Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pilih Referendum atau Jihad

Ratusan ulama Aceh menuntut referendum. Sinyal ke arah perlawanan rakyat yang lebih radikal?

19 September 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIRAI penutup papan pengumuman itu ditarik perlahan. Ratusan santri yang mengiring prosesi berulang-ulang meneriakkan Allahu Akbar dan Salawat Nabi. Ketika tirai itu jatuh, sebuah kalimat yang menggambarkan kemarahan, kesedihan, dan juga keputusasaan rakyat Aceh segera terlihat. "Komplik Aceh hanya dapat diselesaikan dengan referendum. Penyerahan pilihan kepada rakyat untuk menentukan nasib masa depan Aceh (apakah tetap bergabung atau pisah [merdeka] dari RI)," demikian bunyi pesan itu. Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama, Abdurrahman "Gus Dur" Wahid, yang hadir dalam acara di halaman Masjid Baiturrahman, Banda Aceh, itu terharu. Ia menangis sesenggukan beberapa menit. Ketua Umum Partai Amanat Nasional Amien Rais berkali-kali menghapus air hangat yang menetes dari dua ujung matanya. Langit siang Kota Banda Aceh penuh oleh aroma kepedihan. Pembukaan selubung billboard berukuran 3x1 meter tadi adalah puncak pertemuan 350 ulama dayah (pesantren) se-Aceh, pada 13-14 September lalu. Acara langka ini diakhiri dengan rekomendasi agar pemerintah segera melakukan referendum di Tanah Rencong itu. Jika tidak, mereka mengkhawatirkan akan terjadi gejolak masyarakat yang lebih besar. Ancaman itu memang tidak main-main. Ulama dayah di Aceh adalah lembaga yang terpandang. Di provinsi itu ada 423 ulama dayah yang membawahi lebih dari 75 ribu santri di Aceh. Jadi, seruan referendum adalah seruan jihad. "Sekarang pilihannya tinggal dua, mereka (rakyat Aceh) mati semua oleh Jakarta, atau mereka yang ada senjata menyerang siapa yang datang," kata Tengku Syekh Murhaban Kruengkale, penasihat Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA). Keras? Tampaknya begitu. Tapi, menurut seorang sumber TEMPO yang ikut dalam pertemuan yang tertutup untuk wartawan tersebut, ultimatum referendum adalah sebuah keputusan moderat. Awalnya, beberapa ulama muda sudah mau pasang badan. Mereka minta Aceh merdeka tanpa melalui referendum. Tapi sikap ini "dilembutkan" kiai-kiai yang lebih tua. Sampai menjelang asar pada hari kedua, pertemuan itu belum menghasilkan keputusan apa-apa. Baru selepas magrib, keputusan "lembut" itu bisa diambil. Tapi, bahwa pertemuan itu akan menghasilkan keputusan dahsyat, tampaknya sudah dicium aparat di kantor gubernur. Kabarnya, pejabat lokal sudah memperingatkan Taliban—organisasi santri yang mengorganisasi pertemuan tersebut—agar mengurungkan niat mereka. Alasannya karena pertemuan itu akan merusak kondisi yang menurut pandangan pejabat formal sudah mulai mendingan. Sementara itu, pihak GAM (Gerakan Aceh Merdeka) pun ketar-ketir. Mereka takut ulama bersikap lembek sehingga cita-cita Aceh Merdeka semakin jauh dari kenyataan. Padahal keputusan yang akan diambil ulama dayah sangat prestisius. Pemerintah daerah kabarnya langsung terpukul. "Itu putusan keliru. Saya harapkan ulama menyadarinya," kata Gubernur Aceh Syamsuddin Mahmud. Dalam pandangan Gubernur, opsi otonomi luas yang sedang diperjuangkan melalui Undang-Undang Keistimewaan Aceh sudah cukup. Tapi, lipstik Jakarta itu segera saja ditangkis GAM. "Itu hanya tipuan gaya rejim lama," kata Biro Penerangan GAM wilayah Pasee, Tengku Ismail Syahputra. Tapi, jika pun referendum diadakan, betulkah rakyat akan memilih kemerdekaan tanahnya? Ulama-ulama yakin, rakyat akan memilih merdeka. Data sementara yang dikumpulkan Sentra Informasi Referendum Aceh (SIRA)—sebuah organisasi mahasiswa Aceh—melalui penyebaran 30 ribu kuesioner menyebutkan, 97 persen rakyat menghendaki Aceh merdeka. Ini memang bukan angka yang mengejutkan. Mereka marah akibat tindakan pemerintah pusat dan tentara yang sudah kelewatan. Dalam bahasa Gus Dur, kegeraman rakyat Aceh sudah sebatas leher. Tapi mengharapkan referendum datang dari pemerintahan Habibie tampaknya hanyalah tindakan menggantang asap. Dalam pertemuan Habibie dengan pimpinan tujuh partai pemenang pemilu di Aceh beberapa waktu lalu, pria kelahiran Parepare itu menegaskan tidak akan memberi referendum bagi Aceh. Pintu referendum agaknya hanya mungkin dibuka oleh pemerintahan baru, kelak. Itulah sebabnya organisasi mahasiswa seperti SIRA saat ini sibuk menggalang kekuatan untuk memengaruhi Sidang Umum MPR agar memasukkan agenda referendum tersebut. Mereka mengumpulkan tanda tangan dukungan dari berbagai kalangan elite politik. Gus Dur dan Amien Rais pun sempat disodori formulir dukungan bagi referendum tersebut. Tapi, keduanya menolak menekennya. Namun, secara diplomatis, Gus Dur membantah jika ia dikatakan tidak mendukung referendum. "Saya mendukung referendum. Kalau Timor Timur yang bukan muslim saja (saya) dukung, apalagi Aceh yang Islam," katanya. Jakarta tampaknya memang harus waspada dengan ultimatum ulama ini. Kekerasan aparat bisa sangat mungkin dijawab rakyat dengan kekerasan pula—yang akan mereka baca dengan kacamata jihad. Setelah itu, darah akan terus mengalir . Arif Zulkifli, Mustafa Ismail, dan Koresponden Aceh

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus