PENJUAL suku cadang mobil ternyata bisa berkerabat erat dengan penjaja suku tubuh. Inilah riwayat Khairati Lal Bhola, pemilik toko suku cadang mobil di Delhi, India, yang merupakan orang pertama menobatkan dirinya sebagai pelindung kaum pelacur di negeri berpenduduk 500 juta jiwa itu. Profesi tertua dalam sejarah umat manusia ini di India resminya diharamkan melalui undang-undang tahun 1956, meski sehari-hari praktek pelacuran sebenarnya bisa saja berlangsung dalam jarak hanya sejangkauan tangan polisi. "Jika 56 negara di dunia melegalisir pelacuran, mengapa India tidak?" ujar Bhola, seraya menyesali pandangan timpang yang lebih terfokus pada praktek didaerah hitam itu. "Coba, siapa mampu menyetop cewek panggilan yang melayani orang gedean?" gerutunya lagi. Itu sebabnya, Bhola berlantas angan membentuk asosiasi pelacur se-India, enam tahun silam, dan ia sendiri sebagai presidennya. Pertama kali dalam sejarah ia mengadakan konperensi pers, beberapa tahun lalu, bertempat di kawasan lampu merah Delhi. Banyak wartawan yang hadir. Di situ Bhola, antara lain, mengutarakan latar belakang perjuangannya, yakni agar kaum pelacur diakui haknya untuk dipilih dalam pemilihan umum. Memang, resminya tidak ada undang-undang yang menafikan hak kaum pelacur untuk dipilih, namun pada kenyataannya, menurut Bhola, nama mereka sebagai calon memang tidak pernah tercantum dalam daftar pemilihan. Di mata Bhola, ini merupakan suatu ketidakadilan. Motif lainnya adalah demi membela nasib anak-anak, yang tanpa dimaui terlahir dari kandungan seorang ibu yang melacur. Dengan puluhan atau ratusan lelaki jatuh bangun di pangkuannya, boleh jadi si ibu tahu siapa bapak anaknya. Namun, hidung belang mana yang sudi mengakui, kecuali menyudutkan si pelacur yang berada dalam posisi bagai terminal. Akibatnya, anak jadah itu tidak mampu menyebutkan secara jelas siapa bapaknya. Di tengah masyarakat India yang patriarchat, merupakan prasyarat mencantumkan nama bapak atau suami untuk masuk sekolah atau melamar pekerjaan. Ini berarti masa depan anak yang lahir di daerah hitam akan tetap gelap seumur-umur. Dan lazimnya tentu saja anak lelaki yang tumbuh dewasa paling banter menjadi germo, sementara yang wanita, ya, melanjutkan praktek ibunya. Menurut Bhola, para pelacur bukanlah noda masyarakat, namun sebaliknya mereka justru memberi sumbangsih bagi kemanusiaan. "Merekalah yang menyelamatkan cewek-cewek dari pemerkosa yang dahaga seksual, atau kaum pria yang bersemangat kuda yang jauh dari istri," kata Bhola pada Navraj Gandhi dari TEMPO. Logika kuda atau bukan, ini mungkin bahan menarik untuk dibahas dalam sebuah seminar. Upaya Bhola ternyata tidak siasia. Misalnya, kini keharusan mencantumkan nama bapak sudah ditiadakan bagi anak-anak. Juga, berkat upaya Bhola yang tidak kenal lelah, pemerintah membuka sekolah khusus anak-anak haram tersebut, dan lokasinya jauh dari tempat praktek ibu mereka. Di Delhi sendiri ada 22 sekolah tersebut, sampai tingkat universitas. Usai dari situ mereka kemudian mendapat pekerjaan. Sejalan dengan itu, nasib ibu mereka pun mulai berubah. Dalam pemilihan umum tahun silam, Bhola menampilkan seorang germo sebagai calon. Perkara dia akhirnya kalah, ya, itu soal lain. "Sasaran saya bukan membuat dia menang. Saya tahu itu tak bakalan. Tapi yang penting adalah menyadarkan masyarakat tentang kelompok tidak beruntung ini, bahwa mereka pun manusia juga. Jadi, mereka jangan dipandang hina," katanya, setengah berbau khotbah. Kini Bhola lumayan sibuk. Ia bertindak menjadi mediator antara pemerintah dan kaum pelacur, misalnya mengingatkan sekitar 20 ribu anggotanya agar selalu siaga terhadap ancaman HIV, biang keroknya AIDS. Untuk maksud itu, Bhola harus keluar masuk kawasan lampu merah bukan cuma di Delhi, melainkan sampai ke Bombay, Calcutta, dan sebagainya. Dengan kesukaannya pada publisitas, tak heran jika dewasa ini Bhola merupakan tokoh beken di India dengan segala bumbu. Apalagi ia juga menobatkan dirinya menjadi Presiden Banci -- maksudnya ketua asosiasi kaum banci. Selain ada yang menganggap sekadar pekerja sosial, ia juga dijuluki Raja Pelacur, atau menyebutnya sebagai crusader, atau penipu ulung, maniak, atawa sinting, dan sebagainya. Toh ibaratnya menghadapi anjing menggonggong, Bhola tetap terus menggelinding bagai bola. Sentana ada yang bernyali mengikuti jejak Bhola di mancanegara, di tengah berkobarnya apa yang santer disebut-sebut sebagai era globalisasi, niscaya tidaklah sulit mewujudkan idaman W.S. Rendra dalam sajaknya yang masyhur: Bersatulah Pelacur Jakarta menjadi Bersatulah Para Pelacur seDunia. Hidup Mister Bhola, Sang Raja. Ed Zoelverdi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini