SABTU, 22 Maret 1873. Kapal Citadel van Antrerpen yang membawa pasukan Belanda berlabuh di pantai Meuraksa, Banda Aceh. Kemudian, F.N. Nieuwenhuijzen mengutus kurirnya, Sidi Tahil, membawa surat ultimatum kepada Sultan Aceh. Komisaris Belanda yang berpos di Sumatera Barat itu menyuruh Sultan Mahmudsyah menyerah, dan mengakui kedaulatan Belanda atas Aceh. Sultan menampik. Pada 27 Maret, Belanda meletupkan peluru meriam pertama kalinya. Selusin laskar Aceh gugur. Peristiwa itu terjadi di Kampung Jawa, pada pukul 16.00. Delapan hari kemudian, di pantai Ulelheue, tak cuma peluru meriam yang menghunjam Aceh. Tentara Ratu Wilhelmina mendarat dan merangsek maju. Tapi, dalam pertempuran di halaman Masjid Raya Baiturahman, Banda Aceh, Mayor Jenderal J.H.R. Kohler tertembak oleh Panglima Polem Mahmud Cut Banta. "Ya, Tuhan. Aku ditembus peluru," kata Kohler, seolah tak percaya. Jenderal yang memulai kariernya sebagai kopral itu, dan tak pernah mengenyam pendidikan di akademi militer, gugur. Ekspedisi pertama Belanda itu gagal. Sisa pasukan, yang diperkirakan seribu orang, kembali lagi ke Batavia dengan kecewa. Mereka tak mengira akan mendapatkan perlawanan setangguh itu. Aceh, satu-satunya wilayah Indonesia yang belum dapat ditaklukkan, memang sudah lama membuat Belanda gregetan. Armada Aceh dianggap sering mengganggu kapal Belanda yang mengangkut rempah-rempah di Selat Melaka. Sementara itu, Belanda tak dapat membalas karena terikat Traktat London 1824, yang menghormati kedaulatan Aceh. Tak heran kalau Belanda giat berupaya mencari lubang-lubang perjanjian internasional tersebut. Peluang ini dapat mereka peroleh melalui perundingan dengan Inggris. Traktak London meleleh. Lahir Traktak Sumatera 1871 yang memberi peluang kepada Belanda memperluas jajahan di Sumatera. Jenderal Kohler diberangkatkan untuk menghajar Aceh. Siapa nyana? Justru jenderal ini yang balik terhajar, dan mayatnya kemudian dikuburkan di Batavia. Arkian, dua tahun kemudian, Mahmudsyah meninggal akibat kolera di markas pengasingannya di hutan. Karena Putra Mahkota Daudsyah masih kecil, perjuangan dilanjutkan oleh Mangkubumi, Tuanku Hasyim Banta Muda. Tapi, Letnan Jenderal J. van Swicten, yang berhasil merebut keraton pada invasi kedua, 31 Januari 1874, mengumumkan kerajaan Aceh "sudah takluk". Betulkah? Perlawanan sebenarnya terus berlanjut. Bahkan, setelah Sultan Alaidin DaJdsyah yang bergerilya ditangkap di Sigli dengan cara menyandera kedua permaisurinya, 10 Januari 1903, perjuangan diteruskan oleh para pembesar kerajaan dan ulama, dipimpin Tengku Cik di Tiro Muhammad Saman. Pahlawan Nasional ini meninggal karena diracun seorang wanita, yang jadi kaki tangan Belanda. Perjuangan menentang Belanda kemudian diteruskan oleh anak-anak dan keluarga Almarhum. Bahkan, sampai hari ini, belum ada bukti tertulis yang menyatakan Sultan pernah menyerahkan kedaulatan Aceh pada Belanda. Sultan Daudsyah yang disingkirkan ke Jawa, misalnya, tetap tak mengakui kekuasaan Belanda hingga akhir hayatnya dalam pembuangan di Jakarta. Selain perlawanan bersenjata, rakyat Aceh juga bertempur di bidang pendidikan. Mulanya melalui gerakan Muhammadiyah. Lalu, pada 5 Mei 1939 berdiri Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), pimpinan Tengku Daud Beureueh. Tujuan organisasi ini adalah memperbarui sistem pendidikan di madrasah, dan membuka sekolah guru. Sekolah itu diberi nama Normal Instituut, dan dipimpin oleh Nur el-lbrahimy, lulusan Al-Azhar, Kairo. (Sekarang, Ibrahimy menetap di Tebet Barat, Jakarta). Agaknya, ini merupakan jurus Aceh untuk mendirikan sekolah pendidikan umum yang bernapaskan Islam. Sebab, para pemimpim Aceh mulai melihat anak-anak uleebalang yang dididik pada sekolah Belanda setelah dewasa cenderung menjadi kaki tangan penjajah. Anti-uleebalang dan Belanda kian meluap, karena PUSA berharap dapat dukungan Jepang. Para kurir PUSA yang menetap di Malaya (sekarang: Malaysia) mengontak Saudara Tua, via Organisasi Fujiwara, untuk mematangkan perlawanan kepada Belanda. Pendeknya, kedatangan Jepang di Aceh disambut baik. Setelah Jepang bubar di Indonesia, beberapa episode penting terjadi di Aceh. Misalnya, berita Proklamasi Kemerdekaan terlambat diterima di Aceh. Tapi, supaya tak ada rakyat yang ragu-ragu melawan agresi Belanda, pada 15 Oktober 1945 empat ulama besar menyampaikan sikap. Mereka adalah Teungku Hasan Krueng Kale, Teungku Daud Beureueh, Teungku Jafar Sidik Lamjabat, Teungku Ahmad Hasballah Indrapuri. Pada hari itu mereka menyerukan, antara lain, "Bersatu padu dengan patuh berdiri di belakang maha pemimpin Ir. Soekarno untuk menunggu perintah dan kewajiban yang akan dijalankan." Sembari menyerukan agar rakyat berperang sabil melawan penjajah, mereka mengatakan, "Indonesia tanah tumpah darah kita telah dimaklumkan kemerdekaannya kepada seluruh dunia serta telah berdiri Republik Indonesia di bawah pimpinan yang mulia maha pemimpin kita Ir. Soekarno." Jika dikaji dari kronologi sejarah bahwa Aceh tak pernah menyerahkan kedaulatannya kepada Belanda, pernyataan sikap empat ulama ini sangat penting bagi Aceh. Sebab, akhirnya daerah modal ini sebagai bagian dari Republik Indonesia. Padahal waktu itu, jika para ulama itu mau, bisa saja Aceh tak bergabung ke Republik. De facto dan de jure-nya memang berpeluang. Kesetiaan rakyat Aceh pada Republik Indonesia teruji pada 16 Desember 1945 ketika meletus Peristiwa Cumbok. Kelompok uleehalang, yang dipimpin Teuku Daud Cumbokdi Lameulo, Pidie, mengambil peluang ini dengan berpihak pada Belanda. Mereka segera digulung laskar rakyat -- yang umumnya digerakkan anggota PUSA -- begitu mencoba menyulut sumbu permusuhan dengan membakar sekolah milik PUSA di Titeue, Pidie. Waktu itu, populer sebutan PUSA itu sebagai "Pembunuh Uleebalang Seluruh Aceh". Setelah itu bergerak tokoh pendiri Pemuda PUSA. Teungku Amir Husein Al Mujahid. Dari markasnya di Kota Idi, dia memimpin "pembersihan" kedua terhadap kelompok uleebalang yang dianggapnya membangkang. Pada Agustus 1948, di Banda Aceh, muncul pula "Gerakan Said Ali". Ia menuntut sejumlah personel di tubuh pemerintahan di Aceh "dibersihkan", dengan tuduhan menyeleweng. Kesenjangan ulama dan umara semakin melebar. "Aceh sudah lama terisolasi," kata R. William Liddle, 49. Menurut guru besar ilmu politik dari Ohio State University itu, yang sekarang menjadi tenaga ahli di Pusat Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (PPPIS) Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, isolasi itu timbul sejak adanya revolusi sosial di Aceh pada 1946. Akibat revolusi itu, yang jadi pemimpin adalah ulama. "Di daerah lain, yang mendominasi adalah kelas pegawai, yang menjadi kerangka besi dan jari-jari tangan di Indonesia," ujarnya. Isolasi politik ini dipertebal oleh keterpencilan geografis. Sampai 1970, misalnya, hubungan Banda Aceh -- Medan membutuhkan perjalanan beberapa hari. Uleebalang, dengan segala kelemahannya, sebelum digilas ulama, sempat berfungsi seperti birokrasi di daerah lain. Setelah Peristiwa Cumbok itu, kata Liddle, kian sulit mencari pemimpin masyarakat Aceh yang bisa sekaligus menghubungkan Aceh dengan luar Aceh. Terutama dengan pemerintah pusat di Jakarta. Putusnya komunikasi ini menebarkan bibit "mental terkepung" (siege mentality), yang segera tumbuh subur di lahan masyarakat Aceh yang homogen. Karena itu, bukan hal aneh kalau rakyat Aceh -- seperti halnya bangsa lain di dunia yang terkena demam siege mentality -- bereaksi balik menjadi puak yang teramat tinggi memberi nilai pada harga diri. "Watak mereka sebenarnya paling mempertahankan harga diri. Yang benar itu benar, dan yang salah tetap salah," ujar Haji Suryo Wiyono. Kolonel purnawirawan AD asal Jawa itu, yang kini jadi pengusaha di Lhokseumawe, sudah 35 tahun menetap di Aceh. Wajar jika Suryo, 61 tahun, ayah tujuh anak, merasa tak asing lagi hidup di sana. Adalah sikap ini yang mendorong lahirnya gerakan DI/TII, 21 September 1953. Lukanya hara diri Aceh karena dijadikan Keresidenan di bawah Provinsi Sumatera Utara terasa sangat dalam bagi mereka. Lalu, Islam pun dijadikan alat pengobar semangat rakyat yang ikut naik gunung. "Penyebab utama pemberontakan itu karena otonomi daerah Aceh dicabut," tutur Hasan Saleh, 66, bekas menteri urusan perang DI/TII Aceh. Itulah sebabnya Hasan Saleh memilih kembali ke pangkuan ibu pertiwi, 25 Juli 1959, ketika pemerintah pusat memberi status provinsi daerah istimewa pada Aceh. Tentu saja dibarengi pula dengan jaminan amnesti penuh. Bahkan pangkat Hasan Saleh dinaikkan dari kapten menjadi letnan kolonel. Artinya, harga diri rakyat Aceh yang sempat naik gunung itu benar-benar dijaga. Dalam konteks pemikiran seperti inilah pemerintah tetap menghormati Abu Daud Beureueh, kendati ia pernah memberontak. Sebab, harus diakui pemberontakan itu tak akan terjadi seandainya pemerintah pusat menepati janji pada rakyat Aceh, yang dalam perjuangan melawan penjajah telah memberi sumbangan luar biasa. Misalnya saja pengumpulan dana untuk pembelian "Seulawah 1", pesawat DC-3 pertama RI yang banyak jasanya dalam perjuangan bangsa. "Waktu itu, rakyat Aceh merasa diperlakukan: habis manis sepah dibuang," kata Nazaruddin Sjamsuddin, yang menulis disertasi tentang PUSA. Dalamnya luka perasaan ini memang membuat adanya krisis kepercayaan terhadap pemerintah pusat. Krisis ini -- dalam titiknya yang paling ekstrem -- memang dapat meletup dalam bentuk aksi kekerasan. Ini terbukti dengan lahirnya kegiatan "Gerakan Aceh Merdeka", 1976, yang mencoba menarik simpati rakyat Aceh dengan mengobarkan isu bahwa provinsi ini dihisap kekayaannya oleh pusat. Untunglah, gerakan yang dipimpin Hasan Tiro ini tak mendapatkan pasaran yang baik. "Gerakan ini tak laku karena sekuler. Selain itu, timing dan idenya salah," kata Nazaruddin. Ketika pemberontakan pecah, Aceh justru sedang makmur-makmurnya, karena oil boom. Dan, yang paling penting, "Saya yakin orang Aceh itu masih setia pada republik." Buktinya, kegiatan Hasan Tiro di Stockholm, Swedia, tak punya gema di tanah airnya. Kalau benar anggapan bahwa secara politis dan geografis Aceh terisolasi, maka keadaan kini sedang berubah pesat. Ini diakui sendiri oleh Liddle. "Khususnya di bidang ekonomi dan pendidikan telah terjadi proses pengindonesiaan yang dahsyat," katanya. Antara lain, karena dibukanya jalan pantai timur dari Medan, munculnya industri-industri raksasa di Lhokseumawe dan pembangunan sarana lainnya. Proses pengmdoneslaan ini, menurut Liddle, sekarang hadir bersamaan dengan "nostalgia keacehan" yang dalam. Gubernur Ibrahim Hasan sedang berupaya agar kedua hal ini menjadi sebuah kesatuan yang saling melengkapi dan bukan dua ulung perbedaan. Ini berarti Aceh harus menyelesaikan "pertikaiannya" dengan Jakarta, dan menjadi anggota Orde Baru secara penuh. Pada dasarnya, menurut Liddle, aspirasi politik Aceh itu Islam. Ini terlihat dari kemenangan Masyumi pada Pemilu 1955. Pada Pemilu 1971, kemenangan Golkar di Aceh juga karena didasari rasa keislaman. "Jangan lupa, Orde Baru pada mulanya mitra Islam," kata Liddle. Titik temu ini, agaknya, tinggal menunggu waktu. Kemajuan teknologi menyebabkan isolasi geografis dan politis runtuh. Lihatlah: bukankah Ibrahim Hasan seorang umaro yang merangkap juga sebagai ulama? Selain itu, homoenitas Aceh -- seperti juga homogenitas suku lainnya di Indonesia -- tak mungkin bisa dipertahankan terus. Sebab, mobilitas penduduk semakin tinggi di zaman modern. Ambillah contoh Wim Sutrisno, arsitek yang masuk ke Banda Aceh pada Desember 1968. Wim, 55 tahun dan ayah empat anak ini, menjadi tenaga teknik di Bagian Bina Bangunan Kantor Gubernur Aceh sejak 1973. Sekarang, dia merasa dirinya orang Aceh yang asli Jawa. "Saya tersinggung kalau Aceh dihina orang lain," katanya. "Sebenarnya, orang Aceh itu bukan tertutup," balas Tagor Siregar. "Masalahnya bagaimana kita bisa menjaga soal agama dan adat-istiadatnya. Toh, orang Cina juga bisa masuk ke Aceh," tambah dosen Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh itu. Anak Batak asal Medan ini, yang pada 1969 menikah dengan putri Aceh, Dahniar A.R., mahasiswi FKIP, kini punya tiga anak. Ia telah larut di tanah Serambi Mekah. Bahkan Tagor kini diangkat jadi pembantu Geucik, Kepala Lingkungan, di Timur Darussalam, Banda Aceh. Lantas, masih akan hidupkah nostalgia keacehan pada anak-anak mereka? Zakaria M. Passe & Bambang Harymurti, Laporan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini