PENERTIBAN becak, akhirnya, menelan korban. Sukardal, setelah gagal mempertahankan becaknya, lantas memilih gantung diri. Inilah, agaknya, pertama kali seorang tukang becak protes keras atas tindakan Satuan Polisi Pamong Praja, yang lebih dikenal dengan aparat Tibum (ketertiban umum). Efeknya pun panjang. Sekitar 400 pengemudi becak, Kamis 3 Juli lalu, bersatu dalam prosesi mengantar jenazah Sukardal ke pekuburan umum Cibangkong, Bandung. Setelah itu, duka seakan tak habis-habisnya menyelimuti pengendara becak itu. Saban hari dalam sepekan itu, puluhan tukang becak mendatangi kubur rekannya. "Sekitar 100.000 tukang becak di seluruh Jawa Barat menangisi kematian Sukardal," ujar Ganda Suryanegara, Ketua Organisasi Pengusaha/Pengendara Becak Jawa Barat. "Perjuangan mempertahankan becak kini dipersonifikasikan pada Almarhum Sukardal," katanya pada Pikiran Rakyat. Koran terkemuka di Ja-Bar itu berhari-hari pula menurunkan berita ihwal kematian Sukardal. Koran ini menyebut Sukardal sebagai "Pahlawan Pengemudi Becak". Tak hanya berita. Kasus kematian Sukardal itu pun disorot dalam tajuk rencana. Isinya: mengkritik tindakan overacting oknum petugas Tibum. Sukardal dinilai sebagai salah seorang korban kekerasan aparat. "Kita tidak bisa membiarkan kematian Sukardal begitu saja. Kita tidak bisa mengatakan bahwa itu hanya 'suratan nasib' semata. Kita perlu segera mengadakan tindakan, agar kasus semacam Sukardal tidak lagi terulang," tulis koran itu. Peristiwa nahas yang mengguncangkan Bandung itu terjadi tengah malam, 2 Juli silam. Dinihari esoknya, penduduk menemukan tubuh Sukardal tergantung di pohon tanjung, persis di depan rumah No. 5 di Jalan Terate, Bandung. Lehernya terjerat tali tambang plastik. Di leher itu pula terdapat kertas bertuliskan, "Saya mati korban Tibum". Bahkan, sebelum melakukan tindak harakiri itu, Sukardal sempat meninggalkan pesan di tembok luar rumah No. 5 itu. Sukardal menulis, antara lain, "Saya gantung diri karena becak saya dibawa anjing Tibum" "Kalau betul-betul negara hukum Tibum harus diusut". Memang, Sukardal, 53, tukang becak yang tamat SMP itu, bunuh diri setelah berkelahi dengan petugas Tibum. Sekitar pukul 22.00, saat kejadian kawasan Jalan Malabar, malam sesungguhnya telah dicengkam sepi. Di depan warung nasi Emak Cicih, hanya ada tiga orang tukang becak mangkal menanti penumpang. Tiba-tiba, datang mobil Tibum Kodya Bandung -- yang tengah patroli. Jalan Malabar termasuk daerah bebas becak. Petugas Tibum dengan serta-merta lantas mengangkut ketiga becak itu. Tak lama kemudian, meluncurlah dari arah selatan, becak yang dikendarai Sukardal. Sukardal membawa dua orang penumpang. Petugas Tibum menyetop becak Sukardal. Ini becak tak berlampu. Padahal, wajib berlentera di malam hari. Petugas Tibum memerintahkan kedua penumpang turun. Lantas, dengan paksa dua anggota Tibum itu menyeret becak Sukardal, dan hendak menaikkannya ke atas truk Tibum. Perlawanan pun marak. Sukardal mempertahankan mati-matian becaknya. Terang, sebab itulah harta utama dan modal hidup lelaki kelahiran Wates, Yogya, itu. "Becak itu baru beberapa hari lunas kreditnya," kata Yani, seorang dari empat anak Sukardal yang hidup. Setelah menarik becak 18 tahun di Kota Bandung, baru akhir Mei lalu Sukardal berhasil memiliki becak sendiri. "Becak itu dikredit dari seorang kawan Bapak dengan harga Rp 50.000," tambah Yani. Lama juga Sukardal mempertahankan becaknya. "Sampai terjadi perkelahian," kata Mak Cicih, pedagang nasi yang menyaksikan pertarungan itu. Sukardal, tentu saja, tak berdaya menghadapi enam orang petugas itu. Tubuh Sukardal lantas diseret oleh dua petugas, dan hendak dimasukkan ke dalam parit. Tapi ketika itulah, ia memberontak habis-habisan. Ia menerjang, dan mengenai muka seorang anggota Tibum. Akibatnya, para petugas itu bertindak makin kalap. Mereka memaksa Sukardal naik ke truk. Sementara itu, petugas yang lain mengangkut becak Sukardal juga ke truk petugas itu. Ketika mobil itu bergerak, Sukardal kembali memberontak. Ia, memang, berhasil turun, tapi becaknya dibawa petugas. Melihat becaknya itu, Sukardal kembali memburu truk itu. Ia menggandul pada mobil itu, seraya berteriak-teriak histeris, "Saya mau bunuh diri. . . saya mau bunuh diri." Entah berapa jauh Sukardal menggelantung di truk itu. Tapi, yang jelas, ia kemudian datang dengan tertatih-tatih menghampiri warung Emak Cicih. Wanita yang biasa meladeni makan para tukang becak itu sempat berusaha menenteramkan hati Sukardal. Toh, lelaki tua bertubuh tinggi, berwajah lonjong, berambut keriting itu malah berkata, "Tidak. Saya akan bunuh diri. Saya mati malam ini," begitu Mak Cicih menirukan ucapan Sukardal. Sukardal lalu meminta secarik kertas, dan meminjam spidol pada Mak Cicih. "Dengan spidol merah itu Sukardal menulis dua surat," kata Mak Cicih. Yang sepucuk dititipkan pada Mak Cicih, untuk disampaikan pada Yani, anak Sukardal. Isinya: agar Yani mengirim adiknya -- Margaeni (13) dan Joyo (7) ke Yogya. Kecuali itu Sukardal minta agar ia dikuburkan di sisi istrinya di Majalengka. Yang satu lagi bertuliskan "Saya mati korban Tibum", lantas dikalungkan di lehernya sendiri. Lalu, Sukardal pergi meninggalkan warung Emak Cicih. Dan, terjadilah peristiwa itu. Sukardal, yang dikenal sebagai sesepuh tukang becak di Kota Bandung itu, naik ke pohon tanjung yang tumbuh di depan rumah seorang kolonel (pur). Di situlah ia menyelesaikan deritanya -- dengan menggantung diri. Apa komentar komandan Tibum? "Anak buah saya hanya menjalankan tugas," kata Mayor (pur) Setiadipura, Komandan Satuan Polisi Pamong Praja Kodya Bandung. "Kalau mendapat perlakuan yang kelewatan, ya, mereka pun ada hak membela diri," katanya lagi. Ia lantas menunjuk perlawanan Sukardal, yakni sampai menendang muka salah seorang anak buahnya. Ateng Wahyudi, Wali Kota Bandung, memberi uang duka Rp 100.000. "Kasus Sukardal harus diambil hikmahnya," katanya pendek. Dan ia mengimbau agar masyarakat mampu menertibkan diri sendiri -- sebelum ditertibkan petugas. Tapi, korban sudah jatuh, dan itu menimpa wong cilik, dari lapisan sosial paling bawah. Yang, sesungguhnya, tiap hari sudah mengalami frustrasi akibat tekanan hidup. S.H., Laporan Aji Abdul Gofar (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini