Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Tindakan aparat TNI yang membangun barak dan menempati fasilitas umum sebagai pos penjagaan di Kampung Yuguru, Distrik Mebarok, Kabupaten Nduga, menuai reaksi keras dari tokoh masyarakat dan pemerintahan lokal. Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP) melaporkan bahwa kondisi ini memperparah trauma warga pasca-penyerahan pilot Susi Air, Kapten Phillip Mark Mehrtens, pada 21 September 2024 lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pilihan editor: Urusan Guru pun Akan Dikontrol Pemerintah Pusat. Buat Apa?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pada hari ketiga setelah pembebasan pilot, aparat TNI disebut membongkar rumah-rumah warga yang berada di sekitar lapangan terbang Yuguru. Selanjutnya, mereka membangun satu barak panjang di area tersebut dan menempati kantor distrik serta gedung sekolah yang dijadikan sebagai pos penjagaan.
“Setelah mereka membongkar semua rumah di sana, mereka membangung satu barak panjang di area lapangan terbang tersebut. Selain itu kantor distrik dan gedung sekolah mereka menjadikan pos penjagaan dan mereka menempatinya,” ujar Direktur YKKMP Theo Hesegem dalam keterangan tertulisnya pada Selasa, 22 April 2025.
Beberapa hari setelah kejadian itu, pada 6 Februari 2025, Kepala Distrik Mebarok Nus Gwijangge mendengar kabar tersebut dan bergerak dari Wamena menuju Yuguru melalui jalur darat bersama rombongan. Sebelumnya, empat pemuka agama dan satu kepala kampung sempat menemui aparat TNI untuk menyampaikan kondisi psikologis masyarakat yang dilaporkan mengalami trauma akibat kehadiran militer.
Pertemuan yang dilakukan secara informal itu menyampaikan sejumlah pesan penting dari warga, termasuk permintaan agar TNI tidak melewati batas Sungai Warun dan Sungai Merame sebelum ada pertemuan resmi dengan para pimpinan lokal. Mereka yang dimaksud adalah Ketua Klasis Gereja Kingmi Yuguru, pimpinan distrik, anggota DPR dari daerah tersebut, serta kepala-kepala kampung.
“Jika kedatangan aparat adalah untuk melindungi masyarakat dan membangun fasilitas seperti lapangan terbang, maka mohon jangan melampaui batas wilayah sebelum ada kesepakatan dan kehadiran para pemimpin lokal. Kami khawatir situasi ini memicu konflik bersenjata,” demikian pernyataan dari para pemuka gereja yang disampaikan ke pihak TNI.
Setelah rombongan kepala distrik tiba di Yuguru, mereka memperkuat pernyataan para tokoh gereja dan menekankan bahwa tindakan militer harus mempertimbangkan keselamatan warga sipil. “Kami tidak ingin ada korban sipil baru di Yuguru. Apa yang disampaikan gereja adalah benar, dan kami minta aparat mendengarkan,” ujar Nus Gwijangge.
Namun, aparat TNI disebut hanya merespons secara terbatas, menyatakan bahwa permintaan tersebut harus disampaikan kepada pimpinan mereka. “Kami tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan. Silahkan sampaikan kepada pimpinan kami. Kami hanya menunggu perintah,” ujar perwakilan aparat TNI di lapangan, sebagaimana dikutip dalam laporan YKKMP.
YKKMP menegaskan bahwa tindakan militer yang tidak melibatkan partisipasi warga dan tokoh lokal berisiko memperburuk situasi kemanusiaan di wilayah yang sudah lama terdampak konflik tersebut. Lembaga itu mendesak pemerintah pusat untuk segera turun tangan, mengatur ulang pendekatan keamanan, dan membuka ruang dialog demi mencegah eskalasi yang lebih luas.
Tempo mencoba mengkonfirmasi kepada Kepala Pusat Penerangan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Mayor Jenderal Kristomei Sianturi mengenai tudingan tersebut. Namun, hingga berita ini ditulis, belum ada respon dari TNI.
Pilihan editor: Pro Kontra atas Usulan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional