Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIADA hari tanpa letusan senjata di Aceh. Dalam periode seminggu silam, korban jatuh hampir setiap hari. Helikopter yang dinaiki Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro ditembakiketika Menteri mengunjungi Exxon Mobil OilSelasa pekan lalu. Kilang gas cair ini berhenti berproduksi sejak 9 Maret 2001, dengan pertimbangan keamanan, mengakibatkan kerugian negara Rp 1 triliun sebulan. Padahal, Senin dua pekan lalu, pemerintah dan Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM) baru menyepakati zona damai di Kabupaten Aceh Utara dan Bireuen. Jumat lalu, dua anggota Brimob dan tujuh orang sipil tewas.
Kondisi buruk inilah yang mendorong Menteri Pertahanan Mahfud Md. berkeras segera menerapkan operasi militer terbatas. Secara tegas, Menteri Mahfud menyatakan bahwa pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sudah tidak bisa menyelesaikan masalah secara damai. Dan operasi terbatas sudah disetujui oleh Presiden Abdurrahman Wahid, Rabu pekan silam.
Memang, Kepolisian Republik Indonesia sedang melangsungkan Operasi "Cinta Meunasah" di Aceh. Tapi kondisi Aceh tetap tidak terkendali. "Ancaman di sana sudah melebihi kapasitas polisi," kata Kepala Pusat Penerangan TNI, Marsekal Madya Graito Usodo. Untuk itu, segera diterjunkan 6 satuan setingkat kompi (SSK, sekitar 600 orang) ke Aceh. "Pasukan itu sudah siap terjun," ujar Graito.
Sebenarnya, keputusan untuk memberlakukan operasi militer terbatas itu muncul dari Rapat Kabinet Politik, Sosial, dan Keamanan, 12 Maret lalu. "Paket keras" ini sebenarnya merupakan satu dari enam paket kebijakan pemerintah untuk menyelesaikan masalah Aceh. Di luar itu, ada pemberian otonomi khusus, program hukum untuk para pelanggar hak asasi manusia, ekonomi, kultur, dan sosial.
Memang sempat terjadi perbedaan pendapat tentang penggunaan istilah operasi militer terbatas. Menteri Koordinator Bidang Politik, Sosial, dan Keamanan, Susilo Bambang Yudhoyono, berkukuh bahwa penyebutan operasi militer terbatas itu salah. Yang benar adalah operasi keamanan terbatas yang memiliki ketepatan tinggi dan prosesnya transparan. "Mereka (pelaksana operasi) mengerti betul kaidah hak asasi manusia, sehingga tidak menimbulkan korban sipil yang tidak perlu," katanya.
Istilah bisa diperdebatkan. Operasi militer terbatas atau operasi keamanan terbatas secara ilmu pertahanan pun rancu. Menurut Hendropriyono, mantan Panglima Kodam Jaya dan Komandan Resor Militer Garuda Hitam Lampung, yang lebih pas adalah perang terbatas. "Artinya, target dan area harus benar-benar terbatas," kata bekas anggota Kopassus itu.
Yang lebih penting, pelaksana di lapangan, apalagi rakyat Aceh, belum pulih benar dari trauma "daerah operasi militer". Operasi Jaring Merah yang menjadikan Aceh sebagai daerah operasi militer selama sepuluh tahun, dan kekerasan setelahnya, meninggalkan trauma tak terselesaikan.
Maka, jika pilihan operasi terbatas diambil, banyak hal harus disiapkan. Riefki Muna, pakar ilmu pertahanan dari Research Institute for Democracy and Peace, berpendapat bahwa yang terpenting adalah data intelijen yang kuat. "Sebab, dengan data itulah kata `terbatas' bisa benar-benar diterapkan di lapangan," katanya. Dengan data intelijen kuat, risiko salah tembak dan salah tangkap bisa diminimalkan.
Di Aceh, itu kerja tak gampang. Sebab, yang dihadapi TNI adalah kelompok yang memiliki keyakinan atas apa yang diperjuangkan, yaitu Aceh yang merdeka. Itu tugas berat bagi tentara karena gerakan seperti itu biasanya melibatkan rakyat sipil. Membedakan sasaran kombatan dan yang sipil, misalnya, pasti sangat sulit. Lebih-lebih bila diingat bahwa Gerakan Aceh Merdeka,Pemerintah memutuskan untuk menggelar operasi keamanan terbatas di Aceh. Mengapa jalan keras ini ditempuh lagi setelah era daerah operasi militer memakan begitu banyak korban? sasaran operasi, jauh lebih menguasai medan. Suatu saat seseorang dari GAM memanggul senjata, tapi sesaat kemudian langsung menjadi petani di sawah atau berbaur dengan orang-orang di pasar, cerita Riefki.
Kesulitan lain adalah soal dana. Dari mana biaya operasi harus dicari di saat sulit ini? Jawaban resmi Menteri Mahfud adalah dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Tapi itu tidak mungkin. Sebab, bila operasi itu dimulai tahun ini, tidak ada lagi uang yang bisa diambil dari APBN yang sedang berjalan (Januari-Desember 2001).
Padahal, menurut perhitungan Maimul Fidar, Direktur Eksekutif Koalisi LSM HAM, dengan pasukan 20 ribu, untuk uang makan saja dibutuhkan Rp 12 miliar sebulan. Sampai sekarang, dicatat oleh Koalisi LSM HAM, semua jenis operasi militer dari Operasi Jaring Merah hingga Masa Moratorium dan Operasi Meunasahsudah menelan sekitar Rp 751 miliar. Dalam angka yang "membelalakkan" mata itu, tentu saja belum termasuk dana yang ditilap penyeleweng.
Sudah begitu mahal, tak ada jaminan operasi akan sukses. Itu bila artikel berjudul Insurgency and Counter-Insurgency dijadikan patokan. Disebutkan, apabila terjadi pembunuhan dengan ratusan korban, penganiayaan, pembunuhan anak-anak, pengusiran penduduk dari rumah, penyanderaan, pemerkosaan, eksekusi, perampokan, dan pembantaian, itu artinya operasi militer terbatas itu telah gagal.
Mampukah TNI menghindari semua ini setelah budaya "keras" berbagai operasi terjadi di Aceh dan daerah bergolak yang lain? Berat dan sulit. Terutama jika tujuannya tak sekadar mengeliminasi kekuatan separatis, "Tapi bagaimana winning the heart rakyat Aceh," kata Riefki Muna.
Syarat memenangkan hati itu repot dicapai. Rakyat Aceh, yang sebagian besar menderita akibat konflik GAM versus TNI, harus mendapat penjelasan gamblang apa bedanya operasi terbatas nanti dengan Operasi Jaring Merah dan operasi lainnya. Selanjutnya, pihak militer secara periodik harus memberikan laporan tentang hasil operasi. Menurut Riefki, hal itu penting untuk mempertahankan prinsip akuntabilitas operasi dan menghindari tuduhan pelanggaran hak asasi manusia di kemudian hari.
Dan yang terpenting adalah payung politik. Artinya, keputusan untuk mengirim pasukan ini benar-benar merupakan keputusan politik yang berdasarkan keinginan baik.
Operasi mungkin bisa diterima. Tapi inilah sebuah kemunduran dalam hubungan Jakarta-Aceh. Jalan damai lewat Jeda Kemanusiaan kini harus ditukar dengan operasi militer yang penuh risiko pelanggaran hak asasi manusia. Nyawa rakyat Aceh kembali dipertaruhkan. Penyelesaian di meja perundingan sementara ditutup. "Cara keras" kembali diterapkanwalau cara ini sebagian dipicu oleh ulah gerakan separatis di Aceh. Dan militer, yang berpuluh tahun gagal menyelesaikan soal Aceh lewat daerah operasi militer, kembali menjadi tumpuan penyelesaian kisruh Aceh. Sebuah mission impossible?
Bina Bektiati, Andari K. Anom, Darmawan Sepriyossa.(Jakarta), Kamal Farza (Aceh)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo