Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KALI ini para koboi Senayan tidak berdaya. Kelompok muda dari berbagai fraksi yang ngebet mengegolkan memo-randum kedua itu bisa "dijinakkan" Fraksi PDI Perjuangan dalam rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR, Kamis pekan lalu. Partai yang dipimpin Megawati Sukarnoputri itu cenderung mengikuti jalur konstitusi: beri kesempatan Presiden menjawab memorandum pertama; jika jawaban tak memuaskan, baru "kartu kuning" kedua boleh dikeluarkan. Akibat diduga melakukan korupsi dalam kasus Bulog dan Brunei, pada 1 Februari lalu Presiden Abdurrahman Wahid "kena" memorandum pertama, yang harus dijawab sebelum 1 Mei 2001. Yang paling bungah (girang) dengan putusan Kamis itu jelas Fraksi PKB, pendukung Presiden, yang makin "kesepian" dukungan. "Saya sangat salut dan hormat kepada PDI-P," kata Rodjil Ghufron, salah satu juru bicara fraksi itu.
Sikap Fraksi PDI-P memang susah diterka. Semula, mereka menyokong upaya mempercepat lahirnya memorandum kedua. Itu tersirat dari surat pemimpin Fraksi PDI-P yang ditujukan kepada Ketua DPR, 19 Maret lalu. Dalam surat yang diteken oleh Ketua Fraksi PDI-P Arifin Panigoro dan sekretarisnya, Heri Akhmadi, itu dinyatakan perlunya digelar rapat paripurna untuk membahas kinerja Presiden setelah diluncurkannya memorandum pertama. Alasannya, waktu yang tersedia terbatas karena masa reses DPR baru berakhir pada 24 April nanti.
Dengan tanggal yang sama, lima fraksi lain juga bersurat kepada Akbar Tandjung. Kelimanya adalah Fraksi Reformasi, Fraksi Golkar, Fraksi PBB, Fraksi PPP, dan Fraksi Perserikatan Daulatul Ummah (PDU). Keinginan kelima fraksi itu lebih tegas. Mereka mengusulkan agar memorandum kedua segera dikeluarkan dengan alasan Presiden tidak sungguh-sungguh memperhatikan memorandum pertama. Fraksi Reformasi, misalnya, mendesak agar memorandum kedua dikeluarkan sebelum 2 April, saat anggota DPR mulai reses. Malah, menurut pemimpin Fraksi Bulan Bintang, "Percepatan memorandum dan Sidang Istimewa MPR adalah solusi terbaik untuk penyelesaian masalah bangsa."
Usulan itu dinilai banyak orang terlalu dini. Sesuai dengan Ketetapan MPR Nomor III/1978, memorandum kedua bisa diajukan "dalam waktu tiga bulan" setelah memorandum pertama keluar. Rupanya, mereka menafsirkan kata "dalam waktu tiga bulan" itu dengan cara lain. Memorandum kedua, kata mereka, bisa diajukan kapan saja dalam kurun tiga bulan itu. Ini memang beda tafsir yang tak akan selesai diperdebatkan dalam 40 hari 40 malam sekalipun.
Dan kabarnya, tanpa didukung penuh oleh Megawati, pemimpin Fraksi PDI-P ikut hanyut dalam "irama percepatan" yang ditabuh kalangan Poros Tengah dan Golkar. Tapi Alvin Lie dari Fraksi Reformasi menyangkal, "Setahu saya, Ibu Megawati merestui."
Barisan PDI-P sejatinya tidak satu sikap. Di seberang kelompok Arifin Panigoro, ada figur seperti Dimyati Hartono dan Hariyanto Taslam yang "anti-jalur cepat" gaya Arifin. Kubu Dimyati sangat yakin bahwa Megawati konsisten menempuh jalur konstitusi. Tidak mengherankan jika dalam rapat partai di Markas PDI-P di Pecenongan, Selasa pekan lalu, sempat terjadi perdebatan sengit. Dalam rapat yang dihadiri oleh Megawati itu, kabarnya, kubu Arifin diserang habis. Ia dianggap memanipulasi sikap Megawati selama ini.
Tapi Arifin Panigoro menangkis. Menurut orang bisnis yang lihai ini, sikap Fraksi PDI-P tak menyimpang dari garis yang ditoreh oleh sang Ketua Umum. Bahwa ia terkadang diminta oleh Megawati agar tidak melangkah lebih jauh atau tidak mendahului, itu diakui pula oleh Arifin. Malah, ia meminta fraksi lain memahami "bahasa diam" Megawati. "Ibu Megawati itu orang Jawa. Beliau tidak bisa menyampaikan pendapatnya tegas-tegas," katanya kepada TEMPO.
Bagi kelompok yang anti-percepatan memorandum, ketidaktegasan sikap Megawati itu lain lagi tafsirannya. Menurut mereka, sebetulnya Megawati kurang srek dengan upaya mendongkel Abdurrahman Wahid secara kasar. Bahkan, ada pula yang menilai bahwa Ketua Umum PDI-P itu masih ingin mempertahankan Abdurrahman sebagai presiden. Apalagi, menurut seorang anggota Fraksi PDI-P dari kelompok ini, setelah rapat PDI-P, Kwik Kian Gie sempat dipanggil Megawati. Tokoh sentral Kaukus 11 November yang sejak awal menginginkan agar Abdurrahman mundur itu, kabarnya, diminta mengerem aksinya.
Tak urung, ketidakkompakan barisan Banteng berimbas dalam rapat Bamus DPR, Kamis, 22 Maret lalu. Di situ, kelompok yang anti-percepatan memorandum unjuk gigi. Panda Nababan, anggota PDI-P, misalnya, menolak fraksinya dimasukkan ke kelompok yang setuju memorandum kedua dipercepat. Ia juga meminta DPR mau menerima jawaban Presiden mengenai memorandum pertama secara lisan di depan rapat paripurna DPR. Aksi Panda yang dulu berjasa menaikkan Megawati ke kursi Ketua Umum PDI-P itu membuat Arifin tak berkutik.
Setelah melewati serangkaian lobi, kalangan Poros Tengah dan Golkar pun mengalah. Akhirnya, disepakati, perlu-tidaknya memorandum kedua akan dibahas pada 30 April, setelah masa reses DPR. Ini berarti percepatan memorandum kedua gagal. Presiden juga diberi kesempatan menjawab memorandum pertama di depan rapat paripurna DPR, 29 Maret mendatang. Dan belakangan, Abdurrahman Wahid menyatakan bersedia memberikan jawaban pada 28 Maret.
Satu babak kusut usai, walau babak yang lebih menegangkanmisalnya jika jawaban Presiden ditolakmasih membayang di depan.
Gendur Sudarsono, Levi Silalahi, Andari Karina Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo