DI mana pun di dunia, tak peduli sistem pemerintahannya otoriter atau demokrasi liberal, dinas intelijen selalu menjadi kebutuhan negara. Yang menjadi perbedaan utama biasanya pemanfaatannya dan juga pengontrolannya. Dengan anggapan seperti itulah Alfred Stepan, seorang pakar politik militer Amerika Serikat, mencoba menelaah proses demokratisasi di Amerika Latin berdasarkan peran militer dan dinas intelijennya. Dalam bukunya Rethinking Military Politics, pengajar di Columbia University ini berpendapat, rezim militer di Amerika Latin mempunyai tiga komponen: militer sebagai pemerintah (MP), masyarakat sekuriti (MS), dan militer sebagai institusi (MI). MP terdiri atas para personel militer yang menjadi pemimpin inti di pemerintahan. MS merupakan semua elemen yang terlibat dalam perencanaan dan eksekusi kebijakan represif, pengumpulan bahan intelijen, interogasi, dan operasi rahasia bersenjata. Adapun MI adalah bagian terbesar organisasi militer di luar dinas intelijen yang mengawaki semua markas/pangkalan dan menjalankan program latihan rutin, mengelola sekolah militer (kecuali intelijen), menjalankan birokrasi militer, dan merupakan cadangan strategik jika terjadi keadaan "darurat nasional". Derajat hubungan antara ketiga komponen ini yang sangat menentukan warna rezim militer. Stepan mendeteksi empat konfigurasi hubungan di negara-negara yang ditelitinya: Konfigurasi 1 adalah bila terjadi fusi ketiga komponen itu secara penuh. Jika ini terjadi, ada kesan ketiga pihak mempunyai persepsi ancaman yang sama dan berinteraksi secara harmonis, kendati perbedaan internal sebenarnya ada. Konfigurasi 2 adalah jika MS mendominasi, yakni jika masyarakat sekuriti secara relatif mempunyai otonomi dan menggunakan kekuatan serta otonominya itu untuk mendapatkan pengaruh strategik di dalam MI. Akhirnya bahkan bisa menjadi MP dan memanfaatkan kekuasaan MP untuk mengontrol MI. Konfigurasi 3 adalah jika MI mengeluarkan diri. Ini terjadi seandainya pemimpin strategik dalam MI berkesimpulan bahwa keterlibatan militer dalam pemerintahan sangat berbahaya bagi kesatuan dan kepentingan militer. Karena itu, diputuskan agar militer keluar dari pemerintahan. Konfigurasi 4 adalah jika MP memutuskan untuk menjalankan kebijakan liberalisasi. Ini biasanya terjadi jika MP berkesimpulan bahwa MS mungkin sedang menjalankan konfigurasi 2, yang hasil akhirnya dianggap akan bertentangan dengan kepentingan permanen institusi militer. Dengan mengambil asumsi bahwa rezim yang represif hanya akan menguntungkan masyarakat sekuriti, MP menjalankan operasi pengamanan dengan mengadakan proses liberalisasi. Faktor intramiliter yang sangat penting dalam menentukan berhasil atau tidaknya strategi ini adalah sejauh mana MP berhasil meningkatkan kontrol terhadap elemen-elemen MI, atau setidaknya melepaskannya dari naungan masyarakat sekuriti (biasanya) atas nama normalisasi profesi. Di Brasil, misalnya, menurut Stepan, yang terjadi adalah konfigurasi 4. Setidaknya itu yang dikatakan Jenderal Golbery do Couto e Silva kepada Stepan. Golbery adalah penasihat terdekat presiden terpilih, Jenderal Ernesto Geisel, yang pada 1974 memulai proses liberalisasi di negeri tempat pelarian penjahat perang Nazi itu. Golbery sendiri bersikeras bahwa tujuan jangka panjang pihak militer ketika mengambil alih kekuasaan, 1964, adalah demokratisasi. Ironisnya, Golbery adalah juga bidan yang melahirkan SNI, dinas intelijen Brasil, yang kemudian berkembang menjadi sangat berkuasa, terutama akibat perang dengan gerilyawan kiri 1969-1972. Demikian berkuasanya hingga pada 1973 Golbery berkesimpulan, masyarakat sekuriti telah menjadi ancaman ganda bagi militer Brasil. Ancaman pertama adalah terhadap persatuan militer sendiri, dan ancaman kedua adalah semakin melebarnya jurang pemisah antara masyarakat Brasil yang moderat dan pihak militer, sebagai dampak dominasi SNI, terutama setelah gerilyawan kiri tak lagi menjadi ancaman. Proses liberalisasi yang pertama kali dijalankan Presiden Geisel adalah kebijakan pers yang lebih bebas. "Sensor itu tak ada gunanya," katanya ketika itu. Kebijakan sensor dianggapnya hanya memberikan kesempatan bagi kelompok ekstrem untuk melemparkan tuduhan tanpa mendapatkan jawaban, termasuk tuduhan ke pemerintah. Dan seperti dikatakan Golbery, "Pengekangan pers hanya menyuburkan ladang masyarakat sekuriti." Pengalaman Brasil yang memilih konfigurasi 4 ini tidaklah unik. Ini boleh dikatakan merupakan sumber utama lahirnya gelombang demokratisasi di Amerika Latin dalam dekade ini, yang disebut Samuel Huntington sebagai gelombang demokrasi ketiga di dunia. Gelombang pasang pertama adalah 1828-1926, yang diikuti gejala surut pada 1922-1942. Gelombang kedua pada 1943-1962 dan surut pada 1958-1973. Gelombang ketiga dimulai 1974, dan Huntington belum melihat tanda-tanda mulai menyurut.Bambang Harymurti (Washington, D.C.)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini