Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panglima Armada Kawasan Barat TNI-AL, Laksamana Muda Y. Didik Heru Purnomo, adalah orang yang paling dipusingkan oleh aksi perompak di Selat Malaka. Dengan tenaga dan peralatan yang terbatas, ia harus mengamankan 613 mil selat yang membelah Pulau Sumatera dan Malaysia itu. Berikut petikan wawancara wartawan TEMPO Edy Budiyarso dengannya, Jumat pekan lalu.
Apa kesulitan AL dalam mengamankan Selat Malaka?
Kalau mau maksimal, kami membutuhkan 38 kapal patroli kecil seperti Boa dan Belang (kapal bantuan Pemerintah Daerah Riau kepada TNI-AL?Red.), yang panjangnya 35 meter. Dengan itu kami bisa membagi Selat Malaka sepanjang 613 mil dalam 12 sektor. Sehingga, jika ada kejadian, kami bisa datang dalam waktu satu jam. Lebih dari itu, kami sulit mencari perompak. Mencari orang di Pasar Senen saja susah, apalagi di lautan.
Dengan kemampuan AL yang terbatas, mengapa permintaan Singapura agar AS ikut mengamankan Selat Malaka kita tolak?
Yang beroperasi di Selat Singapura hanya kriminal biasa. Mereka sekelas bajing loncat: hanya ambil komputer atau uang, turun, lalu lari. Itu pun sambil mengintip, kalau ada petugas, mereka tak berani. Jadi, permintaan itu terlalu berlebihan. Kita harus mendudukkan semua hal pada proporsinya.
AL mengeluarkan perintah tembak di tempat kepada perompak. Seberapa gawat sebenarnya operasi bajak laut di Selat Malaka?
Kami perlu melakukan tindakan tegas. Perintah tembak itu bagi perompak bersenjata karena menyangkut keselamatan jiwa anggota kami dan korban. Selain itu, Indonesia juga jadi sorotan masyarakat internasional yang menggunakan Selat Malaka sebagai jalur pelayaran. Ini soal citra bangsa. Masalahnya, agar bisa membawa para perompak itu ke pengadilan, kami harus menangkap basah mereka.
Bagaimana cerita tembak-menembak antara TNI-AL dan perompak di perairan Pulau Berhala, Selat Malaka?
Ini bermula dari kapal MT Pematang yang lego jangkar di perairan Berhala sambil menunggu masuk ke pelabuhan. Saat itulah kawanan perompak naik ke kapal dan membajak. Mereka minta tebusan dan terjadi negosiasi dengan nakhoda kapal. Untungnya, salah satu mualim kapal bisa mengontak pusat kendali operasi kami di Jakarta dengan telepon satelit. Setelah itu kami gerakkan KRI Karel Sasuit Tubun yang saat itu memang berada di sekitar mereka.
Bagaimana KRI K.S. Tubun bisa memastikan adanya pembajakan di dalam kapal tanker Pertamina itu?
Setelah mendekat, KRI melakukan kontak tetapi tak dijawab. Hanya, dari telepon mereka terdengar ada suara orang mendikte. Kapten memperkirakan memang ada masalah di kapal itu. Akhirnya kapten kapal memerintahkan dua tim untuk memeriksa.
Lalu?
Ya. Dengan tangga tali, anggota kami yang dipersenjatai AK-47, naik ke kapal setinggi 14 meter. Anggota bisa masuk ke ruang radio, dan awal kapal Pertamina memberi tahu pada kami posisi para perompak. Mereka juga kami perintahkan berkumpul ke haluan untuk dievakuasi. Saat itu, kawanan perompak yang berada di speadboat tahu ada petugas, mereka lari. Untungnya tidak ada komunikasi antara para pembajak, sehingga yang di dalam tidak tahu ada petugas.
Berapa sebenarnya kekuatan perompak?
Yang di atas kapal ada lima orang. Dua terjun ke laut, tiga lainnya tewas tertembak. Satu tertembak dalam baku serang dengan anggota kami. Mereka menembak dengan AK-56. Yang lain kena "sapu" tembakan di lorong kapal. Ini keajaiban, ini tangan Tuhan. Modal anak-anak itu hanya semangat dan keberanian untuk melumpuhkan perompak. Apalagi tembak-menembak terjadi dalam jarak dekat. Hanya sekitar lima meter.
Bagaimana mereka bisa dipastikan kelompok GAM?
Menurut pengakuan, mereka Panglima Laut GAM wilayah Peureulak. Setiap panglima laut punya area operasi tertentu.
Adakah modus khusus perompak dari GAM itu?
Mereka menyandera atau meminjam perahu nelayan, kemudian mencari kapal yang lebih besar yang menjadi sasaran. Apalagi di kawasan Aceh itu banyak muara sungai. Mereka biasa menghentikan kapal dengan mengipas tembakan ke udara.
Apa target dan sasaran perompakan?
Uang tunai, menahan kapal dan meminta tebusan. Kami menemukan barang bukti, tulisan tangan di kertas yang berisi 10 nomor account bank. Sayangnya tidak ada nama bank di situ.
Mengapa banyak kasus perompakan tidak terungkap?
Perompak yang beroperasi di laut biasanya terlatih. Kapal-kapal kecil tak berani melaporkan karena takut ancaman. Perompakan di sekitar pantai timur Aceh dan Medan biasanya bersenjata. Pada saat ada tembakan, seharusnya mereka melaporkan kepada kami. Jika terlambat berjam-jam, kami sudah kesulitan melacak mereka.
Selain GAM, kelompok mana lagi yang menjadi momok pelaut di Selat Malaka?
Kami tidak bisa mengidentifikasi kelompok-kelompok itu, tetapi mereka memang memiliki daerah operasi. Misalnya, kelompok yang beroperasi di sekitar timur perairan Aceh, di perairan Batam, dan Selat Bangka-Belitung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo