Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada papan nama yang terpasang. Dari luar hanya terlihat ada sederet gedung di balik pagar hidup yang rimbun. Tamu yang masuk pun cuma terlihat satu dua, tak mesti setengah jam seorang, lewat satu-satunya pintu masuk yang menghadap Jalan Saharjo, Tebet, Jakarta Selatan. Suasananya, dari luar, tampak sepi dan agak mencekam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itulah kantor pusat Badan Intelijen Strategis (Bais) ABRI, lembaga yang selama sepuluh tahun terakhir amat berperan dalam operasi keamanan dan sosial politik ABRI. Bais adalah sebuah nama yang terkenal namun ditakuti. Lembaga ini disebut-sebut berperan penting melumpuhkan apa yang mereka sebut gerombolan pengacau keamanan di Aceh, juga gerakan anti integrasi di Timor Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Richard Tanter, pakar politik dari Monash University, Melbourne, Australia, bahkan mengatakan Bais pula yang menggembosi dukungan untuk gerakan Papua Merdeka di Irian Jaya, dengan mengendalikan beberapa tokoh pemerintahan di Papua Nugini. Nama Bais pun cepat menanjak, melampau Bakin yang lahir lebih awal. "Bahkan, Bais telah mengalahkan pengaruh Bakin," tutur Richard Tanter, yang menulis disertasi tentang kegiatan intelijen di Indonesia periode 1966-1989.
Tapi seorang bekas "orang Tebet" mengakui, Bakin sebagai lembaga koordinator berperan ikut membinanya. Ia mengibaratkan Bakin sebagai pelatih, dan Bais sebagai pemain bola. "Wajar saja, kalau yang di lapangan kelihatannya lebih jago," ujarnya kepada Andy Reza dari TEMPO.
Kelahiran Bais dibidani oleh Benny Moerdani, tak berapa lama setelah ia menjabat Panglima ABRI, Maret 1983. Tanter memuji Bais sebagai organisasi yang rapi. "Cara kerjanya terkendali, pengaruhnya menyerap ke bawah dan ke atas," katanya. Boleh percaya atau tidak, Tanter bilang kegiatan pertama Bais ialah pengendalian kejahatan dengan petrus (penembakan misterius), operasi yang membuat keder penjahat, gali, dan bromocorah.
Pemerintah sendiri tak pernah mengumumkan siapa di belakang petrus itu. Ketika masalah petrus itu marak secara nasional, Benny Moerdani menyebutkan: "ada perang antar-gang" atau "ada orang mati dengan luka peluru, itu karena melawan petugas." Presiden sendiri, dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989), membenarkan dalih untuk mengatasi kejahatan itu. "Lalu ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja, itu shock therapy," katanya.
Prestasi lain adalah operasi Woyla, membebaskan pesawat Garuda yang dibajak di bandara Don Muang, Bangkok. Bais lahir sebagai bentuk baru dari Pusat Intelijen Strategis (Pusintelstrat), yang ketika itu bernaung di bawah Mabes ABRI. Kelahiran Bais itu dicatat Tanter sebagai era baru dalam organisasi intelijen di tubuh ABRI. Benny Moerdani membentuk badan intelijen ini dengan ciri khas: serba terpusat dan profesional.
Menurut Tanter, Benny memang punya obsesi untuk memperbarui sistem dan struktur kekuatan lewat intelijen di Indonesia (lihat: Format Baru dari Markas Tebet). Sejarah intelijen Indonesia boleh dibilang samar dan liku-liku. Satuan intel pertama yang muncul adalah Badan Istimewa, tak lama setelah kemerdekaan. Satuan ini dipimpin dan dilatih oleh Zulkifli Lubis, bekas perwira Peta yang mendapatkan pendidikan intel dari Sienen Dojo, Pusat Penggemblengan Pemuda. Badan Istimewa ketika itu menginduk pada Badan Keamanan Rakyat (BKR), cikal bakal TNI.
Dalam memoarnya, TEMPO 29 Juli 1989, Zulkifli Lubis mengaku merekrut 40 pemuda, kebanyakan perwira Peta Gyugun. Sebelum terjun ke lapangan, mereka dibekali latihan soal informasi militer, sabotase, dan psywar. Pendidikannya cuma satu minggu. Instrukturnya Zulkifli sendiri, yang memang sempat menjadi intel di satuan militer Jepang di Singapura.
Pemerintahan pindah ke Yogya. Badan Istimewa pun berubah menjadi Brani (Badan Rahasia Negara Indonesia), yang menginduk ke Kementerian Pertahanan, tapi punya akses langsung ke Presiden Soekarno. Pemimpinnya tetap Zulkifli Lubis. Brani terus merekrut ratusan pemuda, mendidik dengan latihan kilat dan membentuk satuan FP (Field Preparation). Tugas FP itu macam-macam, ya sabotase, psywar, penggalangan perlawanan terhadap Belanda, menyusup ke lawan, hingga penyelundupan senjata. "Pokoknya, kami ini intelijen tempur sekaligus teritorial," ujar Letjen (Pur.) Sutopo Yuwono, mantan Kepala Bakin yang menjadi anggota Brani.
Dalam Brani itu bergabung pula Yoga Sugomo, lulusan Akademi Militer Tokyo, yang kemudian sempat dua periode menjadi Kepala Bakin. Kabinet berganti. Pada masa Amir Syarifuddin menjadi perdana menteri, April 1947, satuan intel itu dirombak, menjadi KP (Kementerian Pertahanan) V. Satuan intel yang agak di luar struktur militer, yakni bekas jaksa dan polisi pada zaman Belanda, digabung tapi ditempatkan di seksi yang berbeda. Seksi A (bekas Brani) dipimpin oleh orang kepercayaan Amir Syarifuddin, yaitu Kol. Abdurahman. Zulkifli Lubis menjadi wakilnya.
Kelak sejarah mencatat, baik Amir maupun Abdurahman adalah pelaku aktif pemberontakan PKI (Madiun Affair) tahun 1948 Sejarah terus bergulir. Kabinet Amir jatuh, Hatta muncul sebagai perdana menteri. KP V dibubarkan. Kemudian pemerintah membentuk Staf Umum Angkatan Darat (SUAD). Dan bagian I SUAD menjadi organisasi intelijen. Kol. Zulkifli Lubis, yang di kemudian hari terlibat dalam aksi pemberontakan PRRI, kembali menjadi pemimpinnya.
Organisasi itu tak lama berdiri. Setelah penyerahan kedaulatan, dan kedudukan pemerintah kembali ke Yogya, pertengahan 1949, organisasi intel kembali berubah. Kali ini namanya menjadi Intelijen Kementerian Perhatanan (IKP), dan Zulkifli tetap memainkan tokoh utama. IKP berada di bawah pimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono sebagai Menteri Pertahanan. Dalam posisi sebagai Kepala IKP itu, Zulkifli membentuk Bisap (Biro Informasi Angkatan Perang), yang bertugas menyiapkan info strategis untuk Menteri Pertahanan dan pemimpin militer.
Organisasi IKP dan Bisap itu lebih awet, dibanding yang ada sebelumnya. Tapi Zulkifli Lubis terlibat konflik dengan kelompok A.H. Nasution, dalam beberapa urusan militer. Ujung-ujungnya, ketika kelompok Nasution melakukan unjuk rasa lewat "Aksi 17 Oktober 1952", dengan mengacungkan meriam ke arah Istana menuntut pembubaran DPR, Zulkifli berada di pihak seberang. Usai aksi itu, Zulkifli, konon, hendak ditangkap. Ia lari, sampai kemudian bergabung dalam aksi PRRI. Akibatnya, IKP digembosi.
Sejak itu satuan intelijen militer terasa kurang menonjol. Apalagi ketika itu posisi militer berada di luar kehidupan politik. Peranan intelijen itu baru kembali menonjol setelah Wakil Perdana Menteri Soebandrio diizinkan oleh Bung Karno memimpin Biro Pusat Intelijen (BPI), yang mengklaim membawahkan kesatuan intel di tiga angkatan, kepolisian negara, kejaksaan, serta intelijen Hankam.
Munculnya BPI itu tentu mempengaruhi intelijen Hankam. "Waktu itu sering terjadi gunting-menggunting di antara para intel kedua instansi ini," tutur Sutopo Yuwono. Agen-agen BPI menyusup ke Hankam dan semua angkatan. Maklum, ketika itu posisi Soebandrio sangat kuat dan dekat dengan Bung Karno. "Setiap kali dibuat laporan tentang ulah PKI, ada saja laporan lain yang melemahkannya," tambah Sutopo. Walhasil, intel Hankam lemah.
Keadaan itu terus berlangsung sampai 1965. Dengan leluasa intel BPI merekayasa isu dokumen Gillchrist. Dokumen itu berupa surat yang seolah-olah dari Duta Besar Inggris di Jakarta, Gillchrist, pada seorang koleganya, Harolg Gaccia. Dalam surat aspal itu, Gillchrist menulis "our local army friends". Lantas, dibumbu-bumbui bahwa kata-kata itu berarti adalah "Dewan Jenderal" yang akan mengkudeta Bung Karno.
Isu itu memojokkan Angkatan Darat. Di sisi lain memancing gelagak kelompok militan di bawah PKI, seperti Pemuda Rakyat. Maka, terjadilah aksi pengkhianatan G30S-PKI. Nyatanya PKI gagal, dan hancur. PKI dibubarkan Maret 1966, dan kemudian BPI dibekukan. Sebagai gantinya dibentuk Komando Intelijen Negara (KIN). Tak sampai setahun, lembaga ini ganti nama menjadi Bakin. Mula-mula Mayjen Sudirgo ditempatkan sebagai Kepala Bakin. Namun karena dicurigai simpati pada PKI, ia dicopot. Yoga Sugomo yang menggantikannya. Organisasi-organisasi intelijen dibenahi.
Ditulangpunggungi badan intel G-1 Hankam, satuan-satuan intel itu bau-membahu mengamankan Orde Baru. "Pada masa itu satuan intel menjadi pelaksanan operasi pokok di dalam negeri," tutur Sutopo Yuwono. Di tengah aktivitas intel G-1 dan Bakin, menjelang Orde Baru, ada pula gugus "intelijen lain" dengan panji Operasi Khusus (Opsus) di lapangan.
Opsus sebetulnya dibentuk untuk operasi pembebasan Irian Barat, 1961, lalu untuk menyelesaikan konfrontasi dengan Malaysia 1966. Kedua misi tadi dipimpin Ali Moertopo. Dengan posisinya memimpin intelijen, Asintel Hankam, Kepala Seksi Intel Kopkmtib, dan Wakil Kepala Bakin, Ali Moertopo disebut-sebut mempunyai akses luas. Ali pula yang dituding berada di balik konflik intern Parmusi yang membuat Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun terpental dikudeta oleh J. Naro. Ali Moertopo memberikan jalan tengah dengan menempatkan H.M.S. Mintareja, tokoh yang dekat dengan pemerintah, untuk memimpin Parmusi.
Pendek kata, lawan politik Ali menyebut Opsus itu sebagai "alat yang efektif untuk memaksakan kehendak pemerintah." Posisi Ali menguat dengan kedudukannya sebagai Sekretaris Pribadi (Sespri) dan kemudian Asisten Pribadi (Aspri) Presiden, hingga segala pantauan dan analisa intelnya bisa langsung sampai ke Presiden. Benturan tak bisa dielakkan. Malari meletus. Santer disebut bahwa di balik peristiwa 15 Januari 1974 itu ada persaingan di antara Ali Moertopo, Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro, dan Kepala Bakin Sutopo Yuwono.
Ada spekulasi, Ali mengerahkan sejumlah orang GUPPI melakukan pembakaran di sela-sela aksi demo itu. Walhasil, Soemitro dan Sutopo Yuwono terpental dari jabatannya. Demikian pula Ali. Lembaga Aspri dibubarkan. Setelah itu, Benny Moerdani dan Yoga Sugomo dipanggil pulang dari penugasannya di luar negeri untuk membenahi dunia intelijen Indonesia. Yoga kembali ke Bakin dan Benny Moerdani menata kembali organisasi intelijen organik Hankam.
Secara perlahan Benny membuat pembaruan. Mula-mula ia memperbaiki kualitas personel dan perangkat pendukungnya. Seiring dengan itu kariernya pun menanjak, menjabat sebagai Asisten Intel Hankan, Wakil Kepala Bakin, Komandan Satgas Intel Kopkamtib, Kepala Pusat Intelijen Strategis. Setelah menjabat Panglima ABRI, Pusat Intelijen Strategis dikembangkan menjadi Bais.
Secara bertahap, menurut seorang bekas intel ABRI, urusan Kopkamtib dialihtangankan pula ke Bais. Tugas Kopkamtib, misalnya, menangani konflik dalam partai, melakukan skrining, mengawasi bekas tahanan politik PKI, memberantas pungli, sampai urusan tanah. Sementara itu, Bakin, yang kini dipimpin Letjen Pur. Sudibyo, lebih memantau dan menganalisa masalah secara nasional. Paling tidak tiap sidang kabinet paripurna tutup tahun, ketua Bakin selalu diberi tugas oleh Presiden untuk mempresentasikan perkiraan keadaan tahun berikutnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Pada edisi cetak artikel ini terbit di bawah judul: "Pasang Surut Intelijen Kita". Putut Trihusodo, Andi R. Rohadian, dan Bambang H. Sujatmoko berkontribusi dalam penulisan artikel ini.