Aksi mempertahankan Senisono terus berlanjut. Sikap seniman Yogya terbelah? MAGRIB baru saja berlalu, Kamis 2 Mei 1991, ketika prosesi "pelayatan" itu beranjak dari depan gedung DPRD DIY menyusuri Jalan Malioboro, menuju gedung Senisono. Berjalan paling depan empat orang pembawa setanggi yang diapit dua pembawa obor. Di belakangnya pembawa nisan yang bertulis Senisono, diikuti "keranda mayat" yang ditutup kain putih. Beberapa pelayat -- mengenakan topeng -- berjalan di belakang keranda, diikuti puluhan pelayat yang sebagian besar seniman berambut gondrong. Ketika iring-iringan yang menembus kebisingan lalu lintas itu tiba di depan Gedung Agung, hanya beberapa meter dari Senisono, lagu kematian mengalun panjang dari tiupan terompet. Plaza di depan gedung Senisono yang bertatapan langsung dengan Monumen 1 Maret di jantung Kota Yogyakarta itu seketika itu pun berubah menjadi kompleks pemakaman. Di sana ada nisan Pegangsaan Timur 56 Jakata. Ada nisan Rumah Sakit Simpang, Gedung Harmoni, dan Senisono. Upacara pemakaman didahului penyerahan "SK Kematian Senisono" oleh kelompok bertopeng -- melambangkan pejabat. Begitu upacara usai, kelompok bertopeng meninggalkan makam diiringi jerit tangis kelompok seniman. Tiba-tiba keranda Senisono berguncang hebat, menyibak kain putih penutupnya. Dari dalam keranda bangun sesosok tubuh yang membisu seraya membagi-bagikan lembaran kertas kuning berisi bait-bait puisi. Antara lain bunyinya: Aku belum mati! Dan tidak mau mati! Aku memang sakit, ya aku sakit. Tapi atas hak apa mereka mau membunuhku? Peristiwa yang menarik perhatian banyak orang itu merupakan rangkaian aksi protes pembongkaran gedung Senisono, Yogyakarta. Prosesi itu adalah persembahan Liga Senirupawan Muda Yogyakarta (LSMY), mewarnai kegiatan Kemah Kebudayaan yang diselenggarakan kelompok yang menamakan dirinya Dewan Seniman Muda Indonesia (DSMI), yang berlangsung sejak 10 April lalu (TEMPO, 20 April 1991). Tak hanya melalui pertunjukan, para seniman dan budayawan Yogya juga mempertahankan berdirinya Senisono melalui forum diskusi dan sarasehan. Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI), bekerja sama dengan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI), 22 April lalu menyelenggarakan sarasehan. Sarasehan ini, menurut Karkono Kamajaya, menemukan bukti bahwa secara ilmiah Senisono memang punya arti sejarah. "Itulah sebabnya saya tetap nggondheli (mempertahankan) agar Senisono tida dibongkar," ujar budayawan itu. Ketua Majelis Luhur Tamansiswa Ki Suratman, ketika memberikan uraian hikmah Syawalan bersama di Senisono, Ahad pekan lalu, memberi alasan mengapa Senisono harus dipertahankan. Di Senisono inilah Kongres Pemuda I, 1945, berlangsung. Di tengah-tengah kongres, menurut Ki Suratman, tiba-tiba ada kawat dari Surabaya yang mengabarkan Inggris menyerang Kota Surabaya. "Saat itulah kami memekikkan kalimat berani mati untuk membela tanah air," cerita Ki Suratman, yang ketika itu peserta kongres mewakili kontingen Cirebon. Ternyata tak semua seniman Yogya ingin mempertahankan Senisono. "Gedung itu hanya digunakan sebagai gedung bioskop. Itu saksi mata dari saya," kata Amri Yahya yang telah 34 tahun menetap di Yogya. Jadi, "kalau gedung itu memang tidak ada kaitan dengan Monumenten Ordonnantie, ya bongkar saja, daripada ngebruki orang." Lebih tegas lagi pendapat pimpinan Teater Alam, Azwar A.N. Pada masa penjajahan Belanda dulu Senisono merupakan pusat penghancuran budaya Jawa. Di situ, kata Azwar, tempat kaum penjajah bersenang-senang dan berbuat mesum dengan nyai-nyai Jawa. Syahril Chili, Sri Wahyuni, dan M. Ajie Surya (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini