Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Ut masuk kampus

Yayasan wijaya kusuma mendirikan kampus ut wijaya-kusuma,ada 3 fakultas: ekonomi,sospol,matematika dan ipa. menyediakan kampus di 10 kota besar. ijazah kesarjanaan sama seperti ut negeri.

28 Juli 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAMPUS ternyata bukan sekadar gudang ilmu. Kampus telah menjadi lambang status. Karena itu, tak heran bila mahasiswa Universitas Terbuka pun ramai-ramai mencari kampus. Mereka tak lagi belajar secara "terbuka" alias mandiri. Para mahasiswa itu punya ruang kuliah, perpustakaan, laboratorium, dosen, bahkan daftar hadir. Pemodal yang cekatan membisniskan kampus itu antara lain Yayasan Wijayakusuma. Ia mendirikan kampus Universitas Terbuka Wijayakusuma. Ada tiga fakultas yakni Ekonomi, Ilmu Sosial dan Politik, serta Matematika dan IPA. Tawaran swasta dengan kampus UT itu ternyata mendapat sambutan besar dari calon mahasiswa yang tak masuk universitas negeri atau swasta yang mahal. Biaya masuk UT swasta ini jauh lebih miring dibandingkan universitas swasta. Pada tahun pertama, misalnya, seorang mahasiswa diharuskan membayar Rp 648 ribu. Rinciannya, Rp 20 ribu untuk uang pendaftaran, uang kuliah wajib untuk UT negeri Rp 233 ribu, plus uang prasarana pendidikan Rp 250 ribu. Dengan uang kuliah itu, maka seorang mahasiswa UT bisa menikmati belajar di kampus. Artinya, memang berbeda dengan konsep UT yang didasarkan pada Keppres 41/1984 yang memungkinkan seorang mahasiswa kuliah tanpa harus punya kampus. Jadi, "Yang kami selenggarakan adalah UT plus," kata Sulaiman Harsa, Direktur UT Wijayakusuma. Untungnya lagi, mata kuliah, modul, sistem tes, dan proses ujian sampai ijazah kesarjanaan sama seperti UT negeri. UT swasta ini, menurut Sulaiman, memang berkiblat pada UT negeri yang ada. UT Wijayakusuma menyediakan kampus di 10 kota besar, lengkap dengan ruang kuliah, perpustakaan, laboratorium, dan berbagai sarana ekstrakurikuler. Dengan sarana belajar yang komplet, agaknya memang telah ditinggalkan prinsip-prinsip dasar UT, yakni kuliah tanpa kampus alias belajar mandiri. Mahasiswa hanya membutuhkan tutor. Itu pun kalau dianggap perlu. Karenanya, Rektor UT Negeri, Prof. Setiadi, M.A., tak menganggap UT swasta yang bermunculan itu sebagai perguruan tinggi. "Itu hanya semacam lembaga tutorial bagi mahasiswa-mahasiswa UT," katanya. UT negeri yang dipimpinnya kini punya 100 ribu mahasiswa yang tersebar di segenap pelosok tanah air. Menurut Setiadi, siapa pun yang bermodal boleh mendirikan lembaga "tutorial" serupa itu. Sebab, pada dasarnya, UT Wijayakusuma dan UT swasta lainnya tak beda dengan lembaga bimbingan tes untuk UMPTN. Yang penting, "Jangan sampai merugikan mahasiswa," katanya. Agaknya, mahasiswa tak merasa rugi belajar di kampus. Dua pekan lalu, hanya beberapa hari setelah diiklankan, sudah ada 200 calon mahasiswa mendaftar ke UT Wijayakusuma. Dengan dosen dan prasarana yang disediakan di kampus, UT Wijayakusuma siap menampung 2.000 mahasiswa. Kemungkinan memang akan bermunculan kampus UT swasta. Apalagi syaratnya sangat ringan, seperti membuka kursus. Tanpa harus punya izin seperti mendirikan sekolah atau perguruan tinggi. Sebagai misal Yayasan Kusuma Bakti, masih di Jakarta. Pekan lalu, lembaga ini mengiklankan membuka pendaftaran calon mahasiswa UT kampus. Rencananya, Kusuma Bakti akan menampung 700 mahasiswa untuk dua fakultas yakni ekonomi dan sospol. Biaya yang harus dibayar mahasiswa cuma Rp 559 ribu. Segalanya praktis sama dengan UT Wijayakusuma. "Kami menampung mahasiswa yang tidak menyukai sistem belajar mandiri," kata Krisna Iwan Dianto, salah seorang staf pemimpin UT Kampus Cabang Yogyakarta. Pendapat Krisna dibenarkan beberapa calon mahasiswa yang dijumpai TEMPO ketika mendaftar di beberapa kantor UT berkampus. Simak saja ucapan Rudi, seorang karyawan swasta yang gagal menempuh UMPTN dan mendaftar di UT Wijayakusuma. "Di sini, saya bisa merasakan kuliah seperti mahasiswa beneran. Saya bisa memilih waktu, memperoleh ijazah negeri, dan biayanya terjangkau," katanya. Budi Kusumah, Priyono B. Sumbogo (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus