SEBARIS kumis terawat rapi bertengger di atas bibirnya. Kulitnya, yang hitam terbakar, sungguh sesuai untuk menggambarkannya sebagai anak pantai. Memang, Ibrahim Hasan, 52, Gubernur Aceh itu, lahir dan dibesarkan di Sigli, Kabupaten Aceh Pidie, sebuah kota pesisir di tepi Selat Melaka. Dia datang dari keluarga Islam yang taat. Ayahnya, Almarhum Haji Mohamad Hasan, seorang pendukun Masyumi, sedang kakeknya dari garis ibu dikenal sebagai pendiri pesantren di Gigieng, Simpang Tiga Sigli. Itulah sebabnya, sekalipun sudah belalar sampai ke Amerika, dia tetap dikenal sebagai juru dakwah yang memikat. "Saya tak asing dengan agama. Waktu kecil, pagi saya sekolah umum (SR), sore mengaji agama. Itu kemudian saya perdalam lagi setelah menjadi rektor," katanya. Menamatkan SR di kampung, Ibrahim Hasan selanjutnya merantau untuk mencari ilmu. Dia menyelesaikan SMP dan SMA di Medan. Gelar sarjana ekonomi diperolehnya dari UI di Jakarta, 1961. Setelah itu, putra sulung dari enam bersaudara ini meraih gelar Master of Business Administration (M.B.A.) dari Syracuse University, New York, dan doktor ilmu ekonomi dari Universitas Indonesia, 1976. Namun, Ibrahim tetap akrab dengan Aceh, kampungnya. Betapa tidak. Sejak 1961 sampai sekarang, namanya tak pernah lepas sebagai pengajar di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Malah dia menjadi rektor di perguruan tinggi negeri itu untuk dua masa jabatan, 1973-1982. Tokoh ini pulalah yang merancang Aceh Development Board, kemudian menjadi Bappeda, bersama Almarhum Profesor Majid Ibrahim (pernah menjadi Gubernur Aceh). Tak salah kalau William Liddle, guru besar ilmu politik dari Ohio State University itu, mengatakan, "Ibrahim Hasan seorang yang banyak tahu tentang Aceh dan mencintai Aceh." Pada Pemilu 1982, ketika Golkar kembali dipukul PPP di Aceh, banyak pihak menilai salah satu faktor penyebabnya adalah Gubernur (ketika itu) Hadi Thayeb. Tokoh yang lama sekali meninggalkan Aceh itu dianggap kurang bisa mengakrabkan diri dengan rakyat daerahnya. Maka, Ibrahim Hasan, Ketua Departemen Cendekiawan DPP Golkar itu, ditampilkan. Selama delapan bulan menjadi gubernur, ayah lima anak itu sudah mengunjungi 80 dari 136 kecamatan di Aceh: mendatangi para ulama di pedesaan dan berdialog dengan mereka. "Selama delapan bulan, setiap Jumat saya menjadi khatib di berbagai masjid," katanya. Sebuah pendekatan yang pas, barangkali. Karena itu, menurut Nazaruddin Sjamsuddin, Ketua Jurusan Politik FISIP UI, "Kalau Golkar menang di Aceh, credit point sepantasnya diberikan buat Ibrahim Hasan." Di tengah kesibukannya menghadapi masa kampanye, berbagai pengalaman dan buah pikirannya tentang Aceh sempat direkam wartawan TEMPO A. Luqman dan Bersihar Lubis. Berikut ini petikannya: Daerah ini terlalu lama terlibat perang. Melawan Belanda, dan Jepang. Ada harga diri dan martabat karena Aceh tidak pernah menyerah. Bahkan pernah memberontak masa DI/TII -- sampai beberapa puluh tahun. Daerah lain, di Sumatera dan Jawa, karena perangnya terbatas, sudah membangun, Aceh praktis baru mulai sejak 1969, saat dimulainya Pelita. Padahal, akibat perang, Aceh tak punya sarana ekonomi dan infrastruktur. Bagi saya, membangun Aceh tak mungkin dengan cara konvensional, tapi harus melalui terobosan-terobosan. Harus dicari move baru agar daerah ini disenangi orang lain, bukan saja pemerintah tapi juga para investor. Mereka melihat dari segi politis dan macam-macamnya itu. Jika ini tak mantap, mereka akan enggan kemari. Salah satu: Mengapa kita tak seirama dengan tingkat nasional ? Semua provinsi menerima Golkar, kok Aceh belum. Ini yang membikin orang berpikir. Pengusaha Aceh pun tak mau menanam modal di sini. Kalau bunyi gendang kita bersahut dengan pemerintah, ha... ha... ha. .., tentu banyak program yang bisa kita jual. Jadi, perubahan struktur politik di Aceh penting bagi saya. Masa sudah 15 tahun Aceh tak bisa berubah? Sebenarnya, rakyat bukan tak mau menerima Golkar. Tergantung seberapa jauh informasi yang kita berikan. Selama ini yang hidup di strata kecamatan dan desa, Golkar diasosiasikan dengan pemerintah, lalu dikritik. Karena itu, Pemerintah Daerah Aceh dianggap sama saja dengan Belanda. Selama ini kita bermain-main di kota saja, orang-orang Korpri, pegawai negeri, ya yang menerima kenikmatan pembangunan saja. Padahal, rakyat Aceh 90% berdiam di pedesaan. Di area inilah terjadi pemikiran-pemikiran yang terjerat. Sudah 10 tahun ini, itu saja pendirian mereka: partai politik cuma PPP. Nah, kita harus meratakan informasi tentang politik. Karena itu, langkah yang saya tempuh, saya terobos pedesaan itu. Rakyat memilih PPP, semata karena Islamnya, bukan PPP-nya. Ini tidak adil. Misalnya, mereka menganggap PPP itu partai Nabi Muhammad. Ikutilah kampanye mereka, keras sekali. Itu yang membuat PPP menang di Aceh. Kekalahan Golkar karena kurang berakar. Kurang datang ke desa-desa. Selama ini kita datang untuk melihat proyek. Bagaimana, apakah pemimpin tak datang kalau proyek tak ada? Ada yang bilang proyek tak bisa dibawa ke kotak suara. Yang memilih adalah manusia. Karena itu, saya dekati manusianya. Saya datang tak memakai baju wool, tapi drill, saya tak memakai mobil dinas. Saya tak mau jadi manusia asing bagi mereka. Sedihnya, saya sering dicaci-maki, dituduh kafirlah, penjajahlah, tapi saya tak lari, duduk saja di antara rakyat. Saya masuk ke masjid dan mereka mulai akrab. Aceh memang lain, di sini kalau jenderal mati tak semua prajuritnya mau ikut mati. Kalau kita pergi ke pesantren, saya yakin kalau teungku-nya bilang merah, belum tentu anak muridnya bilang begitu juga. Kalau di Jawa, sih, iya. Jadi, memenangkan pemilu di Jawa lebih mudah. Berapa target yang akan dicapai Golkar, saya bisa tak bilang apa-apa. Saya hanya berharap bisa lebih baik. Ha. . . ha. . . itu saja. Pokoknya, bisa naik kelaslah. Sudah 15 tahun tak naik kelas. Amran Nasution
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini