KASUS Pertamina ramai lagi. Pekan ini di DPR pemerintah memberi
jawaban atas pertanyaan 7 anggota DPR dari Fraksi Karya
Pembangunan mengenai masalah Pertamina. Diajukan pada 14
Februari 1980 -- 10 hari setelah kasus Haji Thahir terungkap,
sebagian pertanyaan itu menyangkut banyak hal. Misalnya:
Apakah di samping kasus H. Thabir pemerintah tidak menemukan
kasus-kasus yang sama atau sejenis? Bagaimana kesimpulan
pemerintah mengenai kepemimpinan Dr. Ibnu Sutowo selama menjadi
Dir-Ut Pertamina? Baaimana penyelesaian utang Pertamina sampai
sekarang ini?
Munculnya pertanyaan itu menunjukkan bahwa penyelesaian masalah
Pertamina ternyata dianggap belum tuntas. Terungkapnya kasus
Thahir telah memunculkan banyak pertanyaan lama di antara
masyarakat yang selama mi menggantung tanpa jawab. Misalnya
Siapa yang dianggap paling bertanggung jawab atas terjadinya
krisis Pertamina, Ibnu Sutowo ataukah Dewan Komisaris? Mengapa
bekas Dir-Ut Ibnu Sutowo tampaknya tak tersenggol tuntutan
hukum?
Ada yang menganggap pertanyaan F-KP itu "lunak" dan hanya
merupakan "permainan politik" menjelang pemilu 1982.
"Pertanyaan itu tidak kami ajukan untuk mencari creditoint
menjelang pemilu," bantah Djoko Sudjatmiko, salah seorang dari 7
anggota F-KP yang mengajukan pertanyaan. Motif pengauan
pertanyaan itu menurutnya, didasarkan atas "politik nasional dan
bukannya golongan."
"Kami melihat adanya sesuatu yang tidak beres di Pertamina,"
kata Rachmat Witular, juga salah seorang penanya. Pengelolaan
administrasi perusahaan negara itu harus dipertanggungjawabkan
pada rakyat. "Karena dulu ada masalah yang menggantung, kami
ingin tahu apakah pelaksanaan amanat itu sudah ada atau belum."
Juga, "agar kita jangan terantuk batu yang sama lagi," lanjut
Rachmat.
Lunak atau tidak, toh masyarakat mengharap kali ini pertanyaan
tersebut tak menguap. Sesuai dengan peraturan tata tertib DPR
pasal 34 dan 35, anggota DPR secara perseorangan maupun
bersama-sama -- lewat pimpinan DPR dapat mengajukan pertanyaan
pada pemerintah. Namun tidak semua pertanyaan DPR harus dijawab.
"Dilihat lebih dulu pertanyaannya. Kalau memang pantas dijawab,
pemerintah pasti menjawabnya," kata Sekretaris Kabinet Ismail
Saleh.
Rupanya pertanyaan F-KP kali ini dianggap pantas dijawab. Malah
Presiden tampaknya menanggapinya secara serius. Kurang dari 10
hari setelah pertanyaan itu disampaikan pada Presiden pada 25
Februari lalu sejumlah menteri dan pejabat tinggi berembuk di
gedung Sekretariat Negara, Jalan Veteran Jakarta. Dengan
dibekali petunjuk Presiden agar pertanyaan itu dijawab
"selengkap mungkin", mereka -- antara lain menteri-menteri
Widjojo Nitisastro, Radius Prawiro, Subroto, Sumarlin,
Sudharmono, Jaksa Agung Ali Said dan Dir-Ut Pertamina Piet
Haryono -- menggodok jawaban pemerintah.
Kabarnya pertemuan serupa diadakan sampai 4 kali. Dan hasilnya
sebuah jawaban pemerintah setebal lebih kurang 25 halaman. Itu
yang pada 21 Mei ini dibacakan oleh Menteri Sekretaris Negara
Sudharmono di depan sidang pleno DPR.
Mungkin yang paling ingin diketahui dari jawaban tersebut adalah
kesimpulan pemerintah tentang kepemimpinan Ibnu Sutowo selama
menjabat Dir-Ut Pertamina. Ketua DPR Daryatmo pertengahan
Februari lalu pernah mengatakan: "Masalah Pertamina perlu
dilacak secara keseluruhan, agar diketahui apakah Ibnu Sutowo
seorang koruptor atau pahlawan."
Mereka yang mengharapkan sikap pemerintah yang galak terhadap
bekas Dir-Ut ini mungkin bakal kecewa. Sebah pemerintah
cenderung untuk tidak menuding Ibnu Sutowo sebagai koruptor.
Beberapa kesalahannya memang diakui, namun jasajasanya tak pula
diabaikan. Ada pengakuan tak langsung bahwa semua tindakan Ibnu
Sutowo itu didasari atas iktikad baik: untuk turut
berpartisipasi dalam pembangunan.
Misalnya diakui jasa Ibnu Sutowo yang berhasil membangun
Pertamina dari sebuah lapangan minyak tua menjadi perusahaan
raksasa. Toh diakui, kesulitan besar Pertamina terjadi pada masa
kepemimpinan Ibnu Sutowo: Diakui juga adanya iktikad baik Ibnu
Sutowo untuk berperan lebih besar dalam pembangunan baik secara
pribadi maupun lewat Pertamina.
Namun karena kelemahan di bidang manajerial, serta melesetnya
dugaan pada perkembangan situasi ekonomi internasional, usaha
tersebut gagal. Dan pemerintah tak lupa: Ibnu Sutowo -- yang
sekarang berstatus bebas -- telah memberi bantuan sepenuhnya
usaha pemerintah, dalam mengatasi krisis Pertamina dengan
memberi kesaksian-kesaksian yang diperlukan.
PUASKAH fraksi-fraksi di DPR menghadapi sikap semacam itu?
Kalau tidak puas, apa yang akan dilakukan? Dari F-PDI Sabam
Sirait mengungkapkan." Bisa saja kami membikin pertanyaan yang
lebih dalam dari itu." Sedang Hamzah Haz, dari F-PP, punya
pendapat yang lebih keras. "Kalau ternyata penjelasan pemerintah
belum memuaskan, kami bisa memakai hak angket," ujarnya. Hak
angket dilaksanakan DPR -- kalau usul angket diterima -- dengan
membentuk suatu Panitia Khusus Penyelidikan.
Sikap yang empunya pertanyaan sendiri tampaknya lebih
berhati-hati. "Harus dilihat segi efektivitasnya. Kalau kita
mengangket, tapi salah arah, nanti bisa jadi kayak badut saja,"
kata Rachmat Witular.
Puas atau tidak, bersama rekan sefraksinya Rachmat tidak akan
tinggal diam. Mereka merencanakan akan mengecek jawaban
pemerintah itu dari sumber lain. F-KP, menurut Rachmat, akan
memperdalam pertanyaannya sektor per sektor. Namun diakuinya
bahwafraksinya tidak akan bertindak terlalu jauh, yang bisa
"merusak strategi yang lebih luas."
Pertanyaan F-KP tentang Pertamina bukan satu-satunya pertanyaan
dari I)PR. F-PDI juga mengajukan pertanyaan tentang penyelesaian
masalah Garuda, serta mengenai kebijaksanaan ekonomi serta
pengawasan pembangunan nasional. Sedang F-PP menanyakan tentang
manipulasi yang terjadi di BNI 1946. Belum dipastikan kapan
pemerintah akan menjawab kedua pertanyaan tersebut.
Namun dari pihak pemerintah sudah terdengar keluhan: "Repot,
nantinya kalau DPR terus membombardir dengan pertanyaan," kata
seorang pejabat tinggi ". Mending kalau pertanyaannya jelas dan
tidak kabur." Tapi pihak DPR rupanya tak mau mengalah. "Lho,
menjawab pertanyaan itu kan tugas pemerintah," kata seorang
anggota DPR dari F-KP.
Memang mungkin akan merepotkan pemerintah, kalau DPR
memberondong pertanyaan. Lebih-lebih bila itu hanya "sekedar
bertanya". Namun bila memang dianggap tidak pantas, pemerintah
bisa saja tidak meladeninya. DPR boleh kesal, atau pura-pura
kesal, tapi buat apa?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini