Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tony Prabowo dan Perselingkuhan Gramatika

Sekali lagi, Tony Prabowo menampilkan penjelajahan kemungkinan memadukan bahasa tekstual dengan bahasa musikal. Ia menyelam jauh ke wilayah dasar konstruksi musik yang sangat rasional-matematis.

1 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Ubiet menjawab, menghias, dan menginterupsi Hampa. Di Hotel Darmawangsa pertengahan Maret silam, untuk merayakan ulang tahun majalah ini yang ke-30, Nyak Ina Raseuki mengeluarkan teknik vokal yang unik dalam karya solis karya Tony Prabowo, dengan pola interval yang cenderung vertikal—lalu lintas suara yang melayang-layang samar dengan interval cenderung horizontal pada modus sembilan nada dari rekaman. Dan hasilnya adalah sebuah dialog dengan jalinan tekstur yang rumit tapi senyap.

Malam itu, Tony Prabowo, sebagai salah satu komposer muda Indonesia yang paling terkemuka, dalam reputasi internasionalnya memperlihatkan kembali kesungguhannya menjelajahi berbagai kemungkinan memadukan bahasa tekstual dengan bahasa musikal. Ia juga menjelajahi kemungkinan menata komposisi vokal untuk paduan suara. Komposisi vokal untuk paduan suara ini adalah salah satu prestasi paling mutakhirnya, kendati sebagai obsesi pribadi tampaknya telah terpendam lama.

Salah satu hal yang signifikan dalam pergelaran ini terutama bahwa konstruk musikal yang disuguhkan Tony merangsang kita untuk merenungkan kembali persoalan estetis-filosofis yang sebenarnya telah muncul sejak zaman Messiaen, Boulez, Nono, dan Schnebel sekitar 50 tahun lalu, yakni: tegangan antara makna kognitif dan sensasi psikoakustik; struktur gramatika linguistik dan struktur gramatika musik.

Karya kedua, Meditation on Lu-Xun II, dibawakan oleh Batavia Madrigal Singers di bawah komando Avip Priatna, konduktor paduan suara paling terkemuka di Indonesia saat ini. Baris-baris sajak Lu-Xun tentang "harapan" yang pendek tapi bernas itu di sini acap kali dicacah-pecah secara melismatik dan diberi ruang-ruang kosong di antara frase-frasenya. Karya yang pertama kalinya dibawakan oleh paduan suara Universitas Parahiyangan dan ikut membawanya pada prestasi tinggi dalam Olimpiade Koor di Linz, Austria, Juni 2000 ini adalah konfigurasi pencarian Tony atas kedalaman teks. Pengulangan teks dengan berbagai variasi kord dan tempo, penekanan pada frase tertentu seperti "but because..." yang setiap kali mendadak melonjak di antara dinamik yang umumnya hening-bening itu, kontras antara interval rapat dengan spasi di sana-sini adalah berbagai siasat Tony untuk mengangkat kedalaman meditatif itu.

Dan itulah masalahnya. Di sini "makna" yang lazimnya merupakan peristiwa intelektual-kognitif terpaksa mengalami transposisi menjadi peristiwa psikoakustik. Kedalaman makna di sini lantas bukan lagi sesuatu yang konseptual, melainkan menjadi semacam totalitas aura yang meruap dari dalam jalinan bunyi, tempo dan dinamik, yang lebih berkorelasi dengan wilayah rasa.

Dalam pola-pola tekstur musikal yang tonal dan melodius barangkali konfigurasi bunyi masih lebih mudah untuk bisa berjajaran dengan imajinasi konseptual yang muncul. Namun, ketika yang digunakan adalah gramatika musik serialisme dengan kecenderungan atonal, misalnya—yang masih terasa kuat pada musik Tony—maka terasa menjadi lebih sulit. Masalahnya, selalu saja ada kecenderungan kuat pada gramatika musik serial dan pola atonal, skematisasi matematis ketat interval, tempo dan nada berkecenderungan membuat korelasi emosionalnya menjadi pelik dan sulit. Sementara itu, kesan pungtual alias kemandirian-otonom setiap nada individual pun sulit dihindarkan. Belum lagi pungtualitas pun muncul pula secara tak terhindarkan dari penggunaan melisma. Meskipun orang macam Stockhausen menganggap bahwa aspek meditatif justru terletak pada pungtualitas itu, manakala konstruk musik tersebut didasarkan pada sebuah teks, sebetulnya tetaplah muncul harapan akan keterkaitan hierarkis antar unit-unit terkecilnya.

Bagaimanapun sebuah sajak adalah sebuah konstruk wacana utuh yang menyandarkan maknanya bukan pada suku kata, bukan pula pada kata sebagai wujud mandiri, melainkan pada kalimat. Persoalan ini berlaku pula bagi dua karya Tony yang lain, yaitu Eros untuk solis dan biola, yang mengacu pada sajak Rilke, serta Tentang Pantai untuk paduan suara dan tiga solis, yang mengacu pada sajak Goenawan Mohamad. Namun, percakapan solis Binu Sukarman dengan biola Oni Krisnerwinto pada Eros rasanya toh berhasil menampilkan ambivalensi posisi eros dalam sajak Rilke. Sementara itu, ambiguitas relasi antara "benteng" dan "pantai" dalam sajak Goenawan meruap kuat lewat interaksi harmoni kromatik, modus dan ekspresivitas solis dalam karya Tentang Pantai.

Barangkali transfigurasi sebuah puisi menjadi gubahan musikal memang mesti berarti transfigurasi dari idea menjadi roh, dengan habitat dan bahasanya sendiri yang berbeda. Musik di sini memang bukan "penerjemahan", bahkan mungkin bukan pula "penafsiran", melainkan semacam manifestasi komunikasi batin yang menyelami roh sang puisi itu. Hingga sebenarnya sah saja bila kata-kata di sana pun berubah menjadi sekadar elemen sonorik atau imaji fonetik. Bahasa menjadi musik dan musik menjadi bahasa tersendiri. Peristiwa kognitif menjadi peristiwa auditif.

Karya-karya Tony selama ini berwajah ganda: di satu sisi ia menyelam jauh ke wilayah dasar-dasar konstruksi musik yang sangat rasional-matematis versi tradisi Barat, di sisi lain ia pun menjelajah segala kemungkinan baru yang bisa digalinya dari khazanah lokal Indonesia. Kendati boleh jadi ia tak terlalu peduli pada konsep "originalitas" ala John Cage atau kaum avantgardis, toh karya-karyanya yang telah direkamnya dalam CD berjudul Commonality, terutama yang lebih banyak mengeksplorasi khazanah tradisi Indonesia, terasa lebih mengesankan keunikan dan kecerdasannya ketimbang eksperimennya dalam konstruksi bentuk Barat.

Bambang Sugiharto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus