NASIB petani PIR-Bun (Proyek Inti Rakyat Perkebunan) V Cimerak, Ciamis, Jawa Barat, apes. PIR kelapa hibrida mereka, sejak masa panen 1985, selalu gagal. Janji muluk pihak PTP XIII, yang menyebutkan bahwa menjadi petani PIR itu pendapatannya mencapai 1.000 dolar AS per tahun, hanyalah omong kosong. Tiga orang petani, Rasmidi, Ansar dan Edi, yang mewakili nasib 129 petani PIR Cimerak, Selasa pekan lalu mengadukan nasibnya ke Komisi A DPRD Jawa Barat. Didampingi dua pengacara LBH Bandung, mereka membacakan pernyataan untuk Ketua DPRD dan Gubernur Ja-Bar Yogie S.M. "Kami minta agar tanah kami dikembalikan seperti semula," katanya. Pengaduan ditembuskan ke DPR-RI, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertanian, Bupati Ciamis, dan PTP XIII. Mereka kecewa. Kebun yang sebelumnya gemah ripah -- pisang, jengkol, petai, durian, cengkeh -- begitu di-PIR-kan malah hancur. SK PIR kelapa hibrida, di bawah pengelolaan PTP XIII, mengajari petani cara bercocok tanam modern. Untuk itu, pohon-pohon produktif di atas dibabat tanpa ganti rugi. Rakyat protes, bentrokan muncul. "Kami juga tak pernah lepas dari intimidasi dan penyiksaan," begitu bunyi protes mereka. Pamong dan warga di satu pihak melawan aparat. Siapa melawan, dicap pengkhianat pembangunan dan dibawa ke kantor polisi. Petani Warso, Satijo, dan Taryono, misalnya, disuruh apel dari pagi hari sampai sore. Dan malamnya dijemput lagi, hingga tiga hari berturut-turut. Pistol dan bayonet ikut bicara. Petani dari Desa Kertaharja mulutnya dimasuki bayonet sampai pingsan. "Sampai detik ini, kami petani tidak mendapat manfaat apa pun dari adanya proyek ini, kecuali kesengsaraan, ketakutan, dan kemiskinan," keluhan petani. Sejuta penderitaan itu rasanya memang tak seimbang dengan awal mula mereka membuka hutan di Cimerak, pada 1960-an. Waktu itu, bupati Ciamis merestui pembabatan hutan di situ. Toh sikap petani itu, di mata Odjo Sudjaja, anggota DPRD Ciamis, dianggap manja. Lahan dua hektare bukan tanah yang sedikit untuk diolah. Gagalnya petani PIR itu, kata Odjo kepada Pikiran Rakyat, karena mereka belum sungguh-sungguh melaksanakan alih teknologi pertanian. Jatah pupuk untuk kelapa hibrida, misalnya, malah dijual ke pasaran bebas. Tudingan ini dibantah petani. "Itu fitnah," kata Darsono, bekas ketua HKTI Ranting Desa Mekarsari. Petani Karlan menambahkan, "Jangankan menjual pupuk, tanaman sendiri saja kekurangan pupuk." Sementara itu, Direktur Utama PTP XIII, Gumira, tak mau memberi komentar atas kemelut ini. "Itu hak mereka," katanya, mengomentari cara petani yang mengadu ke DPRD. Ia tak mau menanggapi tudingan bahwa PIR Cimerak gagal. Sebab, Selasa pekan ini, rencananya, pihak PTP XIII baru akan bertemu dengan DPRD Ja-Bar. Gagal atau tidak, belum dievaluasi. Tapi, menurut Humas PTP XIII H. Kuswandi kepada Mandala, janji bahwa petani bisa mendapatkan 1.000 dolar AS bukan hal yang mustahil. Sebab, itu semua berdasar perhitungan Bank Dunia, yang waktu itu mengkurs sedolar di bawah Rp 500, sementara harga kelapa memadai. Kini harga kelapa anjlok, sedang kurs dolar mencapai hampir empat kali lipat. Salah siapa? Petani tak mau tahu. Mereka hanya menghitung, dulu makmur, sekarang payah. Kegagalan PIR Cimerak ini rupanya sudah didengar Wakil Gubernur Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Ja-Bar, H. Suryatna Soebrata. "Panennya menurun. Entah mutu atau apanya yang kurang baik, masih kami teliti," kata Suryatna. Ia berjanji akan mempelajari kasus ini dengan membandingkan dengan tiga lokasi PIR-Bun di Ja-Bar yang berhasil. "Pokoknya, pekan depan akan saya teliti langsung," katanya. WY, Hasan Syukur, dan Riza Sofyat (Biro Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini