujan batu dari katapel yang dibawa anak-anak muda itu. Seorang pemuda dengan katapelnya sempat ditahan. Malam harinya, urusan unjuk rasa terus berlanjut. Kali ini, sekitar seratus pengendara motor mengitari Yogya dalam kecepatan tinggi dan bunyi knalpot yang memekakkan telinga. Kucing-kucingan dengan petugas pun tak terhindari. Setelah empat jam, akhirnya anak-anak muda itu dapat dihalau. Jumat malam itu juga Sri Sultan Hamengku Buwono X mengadakan konperensi pers. Kendati ia mengaku prihatin dengan meluasnya gerakan golput di Yogya, ditegaskan bahwa Golkar akan tetap melakukan kampanye. Sultan tampak menyayangkan adanya kontestan yang tak lagi melakukan kampanye. "Konstelasi sekarang sudah berubah. Dengan kondisi parpol yang surut, golput muncul. Saya khawatir mahasiswa daerah lain akan masuk, dan siapa tahu kampanye Golkar nanti disabot. Jadi, aparat harus tetap konsekuen, jangan sampai citra Yogya dikorbankan," kata HB X. Dengan masuknya mahasiswa daerah lain, HB X khawatir gerakan golput itu akan makin luas. Dugaan HB X ada benarnya. Sabtu pagi, di Kampus IAIN, ada lagi "Kuliah Keprihatinan Demokrasi". Isinya hampir sama saja, ajakan untuk tak mencoblos. Ada poster senada dan pembagian fotokopi tanda gambar golput. "Kuliah" ini dihadiri sekitar tiga ribu mahasiswa dan dijaga ketat oleh sekitar 75 orang aparat keamanan. Namun, dasar anak-anak muda, sesekali terdengar teriakan, "Militer adalah teman kita, karena mereka tak ikut nyoblos." "Kuliah" di IAIN itu akhirnya menghasilkan enam butir "tuntutan" yang dialamatkan kepada DPR RI. Di antaranya, agar Pemerintah menunda pemilu, melindungi hak masyarakat untuk memilih golput, dan mengubah sistem pemilu menjadi sistem distrik. Tadinya, tuntutan ini akan diajukan ke Kejaksaan Tinggi Yogya, tapi pihak keamanan tak memperoleh jaminan bahwa anak-anak muda itu bisa terkendali di jalanan. Akhirnya, pihak keamanan melarang mereka keluar kampus. Buntutnya, pihak keamanan sempat dilempari batu, sebelum akhirnya massa pemuda ini digiring ke dalam kampus. Aksi Golput ternyata tak cuma ada di Yogya. Di Semarang, Rabu pekan lalu, sekitar 200 mahasiswa berbagai perguruan tinggi berkumpul di kampus Universitas Diponegoro, dan mengadakan Apel Siaga Kebangkitan Nasional. Dalam acara itu, sempat juga dinyanyikan lagu "Mars Golput" dan pidato-pidato yang bernada mengajak untuk golput. Hal inilah yang sangat disesalkan oleh Kepala Staf Kodam Diponegoro, Brigjen. A. Makruf. Seharusnya, kata Makruf, setiap warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban tidak memilih golput. Akibat acara tadi, sampai akhir pekan lalu, dua mahasiswa masih diperiksa aparat keamanan. Barangkali, karena sekarang memang musim pemilu, isu golput ini jadi laku. Tanggal 13 Mei lalu, sebagai contoh, ada dua delegasi dari Bandung ke DPR. Front Solidaritas Pemuda Bandung dan Front Solidaritas Mahasiswa Bandung, terdiri dari 19 anak muda, membawa 13 poster dan menghadap Ketua DPR/MPR Kharis Suhud. Isinya pun beraneka ragam, mulai dari tak percaya lagi pada parpol dan Golkar sampai mengajak untuk bergolput. Apa yang dikehendaki anak-anak muda ini? Kapolda Jawa Tengah Mayjen. (Pol.) Aji Komarudin pun bingung. "Kalau dikaji, mereka mau apa, ke mana arahnya, . . . tak jelas. Mereka itu cuma iseng-iseng. Memikirkan negara itu tak gampang," ujarnya. Kalau hanya lewat pernyataan-pernyataan, itu omong kosong. Sekjen Golkar Rachmat Witoelar tak melihat adanya isu makro di tingkat nasional yang menyebabkan golput akan melonjak. Kejadian di Yogya, kata bekas Ketua Dewan Mahasiswa ITB Bandung ini, hanya karena keberatan soal teknis pelaksanaan kampanye, yaitu soal tak boleh reli motor. Alasan yang dikemukakan Rachmat, kalau saja ada masalah besar yang dihadapi mahasiswa, tentulah gelombang protes akan datang jauhjauh hari sebelum itu. Namun, diakuinya, "Generasi muda adalah daerah gelap yang tak bisa diukur." Sjahrir, tokoh Angkatan 1966 dan tokoh Peristiwa 15 Januari itu, menilai demokrasi di sini -- misalnya soal pelaksanaan hak-hak DPR -- belum berjalan sebagaimana seharusnya. Pimpinan Yayasan Padi dan Kapas ini mengambil contoh hak amandemen -- untuk mempertanyakan kebijaksanaan pemerintah -- yang selama 27 tahun tak sekali pun dipergunakan DPR. Contohnya dalam hal hak bujet dalam penyusunan RAPBN. "APBN itu sangat menyentuh rakyat. Pajak makin berat, dan dana Inpres makin kecil, dan ini bisa dirasakan oleh rakyat," kata Sjahrir. Dan DPR tak pernah memakai hak bujet ini untuk mempertanyakan RAPBN yang disusun pemerintah. Akibatnya, kata Sjahrir, gejala skeptis di masyarakat makin meluas. Golput agaknya salah satu "produk" ketidakacuhan itu. Toh angka golput dalam sejarah pemilu di negeri ini bisa dibilang tak ada artinya. Angka terbesar suara yang tak sah didapati pada Pemilu 1977, yaitu 10,4% dari sekitar 70 juta pemilih. Dalam hitungan angka riil, jumlah ini memang meningkat dari pemilu ke pemilu. Namun, tak diketahui persis, apakah suara tak sah ini karena kesalahan teknis mencoblos, tak datang memilih, atau sengaja tak memberikan suara alias golput. Maka, apakah protes mahasiswa dan "Kejadian Yogya" akan mendorong jumlah golput atau tidak, tentu masih harus dilihat hasil 9 Juni nanti. Sementara itu, kesepakatan tiga kontestan pemilu dan Panwaslak DIY sudah memutuskan untuk membolehkan lagi reli bermotor -- asal dilengkapi syarat-syarat yang diperlukan, seperti SIM dan helm. Dan sejak akhir pekan lalu, bendera dan atribut PPP dan PDI sudah mulai bermunculan lagi di Yogya. Berangsur-angsur, Yogya semarak lagi. Toriq Hadad, Ardian T. Gesuri (Jakarta), R. Fadjri, Faried Cahyono, Rustam F. Mandayun, dan Bandelan Amaruddin (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini