PENGUMUMAN yang terpampang di ruang register lantai dasar Sekolah Laboratorium Kependidikan (SLK) IKIP Jakarta, di Jalan Pemuda, Sabtu pagi pekan lalu, diserbu puluhan orangtua murid -- sebagian besar ibu-ibu. Mereka tampak gembira, berpeluk-pelukan, bahkan ada yang meneteskan air mata, ketika membaca: ".... supaya lulusan SDN IKIP dan SMPN 236 tahun 1989/1990 yang belum diterima untuk mendaftar." Munculnya pengumuman itu berkat surat tugas yang ditandatangani Winarno Hami Seno, Direktur Pendidikan Menengah Umum, Departemen P dan K, 18 Juli, atas nama Dirjen Dikdasmen. Dua hari setelah surat itu beredar, kepala SMP Negeri 236, SMA Negeri 81, hingga direktur SLK belum bisa memastikan anak-anak didiknya akan mereka terima kembali ke induk. Padahal, mereka, bersama Kakanwil P & K DKI Soegiyo, ikut hadir dalam sebuah rapat seminggu sebelum itu yang dipimpin sendiri oleh Dirjen. Hasil rapat itu antara lain memutuskan agar, "masalah PMB pada SMP Negeri 236 dan SMA Negeri 81 segera diselesaikan secara tuntas." Alkisah, ketika 2 Juli lalu 69 lulusan SD IKIP dan 147 lulusan SMP 236 tak diterima masuk ke SLK IKIP Jakarta, banyak orangtua murid yang protes. Tapi pimpinan SLK IKIP hanya bisa angkat bahu, dan berkata, "Itu sepenuhnya adalah wewenang Kanwil Depdikbud DKI." Padahal, NEM murid-murid mereka ada yang mencapai 42 untuk SD dan 43 untuk SMP. Untuk bisa diterima di SMP 236, warisan lab school IKIP Jakarta, NEM terendah siswa, tak peduli dia lulusan SD sekolah itu, adalah 42,34 (TEMPO, 14 Juli). Beberapa orangtua murid pun tak berpangku tangan. Berbagai upaya mereka tempuh. "Kami hanya menuntut keadilan," kata seorang ibu. Dan "keadilan" mulai membersit tak lama setelah beberapa orangtua murid diterima sebentar oleh Dirjen Dikdasmen Hasan Walinono di kantornya dua pekan lalu. Ny. Sinta, Ny. Farida, Ny. Waty, Ny. Syafei Pattangnga, Ny. Taty, dan Edward Tobing yang menjadi "delegasi orangtua murid tersingkir", yang kemudian bisa berunding dengan para pejabat Direktorat Pendidikan Menengah Umum, 13 Juli lalu. Lima hari setelah pertemuan bersejarah itu, 18 Juli, keluarlah apa yang ditunggu-tunggu orangtua murid: ya, surat tugas tadi. Tersebutlah Direktur Pendidikan Menengah Umum menugasi Kepala Subdirektorat Monitor, Kepala Subdirektorat Pembinaan SMP, dan Kepala Subdirektorat Pembinaan SMA, untuk memantau dan melaporkan pelaksanaan penerimaan murid baru pada SMP Negeri 236 dan SMA Negeri 81 Jakarta. Untuk itu, Kakanwil diharap dapat menyelesaikan dengan cara menambah kelas SMP 236 dan SMA 81, paling lambat akhir penataran P4 bagi siswa baru. Selasa pekan ini, murid-murid yang tadinya tidak diterima sudah bisa masuk ke SLK IKIP kembali. Bisakah? Soegiyo belum bisa bicara banyak. "Saya perlu waktu untuk mempelajari. Terutama saya harus melihat dulu fasilitas yang tersedia, mencukupi atau tidak untuk menambah kelas," ujarnya. Sebenarnya, beberapa pilihan sudah disodorkan oleh beberapa orangtua murid. Antara lain, dengan menyewa beberapa ruangan di kompleks IKIP yang tampaknya masih banyak yang kosong. Dan soal bangku? "Ya, kalau perlu kami sediakan dananya ramai-ramai," kata Ny. Sinta, disambut beberapa orangtua murid lain. Beberapa ruang di SLK, seperti kata Direktur SLK Muchsin Lubis, bisa dipakai. "Tapi kami masih belum bisa memutuskan apa yang harus kami lakukan," katanya. Dia masih menunggu petunjuk dari Kakanwil Soegiyo, rupanya. Yang jelas, katanya, seandainya untuk satu sekolah ada penambahan dua ruang kelas, berarti sekolah itu nantinya harus menyediakan enam kelas, untuk tiga angkatan, kelas 1, 2, dan 3. Memang, di SMP 236 baru ada 4 kelas paralel dan 5 kelas paralel untuk SMA 81. Jumlah kelas tersebut kelak perlu ditambah. Beberapa sekolah negeri lain yang tergolong favorit sudah memiliki 6 hingga 8 kelas paralel untuk SMP dan SMA. Siswa baru yang diterima di SMA 81 berjumlah 195. Hanya 33 siswa SMP 236 yang diterima. Sisanya dari SMP lain, termasuk yang main pindah rayon. Hal yang kurang lebih serupa juga terjadi dengan SD-nya. Menurut Winarno Hami Seno, sesuai dengan prinsip pendidikan berkelanjutan, maka semua siswa yang ada pada saat berlangsungnya peralihan SLK menjadi sekolah negeri dapat menyelesaikan pendidikannya di sekolah tersebut. "Masalahnya, ketika dulu SLK berubah, mereka belum mau mengubah sistemnya," katanya. "Kelas masih dari 1 hingga 12, masih ada koordinator SLK." Bisa dimengerti bila banyak orangtua murid masih beranggapan sekolah SLK masih menganut sistem lama. Atau, setidaknya, masih menjalankan sistem yang mendua: antara lab school dan bukan. Anak mereka umumnya sejak TK bersekolah di situ. Dan sejak awal dijanjikan akan langsung diterima hingga SMA. "Kenapa sekarang kok tak diterima," kata Ny. Farida, salah satu orangtua murid. Bagaimana kelanjutan penerimaan kembali murid SLK masih harus ditunggu. Tapi tindakan cepat dari Direktorat Pendidikan Menengah Umum setidaknya telah membuat lega banyak orangtua murid. Gatot Triyanto dan Iwan Q. Himawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini