Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Negara islam dalam debat

Bangsa indonesia sering mengalami perpecahan kare- na isu negara islam. padahal, hingga kini, konsep negara islam secara kongkret belum jelas. yang di- butuhkan masyarakat adalah nilai islam.

6 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bangsa ini sering tercabik karena isu negara Islam. Padahal, sampai sekarang, konsep negara model itu belum pernah jelas. SUDAH tak terkira korban jatuh untuk sebuah cita-cita mengibarkan bendera dan menegakkan negara Islam. Ingat saja pada 1950-an, ketika beruntun meletusnya pemberontakan DI/TII yang dipimpin Kartosuwirjo di Jawa Barat, Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, dan Daud Beureueh di Aceh. Ini belum lagi terhitung kerugian secara politis. Karena usai peristiwa tadi, kalangan Islam harus menyandang mitos sebagai pembangkang (rafadh) sehingga menimbulkan kecurigaan berkepanjangan. Hingga kini mereka yang menginginkan terbentuknya negara berlabel Islam itu belum mampu merumuskan apa sebenarnya yang dimaksud dengan negara Islam. Apakah itu seperti Pakistan, Libya, Arab Saudi, Malaysia, atau Iran? Yang ada, keinginan membuat negara bernama negara Islam. "Tapi apa substansinya, mereka sendiri belum tahu," kata Nurcholish Madjid, pemimpin Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta. Isu negara Islam agaknya pertama kali tampil ke permukaan dari pernyataan tokoh Sarekat Islam (SI) pada akhir 1920-an. Ketika itu, pemimpin SI seperti Surjopranoto dan Sukiman Wirjosandjojo menyebut een Islamietische Regeering (suatu pemerintahan Islam), atau een eigen Islamietisch bestuur onder een eigen vlag (suatu kekuasaan Islam di bawah benderanya sendiri). Sukiman -- kelak dikenal salah satu tokoh puncak partai Masyumi -- mengatakan, menciptakan suatu kekuasaan Islam di Indonesia adalah tujuan kemerdekaan. Gagasan tentang negara Islam baru tampil ke permukaan secara formal dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) di sekitar Mei sampai Juli 1945. Di situ tokoh seperti Abdul Kahar Muzakkir (Muhammadiyah) dan Abdul Wahid Hasjim (NU) mengusulkan agar Islam dijadikan dasar negara Indonesia merdeka. Mereka berhadapan dengan kelompok nasionalis seperti Soekarno dan Hatta, yang menginginkan Pancasila sebagai dasar negara. Sebenarnya, wakil golongan Islam di BPUPKI hanya 15 orang. Ini terhitung minoritas bila diingat badan bentukan Jepang itu mempunyai 62 anggota. Tapi rupanya para pendiri republik ini berupaya mencapai konsensus. Lalu dibentuk sebuah panitia kecil dengan sembilan anggota, di antaranya Soekarno, Hatta, A.A. Maramis, Abdul Kahar Muzakkir, Abdul Wahid Hasjim, dan Haji Agus Salim. Dalam sebuah sidang paripurna BPUPKI, 10 Juli 1945, Soekarno melaporkan hasil kerja panitia kecil itu, yang dicapai melalui debat sengit antara kelompok Islam dan kelompok kebangsaan. Hasilnya: sebuah persetujuan. Persetujuan yang dimaksud Soekarno itulah yang akhirnya dikenal sebagai Piagam Jakarta. Ini berupa konsep pembukaan undang-undang dasar (UUD). Tapi pada kata Ketuhanan, di situ, ditambahi dengan anak kalimat yang terdiri dari tujuh kata, yang berbunyi ... "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya ...". Dalam rapat-rapat BPUPKI selanjutnya, Piagam Jakarta masih jadi bahan debat yang melelahkan. Latuharhary, anggota BPUPKI yang beragama Kristen, misalnya, keberatan pada tujuh kata itu. Menurut dia, "Akibatnya mungkin besar, terutama terhadap agama lain." Anggota seperti Wongsonegoro dan Hoesein Djajadiningrat malah merisaukan anak kalimat itu akan menimbulkan fanatisme karena tampaknya akan memaksakan pelaksanaan syariat bagi orang Islam. Hanya dengan wibawa Soekarno ditambah kegigihan kelompok Islam untuk mempertahankannya, belakangan sidang dapat menerima Piagam Jakarta. Tapi seperti bisa ditemukan di buku Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang ditulis Endang Saifuddin Anshari, berbagai perdebatan sengit terus berlangsung sebagai dampak Piagam Jakarta. Ketika membicarakan jabatan presiden di dalam UUD, misalnya, kelompok Islam mengusulkan presiden harus orang Indonesia asli dan beragama Islam. Usul tadi ditentang kelompok kebangsaan. Alasannya, karena itu bertentangan dengan pasal 27 UUD yang telah disetujui yang menyebutkan setiap warga negara sama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan. Saking serunya perdebatan, K.H. Kahar Muzakkir memukul meja, dan meminta semua yang berbau Islam dicoret saja dari konsep UUD itu. Sidang hari itu bubar tanpa keputusan. Tapi keesokan harinya, 16 Juli 1945, usul golongan Islam itu diterima juga dengan bantuan wibawa Soekarno. Toh dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi, anak kalimat Piagam Jakarta itu dicoret dari mukadimah UUD 1945. Dari cerita yang terungkap belakangan, pencoretan itu atas permintaan seorang opsir angkatan laut Jepang kepada Hatta. Menurut opsir tersebut, bila kata-kata itu tak dicabut, golongan Kristen dan Katolik di Indonesia Timur akan berdiri di luar republik yang baru saja diproklamasikan. Ini artinya: perpecahan. Hatta kemudian berhasil melobi Ketua Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo sehingga kelompok Islam menyetujui kata-kata itu dihapuskan. Bila diikuti peristiwa tadi, jelaslah bahwa negara Islam yang diperjuangkan pemuka Islam di BPUPKI itu tidak pernah muncul dalam konsep yang pasti. Yang terekam hanya soal "diwajibkan orang Islam melaksanakan syariat agamanya dan kepala negara harus seorang muslim". Setelah Pemilu 1955, isu negara Islam kembali tampil formal pada sidang-sidang Konstituante di Bandung untuk membuat UUD. Seperti diketahui, umat Islam Indonesia -- terutama yang bergabung dalam Masyumi -- dirundung kecewa pada hasil pemilu di tahun itu karena gagal meraih mayoritas suara. Di Konstituante, bila semua partai Islam digabung, mereka mendapat 230 kursi atau sekitar 40% dari jumlah semua kursi. Sedang partai lain, termasuk PNI dan PKI, mendapat 286 kursi. Undang-undang ketika itu menyebutkan bahwa bila terjadi voting, satu pihak dinyatakan menang dengan mengumpulkan minimal 2/3 suara. Artinya, baik kelompok Islam maupun kebangsaan tak mungkin menang dengan voting. Justru yang terjadi adalah debat panjang kelompok kebangsaan dengan PNI dan PKI sebagai tulang punggung yang mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara, serta kelompok Islam yang menginginkan dasar negara Islam. Dalam sidang-sidang Konstituante yang berlangsung mulai akhir 1956, Ketua Umum Masyumi Mohammad Natsir bisa disebut juru bicara kelompok Islam. Sebab, ia pemimpin partai Islam terbesar, ulama, dan intelektual. Namun, dari pidato-pidatonya di sidang Konstituante, Natsir sendiri tidak pernah menguraikan secara kongkret konsep negara Islam. Ia mengatakan Islam itu berbeda dengan agama lain karena mengandung unsur-unsur peraturan kenegaraan, baik hukum pidana maupun perdata. Maka, prinsip hukum Islam (syariah) dijunjungnya tinggi. Maka, dalam hal tadi, ada pengamat mengatakan Natsir itu mirip Abul A'la Al-Maududi -- intelektual Pakistan yang berperan dalam membentuk negara Islam Pakistan. Yang membedakan mereka, Maududi menganggap demokrasi modern itu syirik, sedang Natsir mengagungkannya dengan konsekuen, sehingga, katanya, sebagai pelaksanaan prinsip syura dalam Islam. Bagaimana kemudian prinsip-prinsip hukum Islam (dengan demokrasi modern) itu dilaksanakan dalam suatu sistem pemerintahan? Tampaknya, ia cenderung memilih AS, atau negara-negara di Eropa Barat. Setelah Konstituante tak mampu menyelesaikan UUD, lalu dibubarkan Presiden Soekarno dengan dekritnya pada 5 Juli 1959. Ia mendapat dukungan kuat pemimpin ABRI sehingga kekuasaannya segera bertambah besar. Maka, sejak itu isu negara Islam menyurut terus. Tapi, setelah meletusnya G30S dan PKI dibubarkan pemerintah baru yang dipimpin Soeharto, 1966, suara untuk menghidupkan Piagam Jakarta muncul kembali. Bersamaan dengan itu, terdengar pula tuntutan dari kalangan Islam agar pemerintah merehabilitasi Masyumi. Toh berakhir dengan kecewa. Ternyata, pemerintah baru menggariskan kebijaksanaan yang berorientasi pada pembangunan. Dan ini diiringi dengan langkah depolitisasi masyarakat dalam bentuk melumpuhkan partai-partai politik, antara lain dengan konsep massa mengambang. Bahkan, pada 1985 semua partai politik, termasuk PPP yang berdasarkan Islam, harus menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas. Sementara itu, suksesnya revolusi kaum mullah di Iran yang menumbangkan rezim Syah Reza Pahlevi itu merangsang kembali munculnya ide negara Islam di sini yang sudah lama meredup. Peranan muktamar NU di Situbondo, 1984, cukup bermakna. Ketika itu NU sebagai ormas Islam terbesar mengganti asas Islam dengan Pancasila. Dimotori Rais Am Kiai Ahmad Siddiq (kini almarhum), para ulama NU lalu merumuskan bahwa Pancasila tak bertentangan dengan Islam. Amat terkenal ucapan Kiai Siddiq ketika itu bahwa negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, bagi NU, itu sudah final. Sementara itu, Nurcholish Madjid melihat ramainya perdebatan soal ideologi Islam di Indonesia tak lepas dari faktor sejarah. Islam masuk ke Indonesia sudah amat terlambat. Begitu ia mulai menyebar di sekitar abad ke-15 atau 16, datanglah orang Barat sebagai penjajah. "Karenanya, Islam berubah menjadi alat ideologis melawan Barat," kata ahli filsafat Islam tamatan Universitas Chicago itu. Dalam sejarah Islam yang panjang, menurut Nurcholish, istilah negara Islam tak pernah ditemukan. Konstitusi Madinah yang bagi penganjur negara Islam sering dipakai jadi alasan pembenaran, menurut Nurcholish, esensinya mirip dengan Pancasila yang mengatur umat Islam untuk hidup bersama golongan lain. Konstitusi Madinah merupakan persetujuan antara umat Islam yang dipimpin Rasulullah dan kaum Yahudi setempat agar hidup berdampingan secara damai. "Sebenarnya, yang mulai menggunakan istilah negara Islam adalah Pakistan," kata Nurcholish. Tapi waktu itu Pakistan membutuhkan alat identitas ketika berpisah dengan India. Jadi, Islam di sana lebih digunakan sebagai nasionalisme. Terbukti sampai sekarang substansi negara Islam Pakistan masih merupakan proses yang belum selesai. "Coba, ada syariat Islam yang akan diberlakukan pemerintah di sana malah ditentang pemuka Islam sendiri karena berbeda dengan mazhab yang dianutnya," ujar Nurcholish. Kini, setelah melewati proses, menurut Nurcholish, orang mulai bisa mendiskusikan soal negara Islam secara ilmiah -- dan tanpa perdebatan ideologi. Kentaralah bahwa sekarang yang dibutuhkan masyarakat adalah nilai Islam bukan negara Islam. Artinya, Nurcholish ingin menyebutkan etika Islam memang bisa dilaksanakan di sini mengingat mayoritas penduduknya Islam. Karena itu, tidak harus muncul tuduhan bahwa Indonesia sudah diubah menjadi negara Islam. Amran Nasution, Priyono B, Sumbogo, Dwi S. Irawanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus