Suara sidang INGI masih cukup keras. Serentetan nasihat diberikan kepada Indonesia. Soal demokratisasi disorot khusus. JAMUAN makan siang digelar di Kantor Kedutaan Besar RI di Washington, D.C., Selasa pekan lalu. Duta Besar A. Ramly bertindak selaku tuan rumah. Para tamunya cukup istimewa, "duta-duta" dari kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) -- di antaranya terlihat Abdul Hakim Garuda Nusantara dari LBH, Kartono Mohamad (PKBI), dan Aswab Mahasin dari LP3ES. Tamu-tamu dari jauh itu baru usai mengikuti sidang tahunan ketujuh INGI (International NGO Forum on Indonesia), forum yang mempertemukan LSM-LSM Indosia dengan sekitar 30 LSM asing. Para tokoh LSM asing itu mengklaim diri mewakili warga masyarakat dari sembilan negara yang tergabung dalam IGGI -- - negara donatur bagi pembangunan Indonesia. Seperti yang sudah-sudah, sidang INGI itu menghasilkan rumusan, yang sering disebut aide memoire. Pada kesempatan makan siang itu, Duta Besar A. Ramly mendiskusikan aide memoire INGI tadi, secara santai dan terbuka. Dalam aide memoire INGI itu disebutkan ada empat hal pokok yang perlu mendapatkan perhatian yang saksama dari pemerintah RI. Yakni: hak untuk berorganisasi atau berserikat, demokratisasi politik, demokratisasi ekonomi, dan demokratisasi pemanfaatan bantuan luar negeri. Dalam hal berserikat, aide memoire INGI menyebut-nyebut pasal 28 UUD 1945 sebagai jaminan. Para tokoh LSM tadi beranggapan, masih ada peraturan yang belum sinkron betul dengan napas pasal itu, antara lain UU No. 5/1985 tentang partai politik, dan UU No. 8/1985 tentang organisasi massa. Kedua UUD itu dikatakan INGI, "membatasi pencapaian hak secara penuh." Hak kaum pekerja untuk berserikat, kata aide memoire INGI, telah diatur oleh UU No. 4/1969, dan UU No. 18/1956 yang merupakan ratifikasi dari Konvensi Nomor 98 Organisasi Buruh Internasional (ILO). Namun, pada kenyataannya, paling tidak ada dua buah peraturan menteri yang kurang sejalan dengan kedua UU tadi. Masih dalam soal hak berserikat itu INGI melihat adanya kebutuhan mendesak agar kaum lemah Indonesia mengorganisasikan diri. Yang disebut INGI sebagai kaum lemah itu di antaranya adalah ibu rumah tangga, pembantu rumah tangga, WTS, wanita-wanita di sektor informal, pekerja industri. Selain itu, kecenderungan pemerintah untuk mewadahtunggalkan banyak organisasi profesi atau minat -- sebutlah HKTI (untuk petani) misalnya, Korpri (untuk pegawai negeri), Dharma Wanita, PKK, atau PGRI -- dinilai tidak sejalan dengan "kemerdekaan berserikat". Lebih dari itu, "Wadah tunggal itu bertentangan dengan semangat kebinekaan," kata INGI. Dalam demokratisasi politik, yang diserukan INGI adalah pengurangan pendekatan sekuriti. Pendekatan semacam ini dirasakan menghambat partisipasi masyarakat luas dalam pembangunan. Ini berarti perlu disebarluaskan hak untuk bicara, menulis, berdemonstrasi secara damai, dan pertemuan tak harus meminta izin aparat keamanan. INGI juga menyatakan keprihatinannya atas kebijaksanaan yang masih bersifat coercion, pemaksaan. Kasus-kasus ini sering ditemui pada pelaksanaan program KB dan transmigrasi. Tak lupa, jatuhnya korban di Aceh belakangan ini termasuk dalam daftar "keprihatinan" INGI. Demokratisasi ekonomi tak luput dari kaca mata INGI. Mereka menyerukan perlunya kebijaksanaan untuk menghindari kemungkinan terjadinya pemusatan kekuatan ekonomi cuma pada segelintir konglomerat. Maka, diperlukan UU antimonopoli, dan UU perlindungan terhadap pengusaha kecil. Berikutnya, INGI menyebut demokratisasi bantuan luar negeri. Dalam soal ini, INGI menyerukan agar semua proyek yang didanai lewat bantuan asing harus taat pada aturan Andal (analisa dampak lingkungan). Pernyataan INGI tahun ini agak lebih keras dari dugaan semula. Pada awal sidang, dua tokoh penting -- J. Pronk, Menteri Kerja Sama Pembangunan Belanda yang juga Ketua IGGI, dan Atila Karaosmanoglu, Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia -- memberikan suara yang penuh puja-puji untuk Indonesia. Pronk, misalnya, menyebut Indonesia mencatat sukses besar pada periode 1980-an -- sebuah kurun yang disebut The Lost Decade dan menghantam banyak negara berkembang. Ia juga mencatat sukses pada kebijaksanaan makroekonomi yang diambil pemerintah RI. Hasilnya, angka kemiskinan menyusut drastis. Pidato Atila Karaosmanoglu pun sama nadanya. Dia menunjuk pelbagai angka keberhasilan Indonesia untuk menyejahterakan rakyatnya. Di sektor pendidikan, misalnya, proyek-proyek pendidikan di Indonesia, merupakan proyek terbesar yang pernah dibiayai Bank Dunia. Maka, memang agak mencengangkan bila suara INGI dalam aide memoire-nya masih keras. Dubes A. Ramly juga tampak terheranheran. Lalu, sebagai putra Aceh dia menanyakan soal korban politik di Aceh itu, berapa korban yang jatuh, siapa pelakunya. Ternyata Abdul Hakim Garuda Nusantara tak tahu persis. "Tapi bagi kami tanpa menyoalkan siapa pelakunya, korban 10 orang pun sudah terlalu besar," kata tokoh LBH itu. Ramly juga menanyakan soal pemaksaan dalam program KB itu. Kartono Mohamad mengakui, memang tak persis ada "pemaksaan". Yang sering terjadi adalah akseptor, ibu-ibu, tidak mendapatkan informasi cukup tentang alat kontrasepsi yang dipakainya. Alhasil, karena masyarakat sudah lebih pintar, penerangan yang minim itu sering menimbulkan ketidakpuasan. Bambang Harymurti (Washington)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini