TIMOR Timur, kini apalagi dulu, memang bukan surga. Hampir separuh dari daerah seluas 14.619 km persegi itu terdiri dari bukit-bukit batu padas. Di musim kemarau, semak belukar yang menyelimuti bukit-bukit itu menguning, dan pohon-pohon meranggas, dipanggang terik matahari -- yang kadang kala panasnya sampai 35 derajat Celsius. Kesan selintas: daerah ini kerontang dan miskin. Tak semua areal di sini gersang, tentu. Daerah seperti Ainaro, Ermera, Liquica dan Manufahi, misalnya, merupakan daerah-daerah hijau -- penuh kebun kopi. Dari sinilah kopi Timor Timur yang terkenal itu, salah satu kopi Arabica yang terbaik mutunya di dunia, dihasilkan. Tiap tahun, total panen hampir 6.000 ton -- sekitar 2% dari ekspor kopi nasional. Di Timor Timur, sekalipun makanan pokok rakyat adalah jagung, juga ada sawah. Tapi, panen ganda tak begitu dikenal, karena sebagian besar lahan pertanian itu tadah hujan. Maka, tiap tahun, Dolog Timor Timur perlu persediaan beras sekitar 15.000 ton -- sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan pegawai negeri dan ABRI. Sisanya, buat membantu daerah-daerah yang gagal panen. "Sekarang ini, kebutuhan pokok sehari-hari gampang didapatkan di mana-mana," kata August Pereira da Rosa, seorang pekerja bangunan di Liquica. Tak cuma itu yang berubah. Di Ibu Kota Dili, misalnya, kini menjulang bangunan-bangunan baru: kantor pemerintah (rata-rata bertingkat dua), gereja, sekolah, rumah sakit, rumah makan Padang, sampai rumah tinggal Perumnas. Jalan beraspal, di Ibu Kota saja, yang di zaman pemerintahan Portugis cuma 20 km, kini tercatat sepanjang 200 km. Tak heran kalau kini Kota Dili tumbuh menjadi ladang pencarian baru bagi rakyat: baik sebagai kuli bangunan, karyawan kantor, satpam, pelayan toko, maupun pedagang kaki lima. Arus urbanisasi itu membuat jumlah penduduk Kota Dili naik: dari sekitar 15.000 orang, sepuluh tahun lalu, menjadi hampir 60.000 jiwa. Tapi, kota tetap aman. Di pasar-pasar, misalnya, ibu-ibu tanpa khawatir meninggalkan belanjaan mereka di mobil yang tak dikunci. Yang bikin sibuk polisi cuma pelanggaran lalu lintas: ngebut. Tahun 1984, misalnya, tercatat 300 kali kecelakaan lalu lintas. Bagi pegawai negeri dan ABRI, bertugas di Timor Timur juga punya arti tersendiri. Ada nilai tambahan, selain tunjangan bulanan berupa satu kali gaji, untuk pengabdian mereka. Sekwilda Provinsi Timor Timur A.B. Saridjo pernah memberi waktu seminggu untuk berpikir pada sejumlah pegawai baru dari Pusat sebelum mereka mengambil keputusan bekerja di daerah ini. "Siapa tahu mereka berubah pikiran setelah melihat kenyataan di sini," itu alasan Saridjo. Kota Dili, apalagi di desa, memang bukan tempat yang menjanjikan kesenangan. Bioskop cuma satu. Film yang diputar, sekalipun harga karcis sampai Rp 3.000, hampir tak ada yang baru. Sedangkan kehidupan malam cuma terasa di Warung Senggol tempat melepaskan rindu pada masakan Jawa, seperti tongseng, gulai, atau sate kambing. Kompleks pedagang makanan ini terletak di jantung kota, dan buka sampai larut malam. Beberapa waktu lalu, tak jauh dari bandar udara Comoro, Dili, pernah ada tempat hiburan laki-laki. Tempat ini, enam bulan lampau, diperintahkan untuk ditutup. Sebab, akibat mabuk-mabukan, sering terjadi perkelahian di sini. Yang lebih penting lagi, untuk mcncegah para pegawai plesir ke tempat lokalisasi itu pada jam istirahat siang "Dulu, habis jam istirahat, banyak pegawai yang tak balik lagi ke kantor," kata seorang pegawai Kantor Gubernur. "Nggak tahunya mereka nongkrong di sana." Hiburan yang tinggal kini adalah menonton siaran TVRI -- meski kadang kala berakhir pukul 1.30 dinihari. Bagi rakyat, tersedia pesawat televisi umum. Di Dili, jumlahnya hampir 300 pesawat. "Hidup di Timor Timur harus prihatin," tutur seorang istri pegawai negeri. "Gaji memang dobel. Tapi, pengeluaran sehari-hari juga tinggi." Harga sembilan bahan pokok memang relatif stabil: beras, misalnya, Rp 170 per kilo ikan asin Rp 300 per kilo. Tapi, ayam ukuran sedang bisa mencapai Rp 10.000 per ekor. Kota Liquica bcrjarak sekitar 40 km dari Dili -- bisa dicapai satu jam perjalanan dengan mobil. Tiap Minggu, ramai dikunjungi orang yang ingin memancing, atau sekadar bersantai-santai di pondok-pondok yang dibangun di pinggir pantai. Kota Liquica memang tempat menarik untuk piknik. Tapi turis lokal itu belum memberikan pemasukan bagi pemerintah daerah ataupun membuka lapangan kerja baru bagi penduduk setempat. Penghasilan utama rakyat di sini adalah kopi. Luas perkebunan rakyat di Liquica hampir 13.000 hektar -- nomor dua setelah Ermera. Tahun ini, harga minimal kopi Arabica ditetapkan Rp 1.200 per kilo -- musim panen sebelumnya Rp 750. Penetapan harga terendah itu, kata Gubernur Mario Viegas Carrascalao, untuk mencegah para spekulan membodohi petani kopi. "Saya tak ingin para petani kopi itu menjadi sapi perahan," tambah Carrascalao. Mengapa harga minimal itu Rp 1.200? Mengapa tidak lebih tinggi? "Bisa saja lebih tinggi," ujar Carrascalao. "Tapi, belum tentu mendidik." Alasannya: para petani itu, yang sebagian besar buta huruf, perlu diajari cara memanfaatkan uang mereka untuk hal-hal bermanfaat, seperti pemeliharaan kebun. "Soalnya, menerima uang dalam jumlah banyak secara tiba-tiba bisa membuat orang lupa diri, lalu berfoya-foya," tambah Carrascalao. Penduduk Timor Timur memang dikenal gemar pesta, minum bir, dan menyabung ayam. Sekalipun rakyat Liquica, terutama yang punya kebun kopi, lebih makmur, mereka tak begitu beruntung. Siaran televisi belum bisa ditangkap di sini. Daerah yang bisa menangkap siaran televisi di Kabupaten Liquica adalah Bazartete, yang terletak di puncak bukit. Tapi, di Bazartete, belum ada televisi umum. Maka, anak-anak yang ingin menonton televisi, biasanya acara Minggu, menumpang lihat di kantor Koramil kabarnya, satu-satunya rumah yang punya pesawat televisi di Bazartete. Baucau mungkin sebuah citra lain tentang gambaran umum kota dan rakyat Timor Timur. Terletak di kaki bukit, di zaman penjajahan Portugis, Kota Baucau ini merupakan tempat peristirahatan para Papa Bot -- sang pemimpin. Di sinilah dulu berdiri satu-satunya hotel terbaik (kini namanya Hotel Flamboyan) di Timor Timur. Tak aneh kalau rakyat di sini kelihatan punya kepribadian yang khas: tak gampang kagum pada pendatang. Salam sambil membungkukkan badan hampir tak tampak di sini. Baucau, kota nomor 2 di Timor Timur, seperti halnya Dili, juga maju pesat dalam pemekaran kota dan kedatangan pemukim baru. Di Pasar Baucau, kini berdiri dua kedai nasi Padang. Agak jauh ke luar, sekitar dua kilometer, tumbuh kompleks perumahan pegawai dan perkantoran baru. Di sinilah dibangun stadion dan gedung olah raga, masing-masing senilai Rp 400 juta, yang disebut Gubernur Carrascalao pembangunannya tidak sesuai dengan bestek. Tapi, "pemborongnya sudah berjanji akan memperbaikinya," kata Carrascalao. Ia menambahkan, dari kedua bangunan tersebut, baru stadion yang dibayar Pemerintah Daerah Timor Timur, dan itu pun baru 75%. Semula kompleks olah raga itu, kata Carrascalao, akan diresmikan bersamaan dengan pembukaan Pekan Olah Raga Daerah, September depan. Tampaknya harus diundur. Akhir Juni lalu, pekerja stadion masih sibuk meratakan lapangan sepak bola yang kemiringannya sampai 3,5% -- padahal yang ditolerir hanya 0,5%. Sementara itu, gedung olah raga, yang kuda-kudanya roboh, harus dirombak banyak. Diperkirakan perombakan memakan waktu beberapa bulan. "Apa boleh buat, Porda terpaksa ditunda," ucap Carrascalao. Di Baucau, hasil utama bukan kopi melainkan kelapa dan beras. Luas kebun kelapa di sini hampir 8.000 hektar, sawah berpengairan 7.000 hektar, dan sawah tadah hujan hampir 2.000 hektar. Tahun lalu, Baucau surplus beras sebanyak 30 ton, sehingga bisa membantu daerah sekitarnya. Memasuki Venilale, desa kelahiran Gubernur Carrascalao, Anda akan menyaksikan suasana lain. Di sini ada panti asuhan anak yatim piatu, yang dihuni sekitar 30 orang, laki-laki dan perempuan. Sebagian dari mereka itu kehilangan orangtua akibat perang saudara lalu, sebagian lagi karena bapak atau ibu mereka mati sakit. Toh suasana masa lalu itu tak membuat orang berjalan tergopoh-gopoh. Para wanitanya masih tetap gemar menari, sedangkan kaum prianya masih suka memainkan alat musik tradisional, seperti puput tanduk dan suling bambu. Dan, adalah desa tetangga Venilale, Desa Uma Ana Ulo, yang tahun ini terpilih sebagai Desa Terbaik di Kabupaten Baucau. Menurut Camat Venilale Marcelino Gutteres, Desa Uma Ana Ulo dinilai berhasil dalam empat hal: aman, tertib dalam administrasi, sukses memanfaatkan potensi alam, dan berhasil menggalakkan partisipasi masyarakat pada pemerintah. Di Venilale, juga di beberapa desa lain Anda akan melihat banyak bangunan yang belum siap. Bangunan empat tiang dengan atap sepuluh lembar seng itu tak berdinding. Rumah serba tanggung itu adalah rumah bantuan Departemen Sosial. Tak heran kalau penduduk tetap saja bermukim di gubuk mereka yang beratap daun dan berdinding pelepah lontar. Kabarnya, nilai rumah bantuan Depsos itu Rp 500 ribu per buah. Mana cukup, 'kan? Lautem adalah sebuah kabupaten masa depan. Ibu kotanya: Los Palos -- terletak di atas bukit, dan berhawa sejuk seperti Puncak. Sebelum Timor Timur menjadi provinsi ke-27, Los Palos terkenal sebagai daerah penghasil ternak. Sisa-sisa ranch kepunyaan orang-orang Portugis dulu masih terlihat, tapi ternaknya sudah tak ada. Beberapa tahun silam, muncul gagasan membuka perkebunan tebu, sekaligus dengan pabrik gulanya, di Los Palos. Bahkan pelabuhan untuk pengapalannya sudah disiapkan pula: di Com, yang berjarak sekitar 50 km dari Los Palos. Jalan penghubung antara Los Palos dan Com (lebar delapan meter dan berlapis aspal hotmixed), yang dikerjakan oleh tim Zikon AD di bawah pimpinan Mayor Toto S., Juli ini telah siap pakai. Maka, jarak Los Palos-Com, yang dulu ditempuh hampir lima jam, kini bisa dicapai sekitar 60 menit. Kini, Gubernur Carrascalao melihat lain: pendirian pabrik gula di Los Palos itu secara ekonomis tak menguntungkan. Ia lalu membekukan rencana itu. Los Palos akan dikembalikan sebagai daerah penghasil ternak. Karena itu, kata Carrascalao, pembangunan pelabuhan Com, yang akhir Juni lalu sudah memancang tiang dermaga, tetap dilanjutkan. Masih ada proyek besar lain di Los Palos. Yaitu, proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Kapan proyek ini akan dikerjakan belum diketahui. Tapi, itu tidak berarti tidak ada penerangan listrik di Los Palos. Cuma waktunya terbatas -- selama acara TVRI. Menjelang siaran televisi, para remaja di Los Palos menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan olah raga, seperti bola voli dan sepak bola. Bahkan kini punya tim sepak bola wanita. Yang agak terlambat memacu pembangunan adalah daerah Covalima dan Ambeno -- dua kabupaten yang berbatasan dengan Provinsi Nusa Tcnggara Timur. Mengapa? Menurut Carrascalao, kedua daerah ini, baik di zaman Portugis maupun waktu pergolakan lalu, tidak pernah mendapat "kejutan". Otomatis tak ada kerugian apa-apa. Akibatnya, rakyatnya tak terdorong untuk membangun. Maka, untuk memberi "kejutan" pada rakyat Covalima, misalnya, Pemerintah Daerah mendatangkan 94 petani teladan, yang ditempatkan di Desa Salele. Para petani teladan itu diharapkan bisa memberikan contoh bertani yang baik pada penduduk setempat. Kenyataannya: masing-masing jalan sendiri. Barangkali scbuah pembaruan akan terjadi di Covalima dan Ambeno dalam waktu dekat, barangkali juga tidak, karena belum terlihat sesuatu yang bakal menyentakkan masyarakat setempat. Pemerintah Daerah Tingkat I sulit untuk menjangkau daerah itu guna menggerakkan pembangunan. Soalnya, kata Gubernur Carrascalao, hubungan ke kedua daerah itu sukar. Lewat jalan darat tak bisa dicapai satu hari karena kondisi jalan yang buruk -- kendaraan bisa terjebak, terutama di musim hujan, oleh aliran sungai yang berubah-ubah. Mau bawa peralatan lewat udara, mahal. Memang, tak semuanya bisa berputar cepat, dan beres. Terutama dalam keadaan ekonomi yang masih suram. Mungkin karena itu, mungkin juga lantaran wataknya, Gubernur Carrascalao tampak hati-hati sekali dalam menentukan prioritas pembangunan di Timor Timur, karena Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk tahun ini menyusut hampir Rp 11 milyar. Total APBD Timor Timur sekarang tinggal Rp 61 milyar. Pendapatan per kapita rakyat Timor Timur, selama sepuluh tahun terakhir, memang melonjak pesat: dari US$ 40 menjadi US$ 160. Tapi, hidup Provinsi Timor Timur masih sangat bergantung pada dana dan subsidi Pemerintah Pusat. Pendapatan daerah, tahun ini, diperkirakan sekitar Rp 1 milyar -- kurang 2% dari APBD 1986-1987. Tapi, Gubernur Carrascalao optimistis Timor Timur, tahap demi tahap, mampu mengurangi ketergantungan APBD pada subsidi Pemerintah Pusat. Beberapa daerah, seperti Baucau dan Viqueqe, kata Carrascalao, sudah surplus beras. Ia harapkan dalam musim panen tahun depan, daerah Ainaro, Bobonaro, dan Lautem juga bisa surplus. Dari subsidi beras saja pengurangan bisa mencapai Rp 1 milyar. Belum lagi dari pemasukan lain. "Target saya adalah mengungguli semua provinsi di Indonesia Timur dalam segala hal," kata Carrascalao. "Perbandingan dengan zaman Portugis bukan ukuran lagi." Beberapa ratus meter dari Kantor Gubernur, di sebuah taman kecil menghadap ke Samudra Hindia, patung integrasi, yang dilambangkan dengan seorang pria memutus belenggu, berdiri kukuh. Ia sebuah lambang keinginan rakyat Timor Timur, sepuluh tahun silam. Seperti dikatakan bekas Wanra Paul Gonzalves, yang kehilangan tangan kanan ketika mempertahankan Koramil Bazartete dari serbuan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), kita satu nenek moyang, kenapa harus terpisah sesama saudara. Gonzalves kini hidup dari uang pensiun sebagai prajurit dua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini