SEJAK kasus unjuk rasa buruh di Medan meruyak, urusannya seolah tak lepas dari aparat keamanan semata. Sedangkan pokok masalah -- berupa ketidakpuasan kaum buruh terhadap kurangnya perhatian pengusaha -- bagai terlupakan. Untuk itu, Sabtu pekan silam, Ardian Taufik Gesuri dan Ivan Haris dari TEMPO mewawancarai Menteri Tenaga Kerja Abdul Latief di ruang kerjanya. Berikut petikannya: Kenapa kasus unjuk rasa buruh di Sumatera Utara itu harus ditangani Bakorstanasda, dan bukan oleh menterinya? Kan sudah ada yang mati. Sifatnya sudah kriminal. Jadi, mau tak mau urusan aparat keamanan. Unjuk rasa di Medan itu tak murni soal ketenagakerjaan lagi. Itu cuma dijadikan pemicu. Kalau soal ketenagakerjaan, itu tanggung jawab saya. Hak-hak normatif, seperti upah minimum regional, tak bisa ditawar-tawar lagi, pengusaha harus melaksanakannya. Kalau tidak, ya, dia terpaksa diseret ke pengadilan. Anda bilang, kasus Sum-Ut akibat pola hubungan industrial Pancasila -- pekerja dianggap aset pengusaha -- belum memadai? Masih ada perusahaan, terutama di sektor industri, tak melihat pekerja sebagai aset yang menjadi bagian dari sistem produksi perusahaan. Cuma dianggap ongkos. Ini salah besar. Presiden sudah menginstruksikan agar hak dan kesejahteraan para pekerja segera dilaksanakan. Buktinya, di perusahaan yang sudah melaksanakan KKB (kesepakatan kerja bersama) tak ada masalah. Banyak pengusaha tak melaksanakannya dan tetap melihat pekerja sebagai momok. Itu pandangan zaman Orde Lama. Mereka cuma mau menekan pekerja. Bagi pengusaha yang tak menjalankan KKB, selain sanksi hukum, apakah ada sanksi lain yang melibatkan instansi seperti BKPM atau Perindustrian? Itu yang sedang dibicarakan. Tujuannya, agar selain sanksi hukum, juga ada sanksi administrasi tambahan, misalnya yang berkaitan dengan izin. Bagaimana dengan SBSI? Muchtar Pakpahan dengan SBSI-nya itu organisasi pola lama. Itu kan mundur. Tak ikut sistem yang kami bangun. Yang kami kembangkan, musyawarah pengusaha dan pekerja dalam organisasi pekerja masa depan. Ini masih proses, tapi semuanya menuju kesepakatan dalam Deklarasi Pekerja Indonesia, Februari 1973. Yaitu, konsep industrial union, organisasi pekerja berdasarkan federasi sektor-sektor pekerja. Tak lagi seperti zaman Orde Lama yang sarat organisasi buruh. Jadi, SBSI harus masuk ke sektor di bawah SPSI? Persis. SBSI kalau mau, ya, harus masuk ke sektor SPSI. Urusan menanggalkan nama SBSI, itu urusan dia. Atau kalau mau, jadi LSM yang memperjuangkan nasib pekerja. Tapi SBSI muncul justru karena SPSI tak bisa menampung aspirasi buruh? Kalau SPSI jelek, pengurusnya diperbaiki, dong. Jadi, aktivis buruh masuk ke sistem SPSI dan memperbaikinya dari dalam. Termasuk memperbaiki mekanisme pemilihan pemimpinnya. Agar pengurus unit kerjanya memang yang bisa menampung aspirasi pekerja. Itu baru sesuai dengan konstitusi. Pengusaha sendiri banyak punya organisasi, misalnya di tekstil ada FITI, ada API. Kok, buruh tak boleh? Lo, untuk pengusaha pun cuma satu: Kadin (Kamar Dagang dan Industri). Kadin juga federasi. Sektornya asosiasi-asosiasi itu. Sektor di SPSI -- sektor angkutan, sektor lain -- itu kan otonomi SPSI. Jadi, SPSI harus munas lagi untuk menyesuaikan diri dengan pola federasi. Pengembangan sektor di SPSI ini bukannya cuma alat menangkal kritik dari luar perkara organisasi buruh di sini? Nggak juga. Soal ini kan tergantung organisasi pekerja sendiri. Dalam konferensi ILO kan pemerintah tidak bisa ikut campur. Bukankah banyak kesepakatan antara buruh dan pengusaha berhenti di atas kertas saja? Memang di sana-sini hak pekerja dan kewajiban pengusaha belum dijalankan. Tapi Pemerintah tak akan kompromi. Mulai 1 April semua kesepakatan harus dijalankan di Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur. Tapi sedang dalam proses, terjadi kasus seperti di Medan. Di Jakarta, sudah 99,4% perusahaan yang sudah melaksanakan. Dan yang tak menjalankan sudah mulai diajukan ke pengadilan. Mereka yang ditahan di Sum-Ut itu kan pekerja juga. Kok, Depnaker diam saja? Kalau secara hukum tidak bersalah, Depnaker akan membelanya. Tapi kalau dia ikut nimpuk, ikut bunuh orang, itu bukan menuntut hak pekerja lagi namanya. Tapi kriminal. Masak, dibela? Soal tuntutan upah minimum Rp 7.000 itu menurut Anda bagaimana? Upah minimum disusun Dewan Penelitian Pengupahan Daerah, yang terdiri dari pengusaha, pekerja, dan pemerintah. Yang diteliti 32 komponen, lalu dihitung sehingga disepakati jumlah upah minimum regional yang sesuai dengan kebutuhan fisik minimum. Ini lalu diusulkan gubernur kepada saya. Medan, misalnya, dari Rp 2.500 dinaikkan menjadi Rp 3.100 per hari. Sedangkan usulan upah minimum Rp 7.000 itu mengada-ada. Tapi kalau dikemukakan jelas populer. Coba, dinaikkan segitu, siapa tak mau? Ini yang berkesan menghasut. Anda tahu pekerja itu 76,4% pendidikannya SD ke bawah. Bukannya banyak biaya siluman yang membuat komponen upah buruh menjadi kecil ketimbang total ongkos produksi? Tidak begitu. Soal ongkos produksi tak berhubungan dengan upah minimum. Nanti pekerja bisa makin rendah pendapatannya. Soal ekonomi biaya tinggi, termasuk biaya siluman, urusan deregulasi. Ekonomi biaya tinggi tak boleh menekan pekerja. Apa maksud Anda bahwa kasus Medan diselesaikan seperti kasus Marsinah? Begini. Kami ingin masalah ketenagakerjaan dan segala kasusnya selesai menurut hukum. Jadi, seperti kasus Marsinah, yang masalahnya betul-betul dibuka di peradilan. Untuk kasus Medan pun begitu. Yang bersalah segera dibawa ke pengadilan. Yang tidak bersalah harap segera dilepaskan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini