Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menyebut biaya untuk penyelenggaraan pilkada langsung menjadi mahal karena ulah dari partai politik, para calon, dan penyelenggara. Namun, justru hak demokrasi rakyat yang direnggut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Biaya mahal itu ulah siapa? Kan partai, calon dan penyelenggara. Kenapa yang dimatikan hak pilih publik?" kata Feri kepada Tempo, pada Senin, 16 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Feri menyoroti perilaku peserta pilkada yang memang menggelontorkan dana besar-besaran semata untuk menang. Walhasil, kebutuhan anggaran membengkak.
"Peserta beli semua perahu. Bayar mahar ke seluruh partai hanya untuk jadi calon tunggal atau lawan kesulitan. Mereka hanya mikir menang dengan cara salah, tentu biaya bengkak," kata Feri.
Di sisi lain, para penyelenggara pilkada juga sibuk rapat yang membuat jumlah anggaran bertambah. "Berapa banyak anggaran dipakai untuk hotel-hotel dan dilakukan berjenjang dari pusat hingga daerah. Padahal, sudah ada teknologi rapat jarak jauh. Anehnya, ini mau dievaluasi, tapi Prabowo sudah buat kesimpulan duluan," kata Feri.
Senada, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti juga menyoroti hal yang sama. Menurut dia, pilkada langsung menjadi mahal karena biaya yang tak resmi atau ilegal.
Dia menjelaskan dua bentuk biaya tidak resmi yang dihabiskan dalam masa pilkada. Pertama, biaya-biaya menyewa 'perahu' agar berlayar sampai pada kemenangan.
"Orang-orang yang enggak punya partai, pindah partai, pindah-pindah, begitu kan semuanya pakai uang," kata Bivitri.
Antarpartai pun, berdasarkan temuan Bivitri, di beberapa daerah ada tindakan saling bayar-membayar. "Makanya kadang-kadang bisa ada kotak kosong yang direkayasa dan lain sebagainya. Jadi biaya tidak resmi, bukan biaya resminya yang Rp37 triliun itu," kata dia.
Adapun biaya tak resmi kedua yang menurut Bivitri lebih besar atau sama besarnya dengan biaya resmi adalah biaya untuk memikat rakyat pemilih. Seperti memberikan serangan fajar, bantuan sosial, mencetak kaos atau jilbab, hingga mengundang penyanyi. "Hal-hal yang sebenarnya bukan soal program, tapi sekadar untuk cara memikat warga pemilih," ujarnya.
Adapun besaran anggaran untuk pilkada serentak 2024 mencapai Rp 37,52 triliun. Namun, Bivitri menyebut hal yang harus dilihat bukan sekadar mahal atau tidak mahal. "Jadi, cara mengevaluasinya bukan dengan kacamata efisiensi, tapi kacamata demokrasi," kata dia.
Bivitri menegaskan, demokrasi itu memang mahal harganya. Namun, biaya yang disebut mahal itu untuk kepentingan jalannya sebuah negara.
"Jadi, cara pandangnya begitu. Kalau mau pakai ukuran efisiensi, pemerintah kan juga enggak konsisten, kalau ukurannya hanya efisiensi," kata Bivitri.
Bivitri mencontohkan seperti permintaan anggaran negara dalam jumlah besar dari kementerian/lembaga untuk hal-hal yang sifatnya tidak urgen. Misalnya, kata dia, permintaan tambah anggaran senilai Rp20 triliun oleh Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) untuk mendirikan Universitas HAM. "Banyak lah soal lainnya yang sebenarnya kalau mau pakai logika efisiensi, banyak banget yang enggak efisien. Kenapa justru yang pilkada yang mau dihancurkan, mau dihapuskan?" ujarnya.
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu menuturkan bahwa dengan adanya pemilihan langsung, paling tidak warga lebih punya cara untuk bersuara langsung. Dia menegaskan, pemerintah mesti memahami konteks sistem pemerintahan di Indonesia, bukan serta-merta mau mencontoh negara lain.
"Enggak bisa langsung melihat 'Oh di India begini, di Malaysia begini', enggak bisa. Kita harus lihat konteksnya. India, Malaysia itu sistem pemerintahannya parlementer," kata Bivitri.
Dengan itu pula, kata Bivitri, partai politik di sana berfungsi lebih baik ketimbang partai politik di Indonesia. Kalaupun ada pemilihan-pemilihan yang akan melibatkan partai politik, mereka lebih banyak menampung pertimbangan-pertimbangan dari rakyatnya.
"Pasti ada cacatnya, tapi lebih kuat dibanding Indonesia yang benar-benar jelek sekali, menurut saya enggak jalan sama sekali," kata Bivitri.
Bivitri mencontohkan hasil pilkada di Kota Pangkalpinang dan Kabupaten Bangka. Di kedua daerah tersebut, pilkada dimenangkan oleh kotak kosong. "Itu kan berarti check dari rakyat bisa jalan. Kebayang enggak kalau semuanya dikasih ke DPRD? Nanti uangnya cuma pindah ke kantongnya para politikus saja dan kita warga biasa ini enggak bisa punya suara apa-apa," kata dia.
Ia pun menyoroti pilkada Jakarta, di mana pasangan Ridwan Kamil-Suswono yang di-endorse oleh Presiden Prabowo Subianto justru menanggung kekalahan. Menurut dia, hal itu merupakan cara perlawanan yang lumayan sukses.
"Terlepas dari di belakangnya banyak dinamika, tapi sama fenomena Jakarta, fenomena kotak kosong menang, menurut saya itu adalah pertanda bahwa sebenarnya suara warga itu masih bisa masuk kalau sistemnya langsung," kata Bivitri.
Sebelumnya, Prabowo menyatakan tertarik dengan pemikiran Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, mengenai perbaikan sistem demokrasi. Dia menyoroti mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pilkada.
"Saya sangat tertarik pemikiran ketum Golkar, menurut saya hari ini yang paling penting, yang disampaikan Partai Golkar tadi, bahwa kita semua merasakan demokrasi yang kita jalankan ada beberapa hal yang harus kita perbaiki bersama-sama," katanya dalam Puncak Perayaan HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul International Convention Center, pada Kamis, 12 Desember 2024.
Prabowo pun mengusulkan pesta demokrasi untuk memilih DPRD saja. Setelah itu, DPRD lah yang akan memilih gubernur hingga bupati. Menurut Prabowo, sistem itu lebih efisien dan bisa menekan banyak biaya.
"Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien. Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, sekali milih, ya sudah DPRD itulah yang milih gubernur, milih bupati," kata Bivitri.
Prabowo menyatakan, opsi itu bisa dilakukan untuk menekan besarnya anggaran untuk menggelar pilkada langsung. Anggaran sebesar itu, kata Prabowo, lebih baik digunakan untuk kebutuhan masyarakat.
"Efisien enggak keluar duit? Uang yang bisa beri makan anak-anak kita, uang yang bisa perbaiki sekolah, bisa perbaiki irigasi," kata Prabowo.
Dia juga menyinggung banyaknya anggaran politik yang harus dikeluarkan oleh peserta pilkada. Mengingat hal itu, Prabowo menyarankan perlu ada evaluasi sistem secara bersama-sama.
Hendrik Yaputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Respons AHY soal Jokowi Resmi Dipecat PDIP