Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dosen Filsafat UGM: Cuti Melahirkan bagi Suami dalam UU KIA Sebaiknya 2 Minggu

UU KIA yang mengatur cuti bagi suami untuk menemani ibu melahirkan dikritisi Dosen Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM), Rachmad Hidayat.

13 Juni 2024 | 09.01 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - DPR mengesahkan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak atau UU KIA yang mengatur kewajiban suami untuk mendampingi selama masa persalinan, pada 4 Juni 2024. Menurut Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Diah Pitaloka suami berhak cuti selama 2 hari dan dapat memperoleh cuti tambahan paling lama 3 hari berikutnya. Jumlah total yang berhak diberikan kepada suami untuk menemani istri pasca-melahirkan adalah 5 hari.

Lama cuti bagi suami dalam UU KIA juga bisa disesuaikan dengan kesepakatan dengan pemberi kerja atau pengusaha. Adapun, suami yang istrinya mengalami keguguran berhak mendapatkan cuti selama dua hari.

Menanggapi peraturan tersebut, Rachmad Hidayat menilai, cuti bagi suami menjadi langkah positif yang dibutuhkan bagi perkembangan dan pertumbuhan anak, tetapi perlu perhatian khusus. 

“Ini (UU KIA) langkah positif. Seorang laki-laki (ayah) dibutuhkan di rumah untuk terlibat membantu pasangannya dalam proses pasca-kelahiran. Namun, harus dipastikan penyedia lapangan kerja benar-benar menjalankannya,” kata Rachmad kepada Tempo.co, pada Rabu, 12 Juni 2024.

Dosen Teori-Teori Sosial Filsafat UGM ini mengkritisi bahwa pemberian jumlah hari untuk cuti suami dalam UU KIA tidak layak. Sebanyak 2 hari dan tambahan 3 hari untuk cuti suami menemani proses persalinan dan pasca-melahirkan istri tidak relevan untuk diterapkan saat ini.

“Saat ini, pasangan muda hanya hidup bersama meliputi suami dan istri, terpisah dari orang tua dan keluarga besar. Kondisi ini berat dilalui suami dan istri dalam mengurus anak baru lahir, terutama untuk perempuan. Jika perempuan tidak punya support system dalam mengasuh anak usai melahirkan, cuti bagi suami hanya 5 hari itu tidak cukup,” jelas Rachmad.

Rachmad berasumsi cuti suami selama 5 hari tersebut dapat dilakukan, jika pasangan ini dibantu keluarga besar dalam mengurus anak. 

“Jika tinggal di kota yang berbeda dengan keluarga besar. Lalu istri baru melahirkan, cuti bagi suami hanya beberapa hari saja itu cukup berat,” ujarnya.

Lebih lanjut, Rachmad menyarankan, cuti bagi suami untuk menemani istri setelah melahirkan sebaiknya dilakukan selama 2 minggu atau 14 hari. 

“Selain menemani istri recovery (pemulihan) itu butuh waktu tidak sebentar. Waktu 2 minggu ini juga bagus untuk laki-laki menjalankan tanggung jawab sebagai ayah dan suami. Jika laki-laki mendapatkan waktu lebih banyak untuk keluarga dan anak, maka peran domestik lainnya dapat ditangani dengan lebih baik,” kata Rachmad.

Rachmad melihat bahwa suami yang baru menjadi ayah dan langsung bekerja membuat pikiran tidak fokus. 

“Baru menjadi ayah terus langsung masuk ke dunia kerja, saya yakin pasti itu tidak fokus karena mikirin anak di rumah dan istrinya. Kerjaan jadi lebih tidak produktif, lebih baik 2 minggu sehingga ketika masuk dunia kerja sudah happy (senang),” ujar Rachmad.  

Dengan demikian, Rachmad menekankan pentingnya cuti suami untuk menemani persalinan istri selama 2 minggu. Waktu ini juga dapat membuat kebutuhan rasa kasih sayang anak dari sosok ayah akan terpenuhi. Kendati demikian, Rachmad tetap menilai cuti bagi ayah dalam UU KIA ini sebagai langkah positif yang dapat diterapkan perusahaan atau penyedia lapangan kerja. 

RACHEL FARAHDIBA R | HAN REVANDA PUTRA

Pilihan Editor: DPR Mengesahkan UU KIA Istri Melahirkan Suami Bisa Cuti Kerja, Berapa Hari?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus