DI musim tanam Agustus mendatang, nampaknya tak banyak yang bisa
dipetik petani tembakau Na Oogst di Jember, Jawa Timur. Dua kali
panenan dalam dua tahun terakhir ini boleh dibilang gagal. Panen
November lalu, misalnya, kemarau panjang adalah penyebab
kemerosotan kualitas daun tembakau itu.
Karena bentuk daun Na Oogst: mengecil, harga jual bahan baku
pembungkus cerutu kesohor itu jadi jatuh sampai Rp 60 ribu per
kuintal (bal). Padahal tiga tahun lalu, ketika panenan bisa
menghasilkan daun bagus dengan panjang sekitar 60 cm, harga
jualnya bisa mencapai Rp 380 ribu per bal.
Menurut perhitungan H. Mashuri, petani tembakau kawakan dari
Desa Kelompangan, Jember, dengan hasil panen sekitar delapan bal
dari setiap hektar, seorang petani ketika itu paling banter
hanya akan memperoleh Rp 480 ribu. Hasil penjualan ini jelas tak
cukup menutupi pengeluaran produksi (penanaman), yang mencapai
Rp 700 ribu. Karena itulah kini, "banyak petani tembakau yang
kemudian mengalihkan perhatiannya dengan menanam palawija," kata
Mashuri.
Eksportir sebagai pembeli pertama tembakau dari tangan petani
tentu membenarkan kemerosotan kualitas itu. Di tahun 1981, kata
Sarsidi, direktur PT Gading Mas, kualitas Na Oogst merosot
karena terlalu banyak disiram hujan. Hingga banyak tembakau,
yang diekspor ketika itu, hanya dijadikan isi (filler) cerutu
saja di negara pembeli. Meskipun demikian Sarsidi mengaku pada
panen tahun kemarin "masih membeli tembakau dari petani dengan
harga standar Rp 80-90 ribu per bal."
Toh tidak semua pihak berpendapat kualitas daun tembakau panenan
terakhir itu jelek. Soekarso, kepala dinas perkebunan Jember,
yang terlibat langsung dalam penyuluhan pada para petani
beranggapan panenan tahun lalu cukup bagus. "Pemupukan dengan
pupuk kalsium sulfat dan pengairan yang cukup bagus jelas
memungkinkan tembakau tumbuh baik, sekalipun kemarau panjang,"
katanya.
Untuk mengukur suatu panenan menghasilkan Na Oogst berkualitas
bagus, setiap hektar ladang tembakau setidaknya harus mampu
menghasilkan 8,69 bal konol (termasuk tusuk atau sujen daun
tembakau). Sedang pada panen terakhir tahun lalu setiap hektar
ladang tembakau ternyata rata-rata masih mampu menghasilkan 8,64
bal kool. Jadi panenan sesungguhnya tetap bagus, dan "petani
tidak rugi, sebab selisih hasil per hektar cuma 0,05 bal," kata
Soekarso kepada Choirul Anam dari TEMPO.
Tapi mengapa harga tembakau merosot? Kemerosotan harga, kata
sebuah sumber, sesungguhnya banyak disebabkan oleh pola
permainan harga dari eksportir, yang tampaknya sedang berusaha
menebus kerugiannya dua tahun lalu. Ketika itu penerimaan rupiah
eksportir berkurang banyak karena nilai DM Jerman Barat merosot
tajam terhadap dollar AS. H. Moh. Ardiwar, anggota DPRD Jember,
bekas pengusaha tembakau bahkan menyebut, banyak juga eksportir
yang membeli Na Oogst dengan Rp 30-40 ribu per bal. "Harga
seperti itu ditentukan sepihak oleh eksportir, petani tak bisa
berkutik," katanya.
Menurut H.A. Ismail, ketua Asosiasi Tembakau Indonesia (ITA),
tembakau Besuki Na Oogst masih laku dengan harga DM 6,20 per
pound atau Rp 469 ribu per bal Juni lalu. Pada pelelangan
pertama di Bremen itu katanya, sebanyak 150 ribu bal Na Oogst
laku terjual.
Perbedaan harga teramat besar antara tempat pelelangan di Bremen
dengan tempat produksi di Jember itu, agaknya menunjukkan adanya
penekanan oleh eksportir. Dalam upaya memperbaiki kedudukan
petani menghadapi transaksi perdagangan itu, Ardiwar
menganjurkan agar dibentuk sebuah dewan pengawas harga,
beranggotakan sejumlah instansi pemerintah dan swasta. Dia juga
menganggap perlu pemerintah ikut mendirikan sebuah pasar lelang
tembakau Na Oogst di Besuki. "Sehingga nantinya tidak akan
terjadi transaksi penjualan yang kemahalan, atau pembelian yang
kemurahan," katanya.
Sementara itu, di hari-hari ini masih ada persoalan cukup besar,
yang memusingkan Ardiwar: Akibat kemerosotan harga, yang terasa
telak pada panen 1982 itu, sekitar Rp 3,2 milyar kredit yang
disalurkan Bank Ekspor Impor dan Bapindo Jember, macet di tangan
petani. Seluruh jumlah kredit yang diberikan kedua bank itu
mulanya Rp 5,4 milyar. Kredit sebesar itu disalurkan kepada para
petani yang jadi peserta program Intensifikasi Tembakau Besuki
Na Oogst (ITBNO), pada musim tanam Agustus tahun lalu.
Lebih dari 11 ribu petani, yang menggarap 13 ribu ha ladang
tembakau di 140 desa Kabupaten Jember, terlibat dalam program
itu. Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) dengan bunga 1% per
bulan itu, disalurkan ke petani lewat 17 eksportir, yang konon
bertindak sebagai pembimbing, dan pembeli. Dengan mekanisme
penyaluran kredit macam ini, bank percaya kredit bakal terjamin
kembali cepat, mengingat setiap hasil penjualan tembakau petani,
pihak eksportir langsung memotongnya dengan jumlah pinjaman dan
bunga.
Tapi mekanisme itu tidak bekerja. Petani yang tidak ingin
digorok terang-terangan oleh eksportir jelas lebih suka melego
tembakaunya kepada blandang (makelar), tanpa kera potongan
pengembalian kredit. Toh ada juga petani yang patuh
mengembalikan kredit. Di samping itu, menurut Ardiwar, ada
sekitar 30% petani peserta ITBNO yang tak punya tanaman tembakau
bisa memperoleh kredit. Karena maklum agunan yang diminta bank
hanya berupa petuk (surat hak garap atas tanah). "Dan itu pun
kadang hanya fotokopi saja," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini