Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Duta Perompak Pulau Babi

28 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INILAH pulau para lanun dan pelacur di perairan Selat Malaka: Pulau Babi. Luasnya hanya sekitar sekilometer persegi. Letaknya pun cuma satu kilometer dari Pulau Belakang Padang, Batam. Tapi cerita para perompak yang bersemayam di pulau kecil itu bergulung bersama ombak, bersama waktu. Riak kisahnya bahkan sampai ke mancanegara. Pulau Babi punya nama lain, Mat Belanda. Menurut tuturan Amir Pasaribu, 60 tahun, pulau itu pernah menjadi tempat hunian warga Belanda yang tak sempat kembali ke negerinya setelah Indonesia merdeka. Saat itu penghuninya masih sedikit. Entah siapa yang memulai, yang jelas peternakan babi hutan pun berkembang di sana. Sejak itu sebutannya pun berubah dari Mat Belanda menjadi Pulau Babi. "Itu dulu, sewaktu pulau ini masih kosong," ujar Amir, yang telah menetap di sana 20 tahun. Kini penghuninya juga tak terlalu padat. Ada sekitar 200 kepala keluarga. Tapi Pulau Babi, kata Amir, pernah sangat terkenal sebagai sarang bajak laut. Menurut Amir, pembajak itu kebanyakan berasal dari Palembang, Sumatera Selatan. Mereka "bajing laut" yang sangat piawai menggasak kapal di Selat Malaka. Yang paling disenangi bajak laut, kata Amir, adalah Selat Philip. Selat itu beralur sempit, terletak di antara Pulau Kepala Jerih dan Pulau Takung. Dari Pulau Babi jaraknya sekitar 30 mil. Banyak pulau kecil di sekitarnya, seperti Labun (yang juga markas TNI-AL), Kepala Jerih, Pemping, Takung, Pelampung, dan Nipah. Letaknya berdekatan dengan pulau milik Singapura, Pulau Raffles, dan Selat Singapura. Saking rawannya, petugas keamanan laut dari Singapura melakukan patroli sampai empat kali sehari. Kadang ronda di laut itu dilakukan bareng Indonesia dan Singapura. Maklumlah, setiap hari duit sepertinya mengapung di atas selat itu. Sekitar 1.000 kapal saban hari masuk dan melintas di Selat Singapura dari penjuru dunia, termasuk kapal-kapal Indonesia. Menurut data International Maritime Bureau (IMB), dari angka seribu itu, sekitar 210 adalah kapal di atas 10 ribu ton, seperti tanker dan kapal kargo. Kata Amir, para bajak laut itu muncul seperti hantu. Mereka merapat ke kapal besar tanpa diketahui oleh anak buah kapal setempat. Biasanya, dengan menggunakan speed boat berkekuatan 40 PK, mereka menyikat kapal tanker, kargo, atau apa saja yang menjadi sasaran operasi. Modalnya adalah tali dan tentu saja senjata rakitan dan senjata tradisional. Raden bin Hanafi, 38 tahun, punya cerita menarik tentang asal-usul bajak laut itu. Lelaki kelahiran Sei Nanti, Kayu Agung, Palembang itu mengatakan, kebanyakan lanun itu memang datang dari kampungnya, Kayu Agung. Dan para pembajak itu rupanya sudah tertempa oleh alam Kayu Agung yang keras. Di desanya, kata Raden, banyak sungai besar. Di atas aliran sungai itu, kerap kali dijumpai tali akar yang menjuntai. Sungai yang terkenal deras adalah Sungai Batanghari, Kayu Agung. Namun masyarakat setempat menyebut Sungai Lempuing. Tali akar digunakan bermain sambil mandi di sungai oleh bocah-bocah Kayu Agung. "Dari situlah mereka piawai memanjat tali," kata Raden. Air sungai yang deras membuat mereka ulung dalam berenang sekaligus menyelam. "Kadang dua tiga hari tidak pulang, karena hanyut," cerita Raden dengan logat Palembang yang kental. Di Kayu Agung, belajar naik tali akar pohon adalah keharusan, termasuk berenang di arus deras. "Sejak lahir, anak berumur sehari pun dicelupkan di sungai itu," ujarnya. Alasannya, biar si bayi kuat menyelam kalau dia nanti dewasa. Pada umumnya bajak laut dibekali ilmu batin. Mereka mampu baca kitab suci Al-Quran. Dalam beraksi ada satu pantangan: tak boleh di kampung sendiri. Makanya, para lanun itu pun melanglang buana. Daerah operasinya Singapura, Thailand, bahkan ke Hong Kong serta Amerika. Dan kepergian mereka ke luar negeri itu dilepas dengan cara hormat. Para keluarga menyebutnya sebagai "duta". Di Pulau Babi, sebenarnya mereka hanya menetap. Keamanan pulau itu pun mereka jamin. Amir Pasaribu mengenang mereka sebagai warga baik hati. "Mereka peduli sama warga yang sakit," ujar Amir. Bila hari raya Idul Fitri tiba, para bajak laut itu turut membagikan zakat kepada fakir miskin. Tokoh lanun yang diingat Amir adalah Syaiful Rozi. Tokoh itu bahkan membangun musala kecil di kampung itu, Nurul Iman. Kini Pulau Babi itu tak lagi dihuni perompak atau bajak laut. Tim Gegana dari Mabes Polri melantak pulau para lanun itu sepuluh tahun silam. Semua kelompok digulung, termasuk Syaiful, ke bui selama empat bulan. Sejak itulah, kelompok bajak laut itu bubar. "Syaiful juga sudah menjual rumahnya di pulau ini," cerita Amir. Sejak digeruduk Tim Gegana itu, kelompok Syaiful Rozi berpencar ke berbagai penjuru. Tapi aksi perompakan di Selat Phillip terus berlanjut. Entah di mana para lanun itu kini bersembunyi. Nezar Patria, Rumbadi Dalle (Pulau Babi)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus