LEMBAGA yang pernah disegani itu -- bahkan buat sebagian orang dirasakan angker -- tak lama lagi bisa jadi tinggal sejarah. Itulah Badan Intelijen Strategis (Bais) ABRI, yang hari-hari belakangan ini akan berubah wujudnya. Namanya diganti menjadi: Badan Intelijen ABRI (BIA). Sosoknya lebih ramping dan personelnya lebih ciut - dibandingkan dengan Bais. "Sesuai dengan kebutuhan zaman, keadaan sekarang membuat Bais tak lagi dibutuhkan sebesar ini," kata seorang pejabat tinggi mengomentari rencana perubahan itu. Yang lebih penting, peringkat garis komando lembaga intelijen militer ini akan diturunkan. Menurut sumber TEMPO itu, BIA nanti tak lagi berada langsung di bawah garis komando Panglima ABRI -- seperti halnya Bais sekarang yang dikepalai Panglima ABRI. Kepala BIA nanti, menurut sumber tadi, dijabat secara ex officio oleh Asisten Intelijen Kepala Staf Umum (Asintel Kasum) ABRI. Namun, menurut perwira tinggi yang lain, sebagai badan, tak tertutup kemungkinan bahwa BIA berdiri sendiri di bawah supervisi Kasum ABRI -- sekarang dijabat Letjen H.L. Mantiri. Dengan demikian, BIA tak akan menjadi lembaga tersendiri yang dengan mudah mempunyai akses ke mana-mana. Diubahnya BAIS menjadi BIA, kabarnya, sudah dilaporkan oleh Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung kepada Presiden, belum lama ini. Namun, perubahan itu belum bisa diumumkan secara resmi oleh Panglima ABRI karena ada hal-hal rinci yang masih perlu dibahas. "Maka, kemungkinan soal itu baru bisa diumumkan minggu depan (maksudnya, pekan ini)," kata Kepala Pusat Penerangan ABRI, Brigjen Syarwan Hamid, kepada TEMPO Rabu pekan lalu di Jakarta. Ini memang sebuah rencana yang sudah disiapkan lama, sejak Feisal Tanjung menjadi Panglima ABRI, seusai Siang Umum MPR, Maret 1993 lalu. Mabes ABRI membentuk sebuah tim untuk menggodok perubahan ini. Malah, menurut seorang bekas perwira tinggi Bais, sejak beberapa tahun lalu soal ini memang sudah dipikirkan. Perubahan sosok Bais ini diarahkan supaya lebih efisien. "Tapi, dengan berubahnya struktur organisasi dan menciutnya jumlah personel, itu tak berarti organisasi ini semakin tidak penting," ujarnya lebih lanjut. Perubahan ini tampaknya seiring dengan perkembangan zaman yang tak lagi menuntut aparat keamanan, khususnya mereka yang bergerak di bidang intelijen militer, untuk bertindak "setel kencang". Sekarang, katanya lagi, dengan isu demokratisasi dan hak asasi manusia, mau tak mau aparat keamanan dituntut bertindak lebih "setel kendur". Artinya, BIA tampaknya nanti hanya diharapkan berperan sebatas memberi saran bagi tindakan pencegahan terhadap gangguan stabilitas politik, ekonomi, dan sosial. Lain halnya, cerita pensiunan perwira tinggi itu lagi, di era "setel kencang", yang memungkinkan Bais melakukan penindakan secara langsung terhadap mereka yang dianggap sebagai "musuh negara", misalnya penahanan tanpa proses peradilan. Dalam struktur lembaga intelijen yang lama (Bais), organisasi yang dipimpin langsung oleh Panglima ABRI ini, dalam pelaksanaan operasionalnya sehari-hari, dipegang oleh wakil ketua -- sekarang dijabat oleh Mayjen Arie Sudewo. Lembaga ini memiliki delapan direktorat yang dipimpin oleh seorang direktur dengan pangkat jenderal berbintang satu alias brigjen. Ini belum termasuk satuan-satuan tugas (satgas) yang menangani bidang-bidang khusus. Lembaga ini betul-betul menjadi penyaring semua kegiatan di sini, misalnya melakukan skrining untuk para calon anggota DPR/MPR, calon pejabat tinggi negara, diplomat yang akan ditugasi di luar negeri, dan bahkan para pejabat BUMN. Salah satu bagian yang penting di Bais adalah Direktorat A. Kabarnya, direktorat ini memiliki rentang kerja yang sangat luas karena membidangi masalah politik, sosial, ekonomi, dan budaya di dalam negeri. Direkturnya saat ini adalah Brigjen Agum Gumelar. Direktorat inilah yang dikenal paling banyak memiliki perwira pembantu (paban) -- sebanyak enam orang. Tak mengherankan, dalam berbagai peristiwa politik di dalam negeri, aparat dari bagian ini tak pernah absen. Misalnya, Brigjen Agum berperan "menertibkan" Musyawarah Nasional PDI, Desember 1993 lalu, di Jakarta, yang menghasilkan terpilihnya Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum. Operasi Bais tampaknya banyak pula andilnya dalam sejarah politik Indonesia, seperti soal membereskan kelompok-kelompok perlawanan di Timor Timur, juga mereka yang disebutnya sebagai "pengacau keamanan" di Aceh. Begitu besarnya peran intelijen militer ini sehingga tak mengherankan kalau pamornya terasa lebih mentereng daripada, misalnya, Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin), lembaga yang ditugasi mengkoordinasi semua lembaga intelijen yang ada. Namun, menonjolnya peran Bais itu bisa dimengerti karena memiliki jaringan di berbagai lapis. Di jajaran teritorial, misalnya, Bais bisa memanfaatkan perangkat ABRI yang ada, yakni kodam, korem, kodim, dan koramil -- bahkan kalau perlu sampai babinsa di tingkat desa. Sementara itu, Bakin, sebagai koordinator, tentu tak perlu punya jaringan luas -- walau mempunyai sejumlah "koresponden" di lapangan secara terbatas. Kuatnya lembaga ini, selain tampak dari peran yang diembannya, juga terlihat dalam banyaknya "alumni" Bais yang kemudian menduduki posisi penting di lingkungan ABRI dan pemerintahan. Sebab, menurut seorang "alumni"-nya, menjadi pejabat di Bais berarti mempunyai kesempatan mengenali problem teritorial dan sosial politik nasional sekaligus. Dari markasnya di Jalan Saharjo, kawasan Tebet, Jakarta Selatan, muncul Letjen (ketika itu) L.B. Moerdani, yang diangkat menjadi Panglima ABRI (1983-1988) dan Menteri Hankam (1988-1993). Sejumlah paban semasa Benny Moerdani memimpin Pusat Intelijen Strategis -- sebelum menjadi Bais -- sempat tampil menjadi pemimpin teras ABRI dan pemerintah. Sebut saja Laksamana Purn. M. Arifin (bekas KSAL), Laksamana Madya Purn. Sudibjo Rahardjo (bekas Kasum ABRI, kini Duta Besar di Singapura), Marsda Purn. Teddy Rusdi (bekas Asisten Perencanaan Umum), Mayjen Purn. Nugroho (bekas Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen dan Sekjen Departemen Dalam Negeri), dan Letjen Purn. Sudibyo, yang kini masih menjabat Kepala Bakin. Atau, sejumlah perwira tinggi lainnya yang kini sedang naik daun, seperti Mayjen A.M. Hendropriyono (Panglima Kodam Jaya) dan Brigjen Agum Gumelar (Komandan Kopassus). Menonjolnya peran Bais ini tentu tak lepas dari tangan L.B. Moerdani sebagai pendirinya. Cikal bakal organisasi ini berasal dari Pusat Intelijen Strategis (Pusintelstrat), yang berada di bawah komando Mabes ABRI. Sejak tahun 1977, Benny Moerdani sudah menjadi kepala di lembaga itu dan merangkap sebagai Asisten Intelijen Mabes ABRI (sejak 1974). Di pengujung tahun 1970-an dan awal 1980-an itu, ia juga dipercaya memegang dua jabatan intelijen penting lainnya: Wakil Kepala Bakin dan Kepala Intelijen Kopkamtib. Setelah Letjen Benny dilantik menjadi Panglima ABRI (1983), tak lama kemudian Pusintelstrat diubah menjadi Bais. Richard Tanter, pengamat badan intelijen di Indonesia asal Australia, melihat terbentuknya Bais sebagai upaya Benny yang melihat bahwa ABRI membutuhkan badan intelijen yang terpusat dan profesional. "Ini perlu untuk mengawasi kegiatan yang sekecil-kecilnya, dan kesanggupan untuk mencegah atau, kalau perlu, menindak kegiatan yang tak direstui pemerintah," kata Tanter, yang kini dosen di Universitas Kyoto. Ia juga mengatakan bahwa dibentuknya Bais ini dengan wewenangnya yang besar itu diilhami oleh pengamatan Jenderal Benny terhadap lembaga intelijen Korea Selatan (KCIA), tahun 1970-an, ketika ia bertugas sebagai atase pertahanan di Negeri Ginseng itu. "Benny ingin sekali membuat badan intelijen ABRI lebih profesional dan canggih," ujar Tanter kepada TEMPO. Sekalipun Benny sudah menjabat Panglima ABRI, jabatan Kepala Bais tetap di tangannya. Untuk pelaksanaan sehari-hari, ia dibantu oleh Wakil Kepala Bais, ketika itu, Mayjen Sutaryo. Setelah tidak lagi menjadi Panglima ABRI dan Kepala Bais, toh Benny Moerdani (kemudian menjadi Menteri Hankam) masih tetap berpengaruh di "kantor Saharjo" itu. Dalam tesisnya -- untuk meraih gelar doktor di Universitas Monash, Australia -- yang berjudul Intelligence Agencies in Third World Militarisation, a Case Study of Indonesia 1966-1989, Tanter menggambarkan bagaimana ketika itu Wakil Kepala Bais Mayjen Sutaryo melaporkan hasil kerja intelijen kepada dua bos: Panglima ABRI Jenderal Try Sutrisno dan Menteri Hankam Benny Moerdani. Struktur Kepala Bais yang dirangkap oleh Panglima ABRI inilah yang kemudian banyak dikritik -- sekalipun dianggap terbukti efektif. "Intelijen itu harus dipisahkan dari kekuatan langsung. Intel harus berdiri sendiri," kata Sutopo Yuwono, bekas Kepala Bakin. Hasil intelijen seharusnya berhenti sampai taraf "laporan" kepada pemegang kekuasaan. Pemegang kekuasaan inilah yang akan membuat kebijaksanaan berdasarkan laporan intelijen tadi. Tapi, karena ada fungsi dan jabatan yang dirangkap oleh pemegang kekuasaan dan sekaligus organisasi intelijen, produk laporan intelijen itu bisa langsung digunakan untuk membentuk kekuatan. Maka, Sutopo menyambut baik rencana restrukturisasi organisasi intelijen ABRI. "Memang sudah seharusnya," katanya. Kepala BIA nanti tak lagi dirangkap Panglima ABRI. Badan ini, dipimpin jenderal berbintang dua, berada di bawah supervisi Kasum ABRI. Jumlah direktoratnya pun diciutkan dari delapan menjadi lima (lihat diagram). Perubahan sosok ini tak membuat lingkup kerja BIA sangat berbeda dengan Bais. Lingkup kerjanya, secara sederhana, mungkin tetap bisa dirumuskan sebagai lembaga yang memperkirakan ancaman dalam lingkup strategis yang sifatnya membahayakan negara, terutama yang berkaitan dengan masalah sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan dalam dan luar negeri. Sementara itu, Asintel, secara struktural di bawah Kasum ABRI, bertugas dalam urusan yang berkaitan langsung dengan taktis dan strategis operasional ABRI. Dengan kata lain, apa pun nama dan kedudukannya dalam organisasi, "intelijen tetap sebagai mata dan telinga ABRI". Lalu, siapa yang akan menjadi Kepala BIA pertama? Santer disebut-sebut adalah Wakil Kepala Bais sekarang, Mayjen Arie Sudewo. Bahkan, disebut-sebut pula bahwa ia juga akan akan merangkap jabatan Asintel Kasum ABRI. Perubahan ini tampaknya bakal mengundang perhatian masyarakat. Ada yang senang, ada juga yang masih bersikap "tunggu dan lihat dulu". Ada yang mengaitkan perubahan ini dengan beleid Pemerintah untuk menjawab tuntutan masyarakat yang menghendaki berkurangnya pendekatan sekuriti. Dan ada pula yang mengaitkannya dengan upaya Pemerintah menampilkan citra demokratis. Seperti kata bekas Atase Pertahanan di Moskow, pensiunan Brigjen Soedibjo, yang kini staf di Lembaga Pengkajian Strategis Indonesia, "Pengawasan-pengawasan yang begitu ketat, yang didukung dengan organisasi yang rumit, mungkin sudah saatnya tak lagi diperlukan." Soal maraknya unjuk rasa belakangan ini, misalnya. Sepanjang demo itu tak bertujuan menjatuhkan Pemerintah atau mengganti konstitusi, "Biarkan saja polisi yang menanganinya, tak perlu intel. Masyarakat tak lagi merasa dikekang." Namun, ada juga yang tak sepenuhnya melihat perubahan ini punya makna penting dalam kehidupan politik di Indonesia. Perubahan sosok Bais menjadi BIA itu tak ubahnya seperti "cuma ganti topi". Sasaran yang ditangani masih sama. Lebih "setel kendur" atau "kencang" sepenuhnya bergantung pada siapa yang menggunakan "mata dan telinga" itu. Atau, seperti kata Tanter, sekilas peran BIA akan berkurang dibandingkan dengan Bais dulu. "Mungkin ada perubahan gaya dan cara beroperasi. Tapi saya tak yakin pengaruh dan kekuasaannya akan berkurang," katanya. Toh ia juga masih ingin tahu siapa Kepala BIA dan lima direkturnya nanti. Dan bagaimana pula pengaruh dan hubungan mereka dengan Panglima ABRI dan Presiden -- yang tentu lebih jauh jaraknya.Ahmed K. Soeriawidjaja, Amran Nasution, Bambang Sujatmoko, Andi R. Rohadian, dan Dewi Anggraeni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini