Sebagian anggota GPK Aceh konon pernah dilatih di Libya. Hidup bersama, mati bersama. Selembar kafan, satu keranda. Setia pada atasan Gerakan Aceh Merdeka. KALIMAT itu bukan bait-bait puisi. Itu sepenggal isi sumpah yang didiktekan Hasan Tiro, "Presiden" Gerakan Aceh Merdeka (GAM), kepada 40 prajurit GAM berasal dari Aceh, yang dilatih di Kamp Mattabah Tajura, Tripoli, Libya, pada 1987 lalu. Kisah tentang baiat dalam bahasa Arab ini terungkap dalam dakwaan Jaksa Badrani Rasyid terhadap Muhammad Thaib dua pekan silam. Thaib, pekan-pekan ini tengah diadili di Pengadilan Negeri Lhokseumawe dengan tuduhan melakukan tindak pidana subversi. Seperti diakui Thaib, yang sejak 1982 bermukim di Malaysia, ia dan rombongannya dijemput langsung oleh Hasan Tiro setiba di Bandara Tripoli. Rombongannya itu menyusul 210 orang asal Aceh yang lebih dahulu tiba di Libya. Di Mattabah Tajura inilah mereka digembleng secara ideologis oleh Hasan Tiro, sedangkan latihan militer langsung ditangani "Pangab" GAM, Daud Paneuk, selama tujuh bulan. Mereka, antara lain, dididik menggunakan sejenis rudal antihelikopter dan penembak pesawat tempur. Di kamp itu, konon, dilatih juga kelompok teroris dari Moro (Filipina). Usai latihan, kata Thaib, mereka kembali ke Malaysia, sebelum menyusup ke Aceh pada 26 Agustus 1989. Bersama 40 "prajurit" GAM lainnya, ia kemudian dilantik pada 17 September 1989 di Desa Meunasah Dayah, Aceh Utara. Biaya upacara itu, seperti terungkap dalam sidang, adalah dana Inpres Rp 300 ribu dan zakat fitrah rakyat. Penggunaan dana pemerintah dan rakyat untuk tujuan subversif ini, kata Pangdam I/Bukit Barisan, Mayor Jenderal H.R. Pramono, "Taktik busuk yang strategis." Sebab, menurut Pramono, penyelewengan dana Bangdes Inpres itu juga dilakukan di banyak desa lain. Akibatnya, proyek pembangunan desa itu jadi jelek, dan ini dijadikan isu untuk memburuk-burukkan pemerintah. Apalagi ada kontraktor dan buruh yang sudah dipengaruhi GAM. Misalnya, Rahman Toyo, Direktur CV Arizona Lhokseumawe, yang kini juga diadili dalam berkas terpisah. Sumber dana GAM ternyata cukup banyak. Ada hasil penjualan ganja, ada pula yang berasal dari pencetakan uang palsu. Setelah ladang ganja mereka habis dibabat aparat, mereka menjadi brutal dan merampoki rakyat. Ada juga sumbangan para donatur yang berjalan sejak 1978. Dalam dakwaan Thaib bersama Rahman Toyo dan Robert serta lima anggota GAM lainnya yang menyerang Pos ABRI di Desa Krueng Tuan, Aceh Utara, pada 26 September 1989. Waktu itu, Prajurit Satu Ismail tewas dengan senjata M-16 yang sebelumnya dirampas dari tangan Prajurit Satu Zakaria AB, rekan Ismail. Terungkap pula, dalam sidang terdakwa Surya bin Umar di Pengadilan Negeri Medan, 1 Mei silam, bahwa GAM juga membeli senjata secara gelap di Muangthai. Senjata itu, antara lain, terdiri dari tiga magasin M-16, 2.000 butir peluru M 16, pistol serta 40 butir pelurunya, dan enam dinamit. Senjata yang diselundupkan lewat Malaysia itu disimpan beberapa hari di rumah Surya di Medan. Kendati GAM masih membikin teror di Aceh Utara, gerakan mereka kini dinilai gagal, bahkan semakin terjepit oleh kepungan ABRI yang semakin manunggal dengan rakyat. "Wong, rekrutmen ke Libya itu tanpa seleksi kesehatan dan mental. Bahkan dikirim ke Libya itu pun dengan tipuan seolah mau cari kerja," kata Pramono pada TEMPO. Jadi, "Hanya telanjur jadi tentara asal-asalan." Makin tersudutnya GAM -- yang oleh aparat disebut sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) -- itu antara lain juga karena rakyat Aceh kini semakin berani melawan mereka. Contohnya, ada tiga orang GPK, Petu Adin dkk. dapat ditangkap rakyat di Desa Blang Panda, Pidie -- berikut sepucuk senjata dan banyak amunisi yang diserahkan pada ABRI pada pertengahan April lalu. Bersihar Lubis, Affan Bey Hutasuhut, Munawar Chalil, Sarluhut Napitupulu (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini