Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Hari Itu 15 Tahun Lalu

Des Alwi, orang Indonesia yang bermukim di Malaysia banyak berperan dalam usaha menghentikan konfrontasi antara Malaysia dengan Indonesia. (nas)

22 Agustus 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APRIL 1965. Melalui saluran Sayed Nazir (sekarang Ketua Parlemen Malaysia), Tengku Abdul Rahman menyuruh saya mengamati pendekatan yang dilakukan Indonesia dari jauh. Karena waktu itu utusan Jenderal Yani yang pertama, terdiri dari Sukendro dan Syarnubi Said, belum berhasil. Artinya tanpa kelanjutan. Kemudian ada misi Kolaga dari Kostrad yang diutus Pak Harto dan bertujuan sama dengan misi sebelumnya. Sebetulnya pihak Malaysia waktu itu juga sudah berniat untuk menormalkan kembali hubungan. Misi Kolaga ini rupanya tahu bahwa orang yang harus dihubungi adalah saya. Mereka memakai anak-anak Minahasa yang saya kenal baik, misalnya Willy Pesik, Jerry Sumendap dan Daan Mogot. Kabarnya ada rencana mengirim mereka naik kapal menuju Penang biar tertangkap hingga kemudian bisa menghubungi saya. Tapi rencana itu diurungkan karena dianggap terlalu riskan. Mereka kemudian dikirim ke Bangkok. Secara kebetulan saya bertemu mereka di sana. Begitulah, hubungan kemudian terbuka. Pada mulanya pihak Malaysia tidak begitu percaya pada credential mereka. Pihak Malaysia ragu, mereka mewakili AD atau bagaimana. Beberapa kali saya harus pergi ke Bangkok. Waktu Tun Razak mampir ke Bangkok, diam-diam beliau saya kenalkan dengan Pak Benny (Moerdani) dan Pak Ramli (kini Dir-Ut PN Timah). Setelah Gestapu gagal, peranan Pak Harto makin menonjol. Hubungan makin maju, cuma belum terbuka betul. Sampai akhir Desember 1965 hubungan terbuka makin sering. Yang merisaukan kami ialah: Tengku Abdul Rahman kami anggap terlalu banyak omong karena setiap ada kesempatan pidato masalah kontak terbuka ini selalu disinggungnya. Akibatnya dalam salah satu pidatonya Bung Karno pernah menyebut "petualang Des Alwi dan Letkol Pedagang Ali Moertopo ". Pak Harto lewat Pak Benny Moerdani kemudian mengirim telegram agar jangan terlalu gegabah dan terus merahasiakan semuanya. Jenderal Nasution juga menasihati untuk berpelan-pelan saja dan jangan terlalu cepat mengakhiri konfrontasi. Kami kaget mendengar ini. Siaga di Hongkong Waktu itu ada beberapa kelompok lain yang juga berusaha mengadakan pendekatan. Selain Syarnubi, yang saya ketahui antara lain misi Sugiharto dan keluarga Adam Malik. Pada 24 Mei 1966 saya menjemput Pak Ali (Moertopo) dan Pak Ramli di Hongkong. Bersama yang lain, antara lain Pak Benny dan Daan Mogot, kami ke Kualalumpur. Hanya beberapa jam di sana dan perundingan berhasil: kedua negara setuju untuk rujuk. Lewat Bangkok kemudian Pak Ali kembali ke Jakarta. Berita keberhasilan misi Pak Ali ini diteruskan ke Jakarta oleh Sumendap yang siaga di Hongkong. Maklum waktu itu hubungan telepon Hongkong-Jakarta lebih lancar dibanding via Bangkok. Sumendap mengirim berita keluarga lewat RRI sebagai kode bahwa misi berhasil. Isi berita keluarga tersebut "Daan Mogot harus menunggu di lapangan terbang Mapanget untuk menunggu kedatangan keluarga dari Jakarta." Dua hari kemudian, 26 Mei 1966, Indonesia mengirim misi muhibah yang dipimpin Laksdya O.B. Syaaf bersama Brigjen Kemal Idris (kini Letjen. Purn.). yang waktu itu Komandan Kopur II dan Ali Moertopo. Radio Malaysia kemudian menyiarkan rencana kedatangan misi muhibah itu walau Menteri Penerangan Malaysia waktu itu, Enchik Senu, kurang setuju karena khawatir rakyat Malaysia kaget. Tapi Tun Razak kemudian memerintahkan agar berita itu disiarkan. Ada sedikit kelucuan. Tan Sri Ghazali sudah berpesan pada Ali Moertopo untuk menggunakan frekuensi tertentu guna menghubungi Lapangan Terbang Subang, Kualalumpur, guna memperoleh izin mendarat. Menara lapangan terbang Subang juga sudah diberitahu. Tapi semua orang lupa pada jam tertentu frekuensi radio itu selalu berubah. Kabarnya hampir terjadi salah paham tatkala pesawat Hercules "Bandung" yang ditumpangi rombongan muhibah tak mendapat jawaban dari Subang hingga terus berbelok di atas Danau Toba. Beberapa pesawat pemburu Malaysia dan Australia kemudian diminta menghubungi Hercules tadi untuk memberitau perubahan frekuensi. Baru Hercules mau mendarat. Sehari setelah tiba di Kualalumpur, Tun Razak meminta saya menyarankan pada rombongan Indonesia untuk pergi ke Kedah, menemui Tengku Abdul Rahman yang sengaja "cuti" di sana. Biar bagaimanapun Tengku itu kan orang tua. Pimpinan misi Indonesia setuju. Cuma Pak Syaaf mengatakan tidak berkeberatan pergi ke Kedah, tapi harus dengan Hercules. "Saya anggap belum pantas untuk naik pesawat Malaysia," kata Pak Syaaf saat itu. Begitulah rombongan kemudian dibagi dua. Sebagian naik Hercules, sebagian naik pesawat Malaysia. Sampai di Kedah Tengku terharu dan memberikan mandat kepada Tun Razak untuk melanjutkan perundingan dengan pihak Indonesia. Alhasil, pada akhir Mei 1966 tercapailah perundingan resmi antara Tun Razak dengan Adam Malik yang waktu itu menjabat Menteri Utama. Dan akhirnya pada 11 Agustus 1966 itu habislah sudah riwayat konfrontasi dengan terselenggaranya persetujuan di Jakarta antara kedua negara tetangga itu, yang kini kita peringati bersama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus