Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah rektor mengimbau tenaga pendidik di kampusnya agar tidak mencantumkan gelar di dalam surat, dokumen, dan produk hukum yang harus membubuhkan tanda tangan mereka. Kecuali ijazah, transkrip nilai, atau yang setara karena menyangkut urusan akademik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sikap tersebut sebagai upaya untuk menjaga semangat kolegial dalam tata kelola perguruan tinggi. Mereka memandang profesor atau guru besar hanyalah jabatan fungsional, tidak seharusnya membuat jarak sosial.
1. Universitas Islam Indonesia (UII)
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid, mengimbau kepada para pejabat struktural di lingkungan perguruan tingginya untuk menuliskan nama dia tanpa gelar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, kampus harus menjadi salah satu tempat paling demokratis. "Jabatan profesor memang sebuah capaian akademik, tetapi yang melekat di sana lebih banyak tanggung jawab publik," ucap dia saat dihubungi Tempo, Kamis, 18 Juli 2024.
Selama ini, seluruh korespondensi surat, dokumen, dan produk hukum yang membutuhkan tanda tangannya sebagai rektor, selalu menuliskan gelar lengkap seperti Prof. Fathul Wahid, S., M.Sc., Ph.D.
Namun, ia mengecualikan dokumen yang memang membutuhkan pencantuman gelar tersebut seperti ijazah, transkrip nilai, dan yang setara.
Fathul memandang profesor di Indonesia semakin banyak, tetapi sulit untuk mencari yang benar-benar konsisten melantangkan kebenaran ketika ada penyelewengan.
2. Universitas Airlangga (Unair)
Rektor Unair M. Nasih mengatakan telah menyampaikan kepada tenaga pendidik kampusnya, agar tidak mencantumkan gelar pada namanya di beberapa dokumen atau surat. Ia berujar telah lama memposisikan diri kapan waktu yang tepat untuk menulis titel, termasuk gelar profesor.
Menurut dia, gelar tak perlu ditulis jika bukan tugas akademis. “Kalau di Unair, kami meminta gelar itu tidak perlu ditulis kalau sifatnya administratif, karena bukan tugas akademis, kecuali kalau wisuda, menjadi penguji, dan tugas akademis lainnya,” kata Nasih di Kampus C Unair, Jumat 19 Juli 2024.
Upaya itu, kata Nasih sebagai bentuk sakralisasi seorang guru besar untuk menjaga martabatnya. Sebab, hanya sebagian orang yang bisa mencapai posisi itu. “Jadi bukan desakralisasi, kami inginnya sakralisasi,” ucap guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unair itu.
Oleh karena itu, Nasih juga menyarankan penilaian guru besar harus lebih kuat dan disaring lagi untuk menjaga posisi guru besar tetap sakral dan mulia. “Jangan sampai orang yang belum waktunya dapat gelar itu, malah dapat sebelum waktunya,” ucap Nasih.
3. Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ)
Rektor UPNVJ Anter Venus mengatakan kampusnya sudah lama tidak mencantumkan gelar pada nama, dalam surat, dokumen, termasuk saat bersurat dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Venus menyebut di Indonesia pengakuan publik seolah lebih penting daripada substansi masalah yang dibicarakan. Padahal di luar negeri jabatan atau gelar adalah hal yang biasa.
Ia menyayangkan orang-orang yang sudah mendapatkan jabatan guru besar tapi kualitas keilmuannya tidak ada. "Gelar akademik ini kan kaitannya dengan kemampuan orang untuk memahami dan mengembangkan dunia keilmuan, serta melihat berbagai potret masalah di sekitar mereka," ucapnya kata dia kepada Tempo, saat ditemui di Gedung Rektorat UPN VJ, Jakarta Selatan, Sabtu, 20 Juli 2024.
Menurut dia, guru besar atau profesor hanyalah jabatan fungsional. Ia sendiri tahun ini berencana untuk mengajukan diri sebagai guru besar. Ia menganggap itu adalah jenjang karier bagi dosen. "Itu bagian dari jalur karier sebagai dosen saja, enggak ada kebanggaan apa-apa yang mau dicari juga," ujarnya.