Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Merangsang berpikir ke depan

Soemitro tak mau berpolemik dengan panggabean. ia bicara soal dokumen ramadi, malari, penangkapan hariman dan orang-orang psi, pembredelan. apa katanya soal konfliknya dengan ali moertopo dan mau jadi presiden?

7 Mei 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JADWAL main golf Soemitro kini sering kacau. Padahal, golf adalah olahraga kesukaannya. Apa mau dikata. Di zaman yang semakin terbuka ini, pendapat bekas Panglima Kopkamtib (walau cuma setahun) itu menjadi laku. "Saya kini sibuk seminar, ngomong sana-sini," ujarnya tertawa lebar. Soemitro juga gemar menulis. Artikelnya muncul di pelbagai media cetak. Dan ia telah menghasilkan dua buku. Mengungkap Masalah, Menatap Masa Depan terbit 1991, dan Tantangan dan Peluang 1993 muncul awal 1992. Akhir Maret silam, ia meluncurkan memoarnya, Soemitro: Dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib, yang ditulis Ramadhan K.H. - yang juga menulis memoar Pak Harto beberapa tahun lalu. Berbeda dengan bukunya terdahulu, memoar Soemitro itu laku keras. Tapi memoar tersebut membuat koleganya, M. Panggabean, gusar, sampai akhirnya membuat konferensi pers. Jumat pekan lalu, Soemitro sempat menjawab pertanyaan Indrawan dan Putut Trihusodo dari TEMPO seputar bukunya itu. Petikannya: Apa tanggapan Anda atas sanggahan Panggabean? Ini hak Panggabean sepenuhnya untuk menjawab. Saya tak keberatan. Itu masalah lalu... (tertawa). Kalau mau dialog, diskusikan, ya seminar, supaya hasilnya bagus. Saya tak senang berpolemik di koran. Saya sudah menelepon dia beberapa kali, belum ada jawaban. Saya beritahukan, saya sudah kembali. Belum ada jawaban, ya, saya kira cukup. Anda dianggap memutarbalikkan fakta. Lo, ditanya lagi. Jawaban saya hanya itu. Saya tak bisa dipancing. Cukup. Apa tujuan Anda membuat memoar? Saya menulis supaya mereka yang muda tahu, menghindari kesalahan yang sama. Kesalahan yang mana? Misalnya, soal intelijen, harus satu. Tidak boleh ada dualisme dalam intelijen. Tak boleh ada private intelligence. Ndak boleh pejabat mendengarkan pengusaha sebagai informan. Kalau ada informan lapor, lempar ke intelijen, tanyakan benar enggaknya. Bisa saja pengusaha lapor yang tidak-tidak. Kalau ada yang meragukan? Saya menulis apa adanya. Menulis buku sejarah tak boleh bohong. Kesimpulannya bisa keliru, tapi tidak boleh sengaja menulis kebohongan. Karena itu, saya ungkapkan apa adanya. Memutarbalikkan fakta? Tidak ada itu. Bahwa ada tanggapan, saya senang sekali. Membicarakan masa lalu, mengapa kita harus sakit hati? Harold Crouch, salah seorang pengamat sejarah ABRI, bilang bahwa ketika Anda menjadi Pangkopkamtib, ada kubu-kubu di ABRI. Sayang, Crouch tak sempat ketemu saya. Pada saat itu, kalau dikatakan ada kubu, saya tidak merasakannya. Memang, orang dari luar dengan pola tata pikir Barat melihat ada kubu Soemitro- Soetopo Joewono dan kubu Ali Moertopo-Sudjono Hoemardani. Padahal, ketika Malari, Sudjono tidur dengan saya di kantor. Tapi akhirnya saya tahu mereka menyelidiki saya, ha-ha-ha. Ndak sadar saya. Saya begitu percaya. Saya memang tak main politik. Menyelidiki dokumen Ramadi...? Ooo, Ramadi tidak ada artinya..., nanti dalam buku saya berikutnya. Yang bikin Ramadi siapa? Ramadi itu orangnya Ali dan Sudjono Hoemardani, anggota GUPPI. GUPPI itu kreasi Ali-Sudjono. Saya tak tahu mengapa Ramadi meninggal..., misterius sekali. Saya tak pernah kenal orangnya. Anda bilang ada soal dokumen Ramadi. Tapi bilang juga tak ada apa-apa dengan Ali Moertopo.... Sama sekali tak ada kecurigaan. Soal Ramadi, itu nanti akan saya bahas dalam buku saya berikutnya. Dalam soal Malari, sepertinya Anda menyalahkan orang PSI? Oh, bukan menyalahkan. Saya hanya lapor ke Pak Harto. Ini, ini, ini. Pak, sejauh kemampuan, saya lihat ada orang-orang PSI di belakangnya. Ada rapat-rapat di sini, di sini. Dan saya tak bertindak terhadap mereka, kecuali Hariman. Saya yang memerintahkannya untuk ditindak. Soal pembredelan koran? Tidak. Waktu itu saya sudah mengundurkan diri. Saya tak pernah membredel. Harian Kami? Nggak. Pedoman? Nggak sama sekali. Indonesia Raya juga nggak. Justru Rosihan Anwar (Pedoman) dan Mochtar Lubis (Indonesia Raya), mereka termasuk inner circle saya. Menjelang Malari, Anda turun ke kampus-kampus dan bicara soal perubahan kepemimpinan. Maksudnya, Anda yang mau jadi pemimpin? Nggak ada. Siapa yang mengucapkan itu? Mereka keliru. Yang ada adalah perubahan kepemimpinan, dari semula represif ke persuasif. Kepada PKI, kita represif. Kepada bukan PKI, kita persuasif. Kalau ada perbedaan, saya undang. Main tangkap itu bukan kebiasaan saya. Usul siapa agar Anda didubeskan ke Washington? Nanti, itu dalam buku saya kedua. Mudah-mudahan terbit tahun ini juga. Apa yang mau ditulis? Saya cuma ingin memprovok pemikiran. Belum tentu kesimpulan saya benar. Saya ingin merangsang orang-orang muda lebih berani berpikir ke depan dengan belajar dari kesalahan masa lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus