Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Melarat karena tuak dan tugu

Pemerintah menggerakkan operasi maduma di tapanuli untuk membangkitkan potensi sumber budi daya manusia. 3 kab. berada di bawah garis kemiskinan, bahkan semakin miskin. akibat watak & adat penduduk. (nas)

19 Juli 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI kawasan Tapanuli, Sumatera Utara penduduk kini bergairah meneriakkan kata Maduma. Seperti digambarkan Mohamad Ramli, Direktur Pembinaan Kehumasan Deppen: Keadaannya mirip, seperti di masa awal Republik, orang memekikkan "Merdeka". Itulah hasil kampanye yang dilakukan Sekdalopbang Solihin G.P., pekan lalu. Kampanye itu merupakan langkah awal, sebelum pemerintah menggerakkan apa yang disebut Operasi Maduma. Inilah operasi terpadu yang akan dimulai Oktober mendatang, dengan tujuan memperbaiki taraf hidup masyarakat Tapanuli. Maduma ujar Solihin, "berasal dari bahasa Batak. Artinya: Makhluk sejahtera dan terhormat." Orang Batak, menyebut seseorang sebagai sukses dalam kehidupan, jika ia mencapai tiga hal. Yakni, gabe, yang berarti ia telah berketurunan yang komplet, alias beranak-cucu. Kedua, sangap, artinya terhormat. Dan ketiga, mamora, alias kaya raya. Ketiganya secara ringkas disebut maduma. Kenyataannya, rakyat di tiga kabupaten di Tapanuli masih hidup di bawah garis kemiskinan. Pendapatan per kapita Kabupaten Tapanuli Utara, misalnya, dengan penduduk menurut Sensus 1980 sekitar 700.000 -- hanya Rp 240.000. Akan halnya Kabupaten Tapanuli Selatan, yang berpenduduk 750.000, pendapatan per kapitanya Rp 260.000. Dan, Kabupaten Tapanuli Tengah, dengan penduduk sekitar 170.000, pendapatan per kapitanya Rp 2i9.000. Padahal, pendapatan per kapita Sumatera Utara mencapai Rp 330.000. Kabupaten Tapanuli itu tampak kian miskin, jika dibandingkan dengan pendapatan per kapita nasional sebesar Rp 560.000. Memang, sejauh mata mengamat, rumahrumah penduduk tampak di mana-mana hanya.gubuk yang beratapkan daun nipah. Bahkan, di banyak desa ada kecenderungan kehidupan kian miskin dibanding beberapa dekade yang silam. Itu, misalnya, terjadi di lima desa Aek Raisan, sekitar 25 km dari Sibolga. Pada tahun 1950-an, ketika bom Korea, kawasan ini sangat makmur. Maklum, inilah masa jayanya harga karet, sehingga taraf hidup penduduk kawasan penghasil karet ini pun membubung. Kala itu rumah penduduk umumnya berdinding papan dan beratap seng. "Kemiskinan di wilayah ini hasil proses yang panjang," kata Ali Amran Lubis, Sekwilda Tapanuli Tengah. "Karet dulu primadona. Setelah anjlok, rakyat tetap sukar mencari alternatif lain," tambahnya. Akan halnya Kabupaten Tapanuli Utara, memang alamnya berbukit-bukit dan bergelombang. Tanahnya berupa lapisan tuf -- pasir bercampur tanah liat, serta berkapur. Daerah ini memang hanya cocok buat tanaman keras seperti karet atau kemenyan. Meski mampu menghasilkan hampir 400 ton kemenyan setahun, toh tak banyak yang menetes ke penduduk. Mengapa? Penduduk menjual kemenyan itu hanya Rp 2.000 sekilo. Padahal, setelah diolah oleh eksportir, harganya mencapai Rp 9.000 sekilo. "Bagaimana bisa makmur," kata B.S. Silalahi, Ketua Bappeda Tapanuli Utara. TAPI, kemiskinan itu sebagiannya juga karena watak penduduk Tapanuli itu sendiri. Para wanitalah yang terutama giat bekerja. "Kaum ibu seharian bekerja di sawah dan di ladang, sementara kaum prianya lebih banyak ngobrol di kedai kopi atau di lepau tuak," kata Rudolf Siahaan, Kepala Biro Humas Pemda Sum-Ut. Adat pun menyebabkan penduduk bertindak boros. "Banyak sekali waktu, dana, serta tenaga dikuras untuk pesta adat," kata Rudolf lagi. Sementara itu, meski banyak putra Tapanuli berhasil di rantau, mereka pun tak terdorong untuk membangun kampung halamannya. Para perantau itu lebih banyak membangun tugu keluarga. Operasi Maduma, kata Solihin, bertujuan membangkitkan potensi sumber budi daya manusia di wilayah itu. Karena banyak pemuda yang merantau, katanya, "Dikhawatirkan kelak, yang tinggal di Tapanuli hanya nenek-nenek, kakek-kakek, dan kanak-kanak," katanya. Alam Tapanuli, katanya, tidak tergolong jelek. "Sepanjang tahun ada hujan, bahkan curahnya mencapai 2.000-an mm," katanya. Perkebunan dan peternakan berskala besar masih dapat dikembangkan. Operasi Maduma diperkirakan total akan menelan biaya sampai Rp 166 milyar. Dana itu akan diperoleh dengan fasilitas berbagai kredit. Tapi sebagai awal gerakan, "Bantuan Presiden Soeharto Rp 400.750.000," kata Solihin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus