Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Mabungtot, sebuah dusun terpencil di wilayah pegunungan Filipina Utara, Frans Madhu SVD ditembak mati pada petang hari 1 April lalu. Ketika itu dia tengah menyiapkan misa Minggu Palma—upacara satu pekan menjelang Paskah Katolik. Berasal dari ordo Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini, SVD), Pastor Frans—kelahiran Ngada, Flores, NTT—bukanlah wajah baru di Mabungtot. Dusun itu, yang masuk Paroki Santo Petrus Lubuagan, adalah salah satu wilayah pelayanannya.
Misa petang itu rencananya dilangsungkan di gedung sekolah dasar kare-na Mabungtot belum memiliki gereja. Serombongan anak-anak telah memenuhi ruangan pada pukul 18.30. Sang Pastor tengah menata persiapan upacara tatkala tiga lelaki bergegas masuk. Mereka menghalau anak-anak ke luar lalu, mirip adegan film, salah satunya memberondong tubuh Frans, 31 tahun, dengan sepucuk senapan F-16.
Pastor muda itu rebah ke tanah dan tewas seketika. Dalam kronologi kematian yang ditulis oleh rekannya setanah air, Pastor Maximus Manu SVD, yang diperoleh Tempo, Frans Madhu sempat bersua dan bercakap-cakap dengan rombongan pencabut nyawa beberapa saat sebelumnya di rumah seorang katekis (pengajar agama) di Mabungtot.
Seusai penembakan, seorang saksi mata menuturkan, satu dari ketiga laki-laki itu mengambil telepon genggam milik Frans lalu mengirim pesan pendek (sandek) kepada semua nomor yang tersimpan di telepon itu, antara lain kepada anggota keluarga korban. Sandek dikirim dalam bahasa lokal, ”Tawag kayo” (Ilocano) yang artinya, kamu menelepon saya. Telepon genggam itu kemudian dikembalikan ke atas jena-zah lalu pelaku dan kedua kawannya kabur ke luar desa.
Sindiran pun merebak: betapa mudahnya penembak berlenggang setelah beraksi. Kepala Polisi Regional Tabuk, Raul Gonzales, menjawab, wilayah pembunuhan amat sulit dijangkau dengan kendaraan. Desa Mabungtot, Lubuagan, letaknya 330 kilometer dari ibu kota Provinsi Kalingga, Tabuk.
Motif penembakan masih tanda tanya. Ada dugaan aksi ini berhubungan dengan gerakan kelompok komunis. Wilayah penembakan Pastor Frans diduga menjadi salah satu basis gerakan komunis di Filipina Utara. Senator dari kubu oposisi pemerintah, Aquilino Pimentel, menjelaskan, para pembunuh punya motif politik ingin menunjukkan lemahnya pemerintahan Arroyo.
”Mereka sering membunuh jurnalis, politikus, sekarang pendeta, tapi pemerintahan Arroyo tak bisa mencegah-nya,” kata Pimentel. Dalam perhitungan mereka, jika semakin banyak biarawan dibunuh—lebih dari 90 persen pendu-duk Filipina adalah pemeluk Katolik—dan kasusnya tak diproses, kian merahlah rapor pemerintahan Arroyo di mata publik.
Juru bicara Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, Kristiarto Legowo, mengatakan, aparat polisi Filipina telah berjanji akan menyelidiki dan membekuk pelakunya. ”Kami berharap pelaku bisa segera ditangkap dan diungkap motif pembunuhannya,” ujarnya. Tapi Kristiarto mengaku tak tahu soal motif politik dari pembunuhan Pastor Frans. ”Saya tak berani berspekulasi,” ujarnya.
Dalam catatan Pelapor Khusus Hak Asasi Manusia PBB, Philip Alston, sejak 2001 sampai sekarang sudah lebih dari 800 aktivis, pekerja gereja, jurnalis, pengacara, dan oposan politik mati dibunuh di Filipina. Menurut dia, pihak militer anti-Arroyo berada di belakang pembunuhan tersebut untuk mencoreng kening pemerintah.
Sejak pekan lalu jenazah Frans Madhu telah tiba di Manila. Dia dibaringkan dalam peti mati berwarna putih di Christ The King Mission Seminary Manila. Tubuhnya dibalut pakaian imam lengkap berwarna putih dan krem, beralaskan kain tenunan daerah Ngada. Dia akan dimakamkan pada Senin 9 April ini. Banyak warga Indonesia yang datang melayat. Tapi keluarganya kemungkinan besar tak akan menghadiri upacara penguburan.
Direktur Nasional Pendidikan Bruder Tarekat Sabda Allah, Bruder Wilfrid Kromen SVD, mengatakan kepada Tempo, pihak tarekat sudah menawarkan kepada anggota keluarga Frans untuk berangkat ke Filipina. Tapi mereka menolak dan mengizinkan jenazah pastor muda itu dikebumikan di Filipina, tempat dia bertugas selama dua tahun terakhir. Mengutip Wilfrid: ”Di dalam tarekat SVD, di negara mana pun kami bekerja, itulah tempat hidup dan mati kami.”
Ahmad Taufik (AP, AFP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo