SETELAH masuk desa, di Sumatera Barat ABRI kini masuk hutan. Bersenjata lengkap, dibantu Muspida, polisi dan jaksa. Mereka naik gunung dan melintas jurang. Setelah menempuh medan berakhirnya petugas yang tergabung dalam Tim Khusus Kehutanan (TKK) itu menjumpa bukti: di lokasi yang jauh dari ingar-bingar itu kebusukan telah terjadi. Di banyak tempat, hutan telah habis dibabat. Dari jauh sih, kelihatannya seperti tidak ada apa-apa. Tapi setelah ditembus satu kilometer, dataran sudah gundul karena pepohonannya ditebang," kata seorang petugas yang terlibat dalam operasi Bina Rimba itu. Selain medan yang berat, katanya, langkah tim sering terhalang oleh tumpukan abang, dahan, dan serpihan kayu yang menggunung. Hal itu tampaknya disengaja oleh sementara pengusaha hutan untuk menghambat pelacak petugas. Pelaku kecurangan, menurut sumber TEMPO, memang bukan orang jauh. Mereka adalah -- tak semua tentu -- para pemegang HPH (Hak Pengusahaan Hutan), IPK (Izin Pemanfaatan Hutan), HPHH (Hak Pemungutan Hasil Hutan) dan pengusaha sawmill -- penggergajian kayu. Kerugian akibat pencurian kayu, termasuk pajak dan kewajiban lain yang dimanipulasikan, menurut taksiran, sampai milyaran rupiah. Sebab itu, Gubernur Azwar Anas merasa perlu bertindak ekstrakeras. Sejauh ini tercatat sudah 15 pengusaha sawmill dan HPHH ditangkap. Yang lima orang sampai pekan lalu masih ditahan di Polda Sumatera Barat, sedang 10 lainnya berstatus tahan kota. Tindakan lain: sebagian besar d perusahaan sawmill yang berjumlah 74, dan HPHH yang berjumlah 60 kini dibekukkan izinnya. Mereka diberi kesempatan sampai Maret lalu untuk memperbarui izin. Bila tak diurus, kata sumber TEMPO, "Izin baru untuk mereka tak akan pernah diberikan lagi." Kenakalan HPHH, karena mereka menggunakan gergaji mesin -- chainsaw -- dalam menebang pohon. Dengan alat itu, sebatang pohon berusia puluhan tahun bisa tumbang hanya dalam hitungan menit. Seperti dikatakan Ir. Syahril, Kepala Kanwil Departemen Kehutanan Sumatera Barat, "Areal hutan seluas 10 hektar bisa diselesaikan hanya dalam sepuluh hari." Padahal, menurut ketentuan, HPHH hanya dibolehkan memakai gergaji atau kapak biasa. Dengan begitu, areal seluas itu baru akan selesai dikerjakan selama enam bulan. Artinya, selama waktu itu, sekian tenaga kerja bisa terserap. Tapi, dengan penggunaan chainsaw, konsesi HPHH menjadi cepat bisa dibabat. Akibatnya, pengusaha menebangi begitu saja areal hutan yang tak masuk konsesinya. Itu dilakukan karena harga kayu tetap baik. Satu m3 kayu bisa dilego Rp 100.000. Apa dosa HPH? Banyak. Di sebuah areal HPH, misalnya, ditemukan ada 3.000 m3 kayu. Dan di lokasi lain ditemukan 1.000 m3 kayu kualitas ekspor. Tak seorang pun mengaku sebagai pemiliknya, hingga diduga itu kayu curian. Dosa lain: mereka mempekerjakan sejumlah tenaga asing, mengoperasikan sejumlah kendaraan tanpa pelat nomor -- artinya tak membayar pajak, dan membuat jalan ke petak hutan lain di luar wilayahnya. Tidak semua pemilik HPH main kotor. Banyak pemilik HPH yang benar-benar memenuhi kewajibannya membayar US$ 4 untuk setiap m3 kayu yang dihasilkan. Dana dari situ, seperti diketahui, merupakan jaminan untuk reboisasi, iuran hasil hutan (IHH), biaya pengukuran dan pengujian. Tahun 1985, Pemda Sumatera Barat mendapat Rp 2,5 milyar dari kutipan ini. Meski daftar dosa HPH dan juga IPK cukup panjang, tim TKK tak langsung mengambil tindakan. "Kami hanya melaporkan penyimpangan yang terjadi. Tindakan selanjutnya, wewenang Departemen Kehutanan," kata sumber TEMPO. Turun tangannya Laksus ke hutan memang berpengaruh. Kini hutan di Sumatera Barat kembali normal. Tak ada lagi suara chainsaw terdengar. Laporan Monaris Simangunsong (Biro Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini