MARIHAT Bandar kini sedang bersolek. Di desa di Kabupaten Simalungun, Sum-Ut, itu rumah-rumah penduduk dikapur putih. Listrik yang tiba-tiba gemebyar membuat daerah itu benderang di malam hari. "Dulu hanya jalan protokol yang diterangi listrik. Kini sudah masuk gang dan rumah penduduk," ujar Syamsul Bahri Saragih, sekretaris desa, bangga. Pekan depan, di desa yang terletak 165 km selatan Medan itu, akan berlangsung Pekan Nasional (Penas) VI Kontak Tani Nelayan, dan di sana Presiden Soeharto akan menyerahkan bantuan untuk rakyat Afrika lewat Dirjen FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian PBB) Edward Saoma. Bantuan yang dikumpulkan dari petani seluruh Indonesia itu merupakan realisasi janji Presiden Soeharto yang diucapkannya pertengahan November tahun silam di Roma, Italia. Waktu itu gemuruh tepuk tangan memang membahana dari peserta sidang ke-23 FAO -- yang diikuti 158 negara-ketika Presiden Soeharto atas nama bangsa Indonesia yang diundang sebagai tamu kehormatan menjanjikan sumbangan 100.000 ton beras dari petani Indonesia kepada rakyat Afrika yang kelaparan. Di peringatan 40 tahun FAO itu pula Indonesia mendapat pujian karena sukses dalam swasembada beras. Bantuan untuk Afrika itu agaknya tak akan disampaikan sekaligus. Pada kesempatan penyerahan di Marihat Bandar nanti, baru tahap pertama yang akan diserahkan. Bentuknya bukan lagi gabah kering tetapi berupa uang. Bila bantuan 100 ribu ton lebih gabah kering itu disetarakan uang, nilainya akan berkisar Rp 17,5 milyar. Ini diperhitungkan dengan harga gabah Rp 175 per kg. Sumbangan tahap pertama yang akan diberikan oleh Kepala Negara itu baru Rp 2,5 milyar. Namun, dana sebesar itu hingga kini belum semuanya terkumpul. Itu yang menyebabkan Kontak Tani dan Nelayan meminta bantuan pemerintah. "Pemerintah harus mengeluarkan dana untuk itu, karena sumbangan ini menyangkut nama baik negara dan bangsa," ujar Nyonya Pertiwi Rukti Sutikno, Sekretaris Kontak Tani dan Nelayan, kepada koran Pikiran Rakyat. Laporan dari berbagai daerah menyebutkan bahwa sumbangan kemanusiaan itu memang kurang lancar. Seperti yang terjadi di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, misalnya. Kabupaten penghasil 212.800 ton padi setahun itu merencanakan menyumbang 632 ton gabah kering. Tetapi menurut Soekiryo Wiryohartono, 56, Kepala Dinas Pertanian di sana, ia tak yakin bisa mengumpulkan gabah sebanyak itu. Diperkirakannya, paling banter hanya tiga perempatnya. "Itu pun baru bisa masuk akhir Desember nanti," ujarnya. Di Desa Hutakarya, Kecamatan Rengasdengklok, Karawang, hingga pekan lalu baru terkumpul dana Rp 20 ribu. Hutakarya diharap menyumbang Rp 1,75 juta. Seretnya dana di Hutakarya dan Sleman disebabkan hasil panen tahun ini merosot terganggu wereng. Selain itu, kebutuhan para petani untuk biaya sekolah anak-anaknya. "Saat ini 'kan musim anak sekolah," ujar Soekiryo. Agaknya, petani di Desa Tanjungrejo, Kecamatan Margoyoso, Pati, Ja-Teng, yang kurang beruntung. Selain penghasilan mereka pas-pasan -- sekitar Rp 750 hingga Rp 1.000 per hari -- 115 di antara 4.000 jiwa penduduknya terserang penyakit cacing tambang yang disebabkan kurang gizi. "Kadar Hb mereka 1,5 hingga 9,5," ujar dr. Sriyadi dari puskesmas setempat. Pada kondisi normal ukuran Hb itu 11-12. "Penderita itu positif kurang gizi," ujar Sriyadi. "Terkadang saya hanya makan nasi karena tak mampu beli beras," ujar Wiryo dengan wajah pucat, tubuh bengkak, dan perut buncit. Meski begitu kondisinya, petani di Tanjungrejo masih diharapkan uluran tangannya untuk sumbangan kemanusiaan. Dari luas desa yang 355 ha, 3 ha di antaranya berupa sawah dan 200 ha tanaman tebu. Dari setiap hektar tebu ditarik sumbangan Rp 10 ribu. "Sumbangan itu langsung ditarik oleh BRI sewaktu setor ke pabrik gula," ujar Sutikno, Kepala Desa Tanjungrejo. Di antara kabar kesuraman itu ternyata ada juga daerah yang bisa melebihi target pengumpulan sumbangan itu. Seperti yang terjadi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Daerah yang terkenal sebagai gudang pangan itu oleh Gubernur Ismail ditargetkan menyumbang Rp 22 juta lebih. Tetapi hingga pertengahan bulan lalu, "Pungutan itu sudah terkumpul sekitar Rp 27 juta," ujar Pandi, petugas Kesra Kabupaten Pati. Tapi dana Rp 27 juta itu masih jauh dari target Bupati Pati sendiri yang menargetkan Rp 392 juta lebih. Target yang lebih dari sepuluh kali lipat target Gubernur itu sudah dihitung Bupati. Ia mengenakan sumbangan 28 kg gabah kering atau sekitar Rp 5 ribu bagi setiap hektar sawah teknis, sawah yang menggunakan pengairan rutin. Sedang sawah setengah teknis dipungut Rp 3.500 atau 14 kg gabah kering. Dan tegalan ditarik sumbangan Rp 1.000 per hektar. Dari sektor pertanian ini Bupati diharapkan uang masuk Rp 183.193.500. Selain itu dari tanaman pangan diharapkan dana Rp 122.198.900. Itu ditarik dari tanaman tebu yang Rp 10.000 per hektar, bahkan dari setiap pohon kelapa sang bupati menarik uang Rp 20. Jadi, di Pati hampir tak ada sesuatu yang lepas dari kewajiban membayar santunan bagi rakyat Afrika itu. Dari sapi perah, babi bahkan termasuk ayam, Bupati menghitung bisa memasukkan Rp 461.000 ke kocek sumbangan. Pelaksanaan ke bawah tak jarang menyimpang. Seperti terjadi di Desa Widorokandang, Kecamatan Kota Pati. Satu hektar sawah teknis bisa kena tarik Rp 5.950. Lebih banyak Rp 950 dari seharusnya. Soalnya, setiap kotak sawah diharuskan membayar Rp 850. Padahal, satu hektar ada 7 kotak. Keanehan lain, bila untuk sawah tadah hujan di tempat lain cukup menyumbang Rp 2.500 di Widorokandang hal itu dipukul rata. Artinya, petani ya harus membayar Rp 5.950. Penyimpangan ini diakui oleh Kamsuri, Kepala Desa Widorokandang."Tapi itu semua berdasar rapat," ujarnya. Menurut pengakuannya, sumbangan berikut kelebihan yang Rp 950 itu, "Disetorkan ke camat." Pekan depan dunia akan menyaksikan kedermawanan rakyat Indonesia. Dalam kondisi lampu kuning buat swasembada beras -- terdapatnya gejala kenaikan produksi yang cenderung makin rendah, seperti dikatakan Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Pangan Wardoyo -- toh kita masih mampu membagi kenikmatan bagi orang lain. A. Luqman, Laporan Biro-Biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini