ANGGOTA Dewan Perwakilan Rakyat mendesak Menteri Agama Tarmizi Taher mundur. Bahkan ada yang menuduhnya menipu umat Islam dan bangsa Indonesia. Namun, sampai Kamis pekan silam, Tarmizi merasa belum bersalah, dan tidak perlu mundur. Tudingan tadi bermula dari pernyataan Tarmizi tentang 14.000 jemaah haji Indonesia berpaspor hijau terbang ke Saudi via Singapura. Tarmizi puyeng. Sebab, kuota haji untuk Indonesia adalah 160.000 orang. Sesuai dengan keputusan Organisasi Konferensi Islam (OKI), tiap negara mengirim satu jemaah dari 1.000 orang menurut populasinya. Jika 14.000 jemaah tersebut mendarat di Saudi, hal itu bakal mengurangi jatah haji "resmi" dengan PPH (pas perjalanan haji) sekali pakai berwarna cokelat keluaran Departemen Agama, yang harganya mahal ketimbang paspor hijau dari Imigrasi -- padahal berlaku untuk semua negara di dunia. Tarmizi pening menerima berita jemaah tidak resmi itu mulai ditangkap imigrasi Saudi. Lalu ia bergegas melapor ke Presiden Soeharto. Dan Pak Harto menyuruh pesawat Garuda yang pulang kosong mengangkut calon haji yang ditolak itu. Ternyata berita adanya penangkapan itu dibantah Duta Besar Arab Saudi Abdullah Abdul Rachman al-Alim. Wartawan TEMPO Rizal Effendi di Jeddah malah menemukan situasinya aman saja. Toh Tarmizi yakin, paling tidak ada 144 warga Indonesia ditahan dan dipenjarakan (lihat Simalakama Menteri Agama). Konsul Jenderal RI di Jeddah, Lillahi G. Sidharta, juga membenarkan. Namun, rata-rata lantaran paspor dan visa mereka kedaluwarsa. Jadi, mereka ditangkap bukan karena hendak berhaji dengan paspor hijau yang baru itu. Kata sudah telanjur diucapkan melalui lidah tak bertulang, maka pihak Imigrasi pun mencegat pemegang paspor hijau yang menuju Arab Saudi. Senin pekan lalu, 173 calon tenaga kerja Indonesia (TKI) dan 27 penumpang Royal Jordan terlunta di Bandara Soekarno-Hatta, karena tak punya surat rekomendasi dari Departemen Agama dan fasilitas keimigrasian. Tanpa ada dua surat itu, selama musim haji, hanya pemegang PPH (sebenarnya bukan paspor) yang boleh masuk Arab Saudi. PPH yang berlaku untuk tiga kota ini -- Jeddah, Mekah, dan Madinah -- khusus untuk jemaah yang membayar ongkos naik haji (ONH) versi Departemen Agama. Belakangan, banyak calon haji pergi tidak lewat ONH. Biasanya dalam kelompok kecil yang dipimpin guru mengaji. "Karena kecil, jadi lebih khusuk," kata Rana Yusuf Nasir, 46 tahun, kontraktor yang kali ini berhaji bersama keluarganya. Selain itu, perjalanannya cepat. Sebab, keluar-masuk Saudi tanpa menunggu giliran kelompok terbang seperti jemaah ONH. Banyak jemaah non-ONH berpaspor hijau itu berangkat melalui Singapura. Sebab tak perlu repot mengurus surat rekomendasi dari Departemen Agama. Resminya, surat itu gratis. "Hanya sulit keluar. Saya mau bayar Rp 250 ribu untuk satu rekomendasi, juga tidak dapat," kata Haji Mastur Sabilah, 43 tahun, bekas Sekretaris Majelis Dakwah Islamiyah (1985-1990) yang sudah 15 tahun memimpin perjalanan haji. Berhaji via Singapura memang murah. Visa haji gratis. Di luar tiket dan hotel, hanya tambah ongkos tiket bus selama beribadah, dan uang jaminan. Jumlahnya US$ 231 (sekitar Rp 500.000). Total biaya Sin$ 7.500 atau Rp 10 juta per orang. Bahkan, ada biro perjalanan menawarkan, dengan Rp 9,5 juta bisa menginap di tenda ber-AC dan hotel berbintang lima di Jeddah, Medinah, dan Mekah. Hanya di Arafah buang hajat menumpang fasilitas ONH. Jemaah "paspor cokelat" tidak senikmat itu. Dengan biaya Rp 6,9 juta per orang, mereka ditampung di asrama. Mau nyaman, bisa lewat ONH-plus. Tapi ada ongkos tambahan, biayanya jadi hampir melipat dua. Penyebab ONH mahal karena banyak dibebani biaya aneh. Misalnya, pada tahun 1991, tiket Garuda US$ 1.760 karena ditambah premi asuransi Perang Teluk, US$ 60. Karena tak terjadi apa-apa, uang yang seharusnya dikembalikan ke jemaah itu dibagi buat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia -- konon membangun rumah sakit haji -- dan separuh lagi untuk Garuda. Kini, perang itu telah bubar, toh ONH naik lagi. Juga, ada pajak sewa pesawat 7,09% (sekitar US$ 120 atau Rp 250.000) yang tak pernah diresmikan Pemerintah. Atau "uang bekal daerah" Rp 25.000 yang dipotong sebagian di Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji. Konon, guna membeli saham Bank Muamalat. Tapi itu tak pernah jelas laporannya. Yang pasti, bila tanpa tetek-bengek itu, ONH tahun ini hanya Rp 6,5 juta. Kelebihan berhaji dengan paspor cokelat hanya diakui sebagai kontingen haji resmi dari Indonesia. Segala urusan keimigrasian ditanggung beres. Tapi, sepanjang menyangkut ibadah, soal paspor dan visa di Arab Saudi toh cincai saja. Ikut pengalaman Ahmad Syaidun. Dari Jakarta, ia hanya berbekal paspor hijau. Akibatnya, ia dicegat di Terminal Haji Bandara King Abdul Aziz, Jeddah. Tapi Syaidun tidak dideportasi. Bahkan, kemudian diberi visa haji. Yang penting, ada jaminan dari staf Urusan Haji Konsulat RI di sana: Syaidun segera pulang seusai menunaikan haji. Beres, kan? Dalam soal haji, Arab Saudi tidak gegabah. Jangankan orang yang pernah diusir, menurut Lillahi G. Sidharta, yang mengutip seorang pejabat di sana, "Bekas penjahat atau maling yang datang lagi untuk berhaji tidak mungkin dihalangi." Jadi, jemaah bebas datang, boleh jalan kaki, dengan pesawat terbang, atau menunggang unta kurus -- seperti termaktub dalam Quran di surat al-Hajj. Dan soal harus memakai PPH atau paspor hijau tidak pernah diungkit-ungkit, mengingat para jemaah itu berstatus sama dan sederjat: "Ia adalah tamu Allah".Ivan Haris, Sri Pudyastuti, Wahyu Muryadi, Linda Djalil, dan Mohamad Cholid (Jeddah)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini