Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) Philips Vermonte enggan menuruti permintaan Poltracking Indonesia untuk menyampaikan permintaan maaf kepada publik setelah memberikan sanksi kepada lembaga survei tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Menurut saya ini bukan soal salah atau benar. Kami hanya mau lihat ini prosedurnya diikuti atau enggak,” kata Philips kepada wartawan dalam Rapat Umum Terbuka Anggota Persepi yang digelar di Hotel Mercure, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, pada Sabtu, 9 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Philips mengatakan pemberian sanksi kepada Poltracking Indonesia bertujuan agar semua anggota Persepi mengikuti prosedur saintifik yang sudah teruji. Sebab, kata dia, hasil survei yang menuai polemik bisa menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap survei.
Terkait data Poltracking yang tidak bisa diverifikasi, Philips menjelaskan salah satu permasalahan yang ditemukan Dewan Etik adalah adanya duplikasi. “Misalnya kuesioner nomor sekian, itu ada beberapa duplikat, ada yang mungkin triple nama orangnya, padahal nomor kuesioner sama, itu ada banyak,” ucap Philips. Sehingga, kata dia, Dewan Etik menyimpulkan data Poltracking tidak bisa divalidasi.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yuda, mendesak Persepi untuk meminta maaf. “Saya mengimbau para dewan etik, seharusnya meminta maaf kepada publik karena menyampaikan tidak dengan tegas orang punya kesalahan, melanggar kode etik yang mana dan lain sebagainya, tetapi memberi sanksi, bahkan diumumkan kepada publik,” kata Hanta dalam konferensi pers yang digelar di Hotel Sari Pacific, Jakarta Pusat, pada Jumat, 8 November 2024.
Dia juga mengklaim survei Poltracking objektif dan sudah sesuai prosedur. Poltracking sudah memutuskan untuk keluar dari Persepi per 5 November 2024, menyusul keputusan yang dikeluarkan Dewan Etik Persepi pada 4 November 2024.
Dalam keputusan itu, Poltracking diberi sanksi berupa larangan mempublikasikan hasil survei tanpa mendapat persetujuan dan pemeriksaan oleh Dewan Etik.
Dewan Etik mengatakan tidak bisa menilai dan tidak bisa memverifikasi kesahihan data Poltracking Indonesia dalam survei Pilkada Jakarta. Keputusan ini merupakan buntut dari adanya perbedaan hasil survei Pilkada Jakarta antara Poltracking Indonesia dengan Lembaga Survei Indonesia (LSI).
Dalam survei Poltracking mengenai Pilkada Jakarta yang dirilis pada 24 Oktober 2024, lembaga itu menyimpulkan elaktabilitas Ridwan Kamil-Suswono mencapai 51,6 persen. Lalu tingkat keterpilihan Pramono-Rano hanya 36,4 persen dan Dharma-Kun Wardana sebesar 3,9 persen.
Sementara itu, survei LSI yang dirilis pada 27 Oktober 2024, elektabilitas Pramono Anung-Rano Karno unggul dibandingkan dua pasangan calon lainnya yaitu mencapai 41,6 persen. Lalu elektabilitas Ridwan Kamil-Suswono sebesar 37,4 persen dan Dharma-Kun Wardhana hanya 6,6 persen.
Pilihan editor: Pramono Anung Janji Berantas Orang Dalam Perekrutan PPSU