Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Jakarta, mereka menginap di sejumlah tempat, dari Kantor PB Nahdlatul Ulama di Jalan H. Agus Salim, kantor-kantor cabang NU, pesantren, Kantor Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) se-Jabotabek, hingga rumah-rumah penduduk. Di Kantor PBNU, misalnya, terlihat seperti sedang ada hajatan besar. Di atas karpet berwarna hijau, puluhan tamu itu tergolek-golek. Pesantren Asshiddiqiyah milik kawan karib Abdurrahman, Kiai Nur Iskandar Sq., menampung sekitar 600 orang: 200 orang di Kedoya dan 400 orang di pesantren Batuceper.
Mereka yang datang itu bukan sembarangan. Umumnya sudah "setor nyawa" alias pasukan berani mati. Sebelum ke Jakarta, mereka dibekali jimat pelindung nyawa dari para kiai. "Mereka sudah dipersiapkan lahir batin," tutur Imam Ghozali Aro, Wakil Ketua GP Ansor Jawa Timur, kepada TEMPO.
Di pesantren milik Kiai Nur Iskandar, mereka ditampung di ruang tamu, aula, dan kamar-kamar santri. Menu makan mereka seadanya: nasi goreng, nasi uduk, atau nasi putih berlauk tahu tempe. Mereka yang datang larut malam tidak mendapat makanan. "Karena dapur tutup, ya, mereka tidur dengan perut keroncongan," cerita Kiai Nur Iskandar kepada TEMPO. Malam harinya, mereka mengatur siasat bagaimana menjebol barikade polisi atau menembus halangan berupa apa pun. Ada yang memperdalam ilmu olah kanuragan di halaman pesantren.
Keandalan ilmu olah kanuragan itu konon pernah terbukti. Ketika mereka masuk ke halaman Gedung MPR/DPR, aparat meminta agar semua senjata tajam ditinggalkan, tapi kawat berduri tajam yang memanjang di depan halaman gedung itu tidak disingkirkan oleh aparat. Tak kurang akal, ilmu olah kanuragan itu lalu digunakan. Kawat berduri itu bisa dilumpuhkan. "Kami terpaksa menggunakan ilmu itu," kata seorang pemuda dari Jawa Timur.
Biasanya, selepas melakukan aksi, mereka pulang ke markas dengan menggunakan bus carteran. Tapi, karena umumnya mereka baru sekali datang ke Jakarta, sebagian berkeliling dulu dengan kendaraan umum. Bahkan, seorang pendukung Presiden Abdurrahman dari Probolinggo memilih berjalan kaki dari halaman Gedung MPR/DPR itu hingga pesantren Batuceper. Karena kakinya lecet, sepatunya dijinjing dengan plastik kresek. Pemuda ini baru tiba di Batuceper menjelang pagi. Ketika ditanya sejumlah kawannya, pemuda itu berujar, "Saya asyik memandang gedung-gedung bertingkat itu. Jadinya ya tersesat," yang mengundang gelak tawa kawan-kawannya.
Dalam pekan ini, saat Presiden Abdurahman Wahid akan datang ke DPR untuk menjawab memorandum pertama, pasukan berani mati ini kabarnya akan bergerak lagi ke Jakarta. Padahal, Presiden Abdurrahman mengatakan seusai salat Jumat pekan lalu, ia sudah minta kepada kiai agar melarang warga NU ke Jakarta. Mungkin para kiai sudah tidak didengar lagi, atau anak-anak muda NU ini kebelet ingin pelesir ke Ibu Kota. Kapan lagi ke Jakarta melihat gedung bertingkat dengan makan gratis jika tidak sekarang?
Wenseslaus Manggut, Andari Karina Anom, Adi Sutarwiyono (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo