Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Di medan ABRI pun berubah

Aksi buruh di medan yang buntutnya merusak dan menjurus rasis tampaknya tak akan ditembak dengan pasal subversi. hanya pidana murni?

7 Mei 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AMOSI Telaumbanua, yang dicurigai sebagai "dalang" unjuk rasa kaum buruh di Medan, tiba-tiba bak siluman Gatotkaca. Mulanya, Ketua SBSI Medan ini dinyatakan buron. Konon, ia ngumpet di pinggiran Kota Medan. Eh, tahu-tahu ia sudah beramah-tamah dengan orang Badan Intelijen ABRI (BIA) di Markas Besar ABRI di Cilangkap, Jakarta, Kamis malam pekan lalu. Ia bersama dua temannya yang juga pengurus SBSI Medan, Soniman Lavau dan Fatiwanolo Zega, didampingi pula oleh pengurus DPP SBSI. Ini versi edaran pers DPP SBSI, Jumat pekan lalu. Siapa tidak kaget jika ternyata Amosi dkk. sudah menyerahkan diri Jumat malam pekan lalu kepada Bakorstanasda Sumatera Bagian Utara di Medan. Artinya, ia tak pernah hengkang ke Jakarta. Padahal, menurut SBSI, ia dijemput dari Medan, lalu menyusuri jalan darat ke Padang, sebelum terbang dengan pesawat ke Jakarta. Mana yang benar? Asintel Kodam I/Bukit Barisan, Kolonel Agus Utara, kepada wartawan di Medan, tetap berkeras bahwa Amosi dkk. tak pernah minggat dari Medan. Apa pun yang terjadi, agaknya inilah ending dari kisah buronnya Amosi. Sebab pelbagai isu sempat menyebutkan ia bersembunyi di Konsulat AS di Medan. Dari sini seolah-olah ia akan mencari suaka politik ke luar negeri. Namun, menarik disimak, begitu Amosi dkk. menyerahkan diri, Bakorstanasda segera melimpahkannya ke Poltabes Medan -- sesuai dengan KUHAP -- Jumat malam itu juga. Tuduhan kepada 50 tersangka pengunjuk rasa pun, yang sudah selesai diperiksa, tak satu pun dikenai pasal subversi. Sejumlah 12 berkas yang meliputi 22 tersangka yang dilimpahkan ke jaksa, umumnya, ditembak dengan Pasal 170 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 5,5 tahun. Yakni mereka yang terlibat melempari toko ataupun menjungkirkan mobil pada aksi buruh 15 dan 16 April lalu. Yang bakal dihukum berat adalah Ramli, 42 tahun, dan Zulkifli Sipahutar, 30 tahun. Kedua buruh swasta itu dituduh menganiaya July Kristanto hingga Direktur Utama PT Saudaratama Agra Perkasa Medan ini tewas. Keduanya dijerat pula dengan Pasal 160 KUHP karena telah menghasut massa hingga tindakan amuk meledak. Tapi umumnya mereka mengakuinya karena spontanitas belaka. "Tapi ada juga karena hasutan Amosi," kata Kepala Dinas Penerangan Polda Sumatera Utara, Letnan Kolonel Leo Soekardi, kepada TEMPO. Memang terlalu dini memperkirakan Amosi bisa dituduh sebagai pelaku subversi. Bahwa Amosi, misalnya, dituduh telah mengacaukan jalannya pembangunan adalah alasan klasik. Kepada TEMPO dua pekan lalu di Medan, Amosi menyangkal SBSI telah mengkoordinasi demonstrasi besar itu. Diakuinya, ia mendampingi 900 buruh berdelegasi ke DPRD, 11 April lalu. Namun, gara-gara itu, ia ditahan dan baru dilepaskan Polsekta Medan Baru, 12 April. Hari itu juga ia mampir ke kantor Kelompok Pelita Sejahtera (KPS), sebuah LSM yang gemar mengadvokasi kasus perburuhan di Medan. Tapi ia buru-buru cabut karena ingin cepat pulang ke rumah. Dua hari kemudian aksi buruh itu pun meletus. Apakah rapat di Jalan Tapian Nauli itu mematangkan aksi 14 April, Amosi tidak tahu. "Saya hanya sebentar di situ," katanya. Kini tempat itu telah kosong. Sebelumnya, Poltabes Medan menggerebeknya dan menyita beberapa dokumen. Saat wartawan TEMPO menyisir ke sana, Kamis pekan lalu, tampak beberapa intel mengawasi kantor KPS itu. "Si Amosi itu cuma kucing kurap. Dalangnya orang-orang kantor ini," kata petugas itu kepada TEMPO. Menurut petugas, para pentolan KPS itu, Parlin Manihuruk dan Diapari Manurung, sudah ngacir ke Jakarta. Sama dengan kantor Yayasan Pondok Rakyat Kreatif (YPRK) Medan, yang juga ditinggal kosong aktivisnya. Ketuanya, Jannes Hutahaen, menghilang pula dari Medan. "Jika mereka tak terlibat, ngapain lari," kata petugas tadi. Dalam catatan TEMPO, Amosi dan Riswan Lubis, Ketua dan Sekretaris SBSI Medan, sudah sejak 1992 menjadi sukarelawan KPS, organisasi yang sangat mempedulikan nasib kaum buruh. Bersama Soniman, Ribut, serta Herwin, mahasiswa Universitas Nommensen HKBP, mereka ditangkap karena dituduh mendalangi aksi mogok di PT Medan Canning & Frozen Industries. Maka, seperti kata seorang pejabat keamanan, Amosi, Riswan, dan Soniman sudah lama menjadi "kader binaan" KPS. Pengamat politik Arief Budiman, yang akhir Maret lalu berceramah di Medan, menilai, banyak aktivis KPS dan YPRK adalah aktivis HKBP juga. "Mereka belajar dari kasus HKBP, termasuk cara berdemonstrasi," katanya. Maklum, sejak akhir 1992, HKBP sarat dengan kisah demonstrasi, menyusul perpecahan dalam tubuh organisasi gereja itu. Menurut Arief, demo buruh di Medan itu sudah dipersiapkan dengan baik, dan tidak bermaksud rasis. "Jika kemudian jadi destruktif, itu mungkin oleh kawanan preman yang menyusup," katanya. Bakorstanasda memang telah mencatat KPS dan YPRK dalam arsipnya. Tapi langkah lembaga ini tampaknya lebih menyentuh akar persoalan "mengapa buruh di Medan itu bergerak". Mayor Jenderal A. Pranowo, kepada TEMPO dua pekan lalu, menuding bahwa "pengusaha memang banyak yang nakal", misalnya tidak mematuhi hak-hak normatif buruh. Jadi, lembaga itu tak sekadar menangkap para perusuh. Tak ayal, tiga tim pun dibentuk untuk meredakan keresahan dan keberangan kaum buruh. Kamis pekan lalu, misalnya, Tim B bergerak ke PT Perpharin Ria di Jalan Adam Malik. Padahal di situ ada unjuk rasa tertib oleh 100 buruhnya. Mereka bubar tatkala Tim B meminta pendemo bermusyawarah dengan Efendy Susanto, direktur anggur Vigour itu. Rapat yang demokratis pun dipimpin Seslaner, S.H., dari Kanwil Departemen Tenaga Kerja Sumatera Utara. Unek-unek buruh pun terdengar, dan Efendy tampak manggut-manggut. Singkatnya, banyak butir disepakati. Misalnya, beda upah buruh pria dan wanita sebesar Rp 300 dihapus. Semua memperoleh Rp 3.100 sehari. Juga tak ada lagi buruh musiman. Semua buruh tetap. Upah lembur juga harus ada, asalkan melebihi batas 7 jam, buat pria dan wanita. Pokoknuya, pelbagai kebrengsekan perusahaan itu terungkap, dan tak boleh terjadi lagi. "Kapan kesepakatan itu berlaku?" tanya seorang buruh wanita. Ketua Tim B, Letnan Kolonel Bambang Susetianto, pun bercanda, "Maumu apa setelah Lebaran tahun depan?" Dijawab oleh si buruh, "Kami hanya mau pastinya, Pak." Dan Letkol Bambang pun setuju: "Hari ini juga semua kesepakatan harus dijalankan." Jelas dia disambut tepuk tangan buruh yang hadir. Lalu, kesepakatan pun diteken Efendy, Seslaner, dan empat orang yang mewakili buruh pabrik itu. Kesepakatan yang meliputi program Astek, jenis-jenis cuti, pembentukan pengurus SPSI, dan sebagainya itu jugalah yang telah berlangsung di 30 perusahaan yang disentuh Bakorstanasda. Direncanakan, itu juga berjalan di 7.000 perusahaan di Sumatera Utara dalam tempo satu triwulan ini. Akankah putusan itu jadi "macan kertas"? "Kami akan memantau dan mengontrolnya," jawab Ketua DPD SPSI, Badrul Ilmi. Baguslah.Bersihar Lubis, Munawar Chalil, dan Affan Bey (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum