Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah tokoh masyarakat dan pemuka agama di Distrik Mebarok, Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan, menyuarakan kekhawatiran atas kehadiran aparat TNI di Kampung Yuguru yang dinilai dapat memicu konflik bersenjata di wilayah tersebut. Kehadiran aparat disebut tak hanya membongkar rumah warga dan fasilitas publik, namun juga menempati gedung sekolah dan kantor distrik sebagai pos penjagaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pilihan editor: Urusan Guru pun Akan Dikontrol Pemerintah Pusat. Buat Apa?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Karena kehadiran TNI akan membuat warga trauma. Dan ada kemungkinan terjadi kontak senjata antara TPNPB-OPM dan TNI-Polri,” demikian pernyataan bersama yang disampaikan oleh Kepala Distrik Mebarok, Nus Gwijangge, seperti dikutip dalam laporan Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP), Selasa, 22 April 2025.
Insiden ini bermula setelah pembebasan pilot Susi Air, Kapten Phillip Mehrtens, pada 21 September 2024 lalu. Aparat keamanan kemudian memasuki wilayah Yuguru dan mulai melakukan aktivitas militer di sekitar lapangan terbang. Pada hari kedua, warga melaporkan sembilan rumah di pinggiran area itu dibongkar tanpa sepengetahuan pemilik. Saat kejadian, warga diketahui telah meninggalkan kampung dan berada di dusun lain.
“Pembongkaran dilakukan saat tidak ada warga. Mereka tinggal sementara di rumah camat dan mendiang Wakil Ketua Klasis,” tulis YKKMP dalam keterangan resminya, Selasa.
Selain rumah warga, aparat juga membongkar pintu dan ruangan dalam fasilitas umum, serta merusak SD Negeri Yuguru dan rumah medis. Beberapa ijazah siswa dilaporkan dirobek, disebar ke halaman sekolah, dan bahkan dibakar. Setelahnya, aparat membangun satu barak panjang di area lapangan terbang dan menempati kantor distrik serta gedung sekolah sebagai pos penjagaan.
Kepala Distrik Mebarok Nus Gwijangge bersama rombongan bergerak menuju Yuguru lewat jalur darat dari Wamena, melewati Lanny Jaya. Sebelumnya, empat pemuka gereja dan satu kepala kampung telah lebih dulu menemui aparat TNI untuk menyampaikan kondisi masyarakat yang semakin traumatis.
Mereka meminta aparat tidak melintasi batas Sungai Warun dan Merame sebelum hadirnya pimpinan lokal sebagai bentuk penghormatan dan perlindungan atas hak masyarakat adat. “Kami tidak menolak kehadiran negara, tapi semua harus melalui dialog yang melibatkan pemimpin kami. Jika tidak, yang terjadi bisa benturan, dan warga sipil yang akan jadi korban,” ujar pernyataan bersama masyarakat yang diwakili Nus Gwijangge.
Pimpinan yang dimaksud adalah ketua klasisi gereja Kingmi Yuguru, Pimpinan Distrik Mebarok, lembaga DPR Sebagai wakil rakyat dan kepala-kepala kampung.
Aparat TNI menyatakan bahwa mereka tidak memiliki kewenangan untuk merespons dan meminta agar pesan tersebut disampaikan langsung ke atasan mereka. "Hal itu sebaiknya disampaikan kepada pimpinan kami, kalau kami sendiri tidak bisa. Oleh sebab itu kami akan menunggu pimpinan datang," ujar TNI dalam laporan TKKMP.
YKKMP mendesak pemerintah pusat untuk segera mengevaluasi pendekatan militer di wilayah tersebut dan membuka ruang komunikasi dengan masyarakat serta tokoh-tokoh lokal. “Kami tidak ingin peristiwa ini menjadi awal dari eskalasi konflik baru di Papua,” ujar Direktur YKKMP, Theo Hesegem.
Tempo mencoba mengkonfirmasi kepada Kepala Pusat Penerangan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia terkait tudingan tersebut. Namun, hingga berita ini ditulis, belum ada respon dari TNI.
Pasca Penyerahan Pilot Susi Air, Muncul Ketidakamanan Warga Yuguru
YKKMP mengkritik keras situasi pasca-penyerahan Kapten Phillip Mark Mehrtens, pilot Susi Air yang disandera oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) selama 18 bulan. Penyerahan pilot di Kampung Yuguru, Distrik Mebarok, Kabupaten Nduga, justru diwarnai dengan teror terhadap warga setempat.
Penyerahan pilot dilakukan pada 21 September 2024 setelah Brigjen Egianus Kogeya mengumumkan bahwa pembebasan pilot dilakukan atas dasar kemanusiaan. Proses penyerahan berlangsung damai, dengan tokoh masyarakat, kepala suku, tokoh gereja, dan masyarakat pengungsi yang tinggal di Yuguru menyerahkan pilot kepada aparat TNI/Polri.
Namun, YKKMP menilai proses tersebut tidak disertai dengan kesepakatan formal yang jelas antara pemerintah Indonesia dan TPNPB.
“Karena penyerahan dilakukan tanpa kesepakatan antara kedua belah pihak, sehingga belakangan ini kami mendapat laporan dari warga setempat bahwa masyarakat Yuguru telah merasa kehilangan hak kebebasan dan hak rasa nyaman di kampung mereka,” ujar Direktur YKKMP, Theo Hesegem, dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 22 April 2025.