APRIL 1965. Melalui saluran Sayed Nazir (sekarang Ketua Parlemen
Malaysia), Tengku Abdul Rahman menyuruh saya mengamati
pendekatan yang dilakukan Indonesia dari jauh. Karena waktu itu
utusan Jenderal Yani yang pertama, terdiri dari Sukendro dan
Syarnubi Said, belum berhasil. Artinya tanpa kelanjutan.
Kemudian ada misi Kolaga dari Kostrad yang diutus Pak Harto dan
bertujuan sama dengan misi sebelumnya. Sebetulnya pihak Malaysia
waktu itu juga sudah berniat untuk menormalkan kembali hubungan.
Misi Kolaga ini rupanya tahu bahwa orang yang harus dihubungi
adalah saya. Mereka memakai anak-anak Minahasa yang saya kenal
baik, misalnya Willy Pesik, Jerry Sumendap dan Daan Mogot.
Kabarnya ada rencana mengirim mereka naik kapal menuju Penang
biar tertangkap hingga kemudian bisa menghubungi saya. Tapi
rencana itu diurungkan karena dianggap terlalu riskan. Mereka
kemudian dikirim ke Bangkok. Secara kebetulan saya bertemu
mereka di sana. Begitulah, hubungan kemudian terbuka.
Pada mulanya pihak Malaysia tidak begitu percaya pada credential
mereka. Pihak Malaysia ragu, mereka mewakili AD atau bagaimana.
Beberapa kali saya harus pergi ke Bangkok. Waktu Tun Razak
mampir ke Bangkok, diam-diam beliau saya kenalkan dengan Pak
Benny (Moerdani) dan Pak Ramli (kini Dir-Ut PN Timah).
Setelah Gestapu gagal, peranan Pak Harto makin menonjol.
Hubungan makin maju, cuma belum terbuka betul. Sampai akhir
Desember 1965 hubungan terbuka makin sering. Yang merisaukan
kami ialah: Tengku Abdul Rahman kami anggap terlalu banyak omong
karena setiap ada kesempatan pidato masalah kontak terbuka ini
selalu disinggungnya.
Akibatnya dalam salah satu pidatonya Bung Karno pernah menyebut
"petualang Des Alwi dan Letkol Pedagang Ali Moertopo ". Pak
Harto lewat Pak Benny Moerdani kemudian mengirim telegram agar
jangan terlalu gegabah dan terus merahasiakan semuanya. Jenderal
Nasution juga menasihati untuk berpelan-pelan saja dan jangan
terlalu cepat mengakhiri konfrontasi. Kami kaget mendengar ini.
Siaga di Hongkong
Waktu itu ada beberapa kelompok lain yang juga berusaha
mengadakan pendekatan. Selain Syarnubi, yang saya ketahui antara
lain misi Sugiharto dan keluarga Adam Malik.
Pada 24 Mei 1966 saya menjemput Pak Ali (Moertopo) dan Pak Ramli
di Hongkong. Bersama yang lain, antara lain Pak Benny dan Daan
Mogot, kami ke Kualalumpur. Hanya beberapa jam di sana dan
perundingan berhasil: kedua negara setuju untuk rujuk. Lewat
Bangkok kemudian Pak Ali kembali ke Jakarta.
Berita keberhasilan misi Pak Ali ini diteruskan ke Jakarta oleh
Sumendap yang siaga di Hongkong. Maklum waktu itu hubungan
telepon Hongkong-Jakarta lebih lancar dibanding via Bangkok.
Sumendap mengirim berita keluarga lewat RRI sebagai kode bahwa
misi berhasil. Isi berita keluarga tersebut "Daan Mogot harus
menunggu di lapangan terbang Mapanget untuk menunggu kedatangan
keluarga dari Jakarta."
Dua hari kemudian, 26 Mei 1966, Indonesia mengirim misi muhibah
yang dipimpin Laksdya O.B. Syaaf bersama Brigjen Kemal Idris
(kini Letjen. Purn.). yang waktu itu Komandan Kopur II dan Ali
Moertopo. Radio Malaysia kemudian menyiarkan rencana kedatangan
misi muhibah itu walau Menteri Penerangan Malaysia waktu itu,
Enchik Senu, kurang setuju karena khawatir rakyat Malaysia
kaget. Tapi Tun Razak kemudian memerintahkan agar berita itu
disiarkan.
Ada sedikit kelucuan. Tan Sri Ghazali sudah berpesan pada Ali
Moertopo untuk menggunakan frekuensi tertentu guna menghubungi
Lapangan Terbang Subang, Kualalumpur, guna memperoleh izin
mendarat. Menara lapangan terbang Subang juga sudah diberitahu.
Tapi semua orang lupa pada jam tertentu frekuensi radio itu
selalu berubah. Kabarnya hampir terjadi salah paham tatkala
pesawat Hercules "Bandung" yang ditumpangi rombongan muhibah tak
mendapat jawaban dari Subang hingga terus berbelok di atas Danau
Toba. Beberapa pesawat pemburu Malaysia dan Australia kemudian
diminta menghubungi Hercules tadi untuk memberitau perubahan
frekuensi. Baru Hercules mau mendarat.
Sehari setelah tiba di Kualalumpur, Tun Razak meminta saya
menyarankan pada rombongan Indonesia untuk pergi ke Kedah,
menemui Tengku Abdul Rahman yang sengaja "cuti" di sana. Biar
bagaimanapun Tengku itu kan orang tua. Pimpinan misi Indonesia
setuju. Cuma Pak Syaaf mengatakan tidak berkeberatan pergi ke
Kedah, tapi harus dengan Hercules. "Saya anggap belum pantas
untuk naik pesawat Malaysia," kata Pak Syaaf saat itu.
Begitulah rombongan kemudian dibagi dua. Sebagian naik Hercules,
sebagian naik pesawat Malaysia. Sampai di Kedah Tengku terharu
dan memberikan mandat kepada Tun Razak untuk melanjutkan
perundingan dengan pihak Indonesia.
Alhasil, pada akhir Mei 1966 tercapailah perundingan resmi
antara Tun Razak dengan Adam Malik yang waktu itu menjabat
Menteri Utama. Dan akhirnya pada 11 Agustus 1966 itu habislah
sudah riwayat konfrontasi dengan terselenggaranya persetujuan di
Jakarta antara kedua negara tetangga itu, yang kini kita
peringati bersama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini