Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAMU Rektor Universitas Indonesia itu harus menunggu lima menit lebih lama. Gumilar Rusliwa Somantri, orang yang ditunggu, terlihat dari balik kaca Starbucks di Perpustakaan Baru UI, Depok, Rabu pekan lalu, berjalan kaki dari Gedung Rektorat, yang berjarak 200 meter. Tapi, di satu simpang, Gumilar spontan berbelok menghampiri 60-an mahasiswa baru Jurusan Komunikasi yang sedang berlatih menyanyi di bawah rindang pohon.
Satu per satu mereka menyalami sang Rektor, yang kemudian memberi wejangan. Berbekal dokumen fotokopian, Gumilar menyuguhkan Pemeringkatan Universitas Dunia versi QS keluaran 5 September, yang menempatkan "Kampus Kuning" di urutan 217—naik dari 236 tahun lalu, melewati kampus top semacam Universite de Strasbourg (Prancis), Kobe University (Jepang), dan Universitat zu Koln (Jerman). Setiap kali disebut nama universitas di bawah UI, mahasiswa bertepuk tangan.
"Coba, mana ada berita ini di media?" ujar Gumilar kepada Tempo. Hampir dua bulan dia kena "bogem" kanan-kiri. Dari soal penganugerahan doctor honoris causa kepada Raja Abdullah dari Arab Saudi yang dinilai tidak sensitif terhadap kasus pemancungan tenaga kerja Indonesia di sana, sorotan kepadanya melebar sampai ke tata kelola universitas dan gaya kepemimpinannya yang dianggap otoriter.
Dia memilih diam dengan alasan emoh menambah masalah, yang ujung-ujungnya merugikan UI. "Kan, mereka yang mau berkonplik. Saya mah tidak mau ikut," ujar pria kelahiran Tasikmalaya, 43 tahun lalu, itu dalam logat Sunda kental. Dia kembali diam saat ditanya siapa yang dia maksud dengan mereka.
Tidak sulit menemukan jawabannya. Tiga pekan lalu, sejumlah wajah tersohor mampir ke kantor Tempo. Ada pakar komunikasi politik Effendi Gazali, mantan anggota Komisi Penyiaran Indonesia Ade Armando, pakar pemasaran Rhenald Kasali, Dekan Fakultas Kedokteran UI Ratna Sitompul, dan Direktur Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Akmal Taher. Mereka tergabung dalam Gerakan UI Pembaruan, yang menghendaki Gumilar turun dari jabatannya. Juga ada perwakilan dari Fakultas Ekonomi, perwakilan Majelis Wali Amanat dari unsur mahasiswa, dan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Maman Abdurrahman.
Ratna Sitompul mengeluhkan sulitnya pencairan dana dari Rektorat. Sejak akhir 2006, Gumilar menyatukan pengelolaan keuangan: dari 700-an rekening dan puluhan nomor pokok wajib pajak yang tersebar di semua unit menjadi tiga rekening dan satu NPWP di Rektorat. Semua dana yang diterima harus disetor dulu ke Rektorat. Masalahnya, kata Ratna, "Cairnya icrit-icrit."
Fakultas Kedokteran paling kegebok karena biaya per mahasiswanya paling tinggi, Rp 52 juta per semester, sementara uang kuliah cuma Rp 7,5 juta dan masih dipotong 20-25 persen oleh Rektorat. Pencairan satu berkas makan waktu 3 sampai 71 hari. Menurut Ratna, uang sulit cair karena tidak ada pedoman tetap.
Gumilar mengatakan integrasi keuangan itu merupakan perintah Majelis Wali Amanat untuk mengintegrasikan organisasi secara utuh dan menertibkan pembukuan. Sistem ini mengharuskan tiap unit mengajukan dana saban bulan. "Tidak dicairkan kalau laporan bulan lalu belum masuk," katanya. Dia mengakui ada keterlambatan akibat menumpuknya beban kerja di bagian keuangan. Maklum, perputaran uang di sana masif. Tahun lalu mencapai Rp 2,4 triliun, dan sepertiganya berasal dari negara.
Ade Armando memprotes pembangunan bulevar, jalan yang menghubungkan Gedung Rektorat dengan—ini yang aneh—tanah kosong di sebelah selatan. Jalur dua arah berlapis konblok merah itu terbentang satu kilometer dengan lebar delapan meter. Dibangun tidak lama setelah Gumilar menjabat empat tahun lalu, bulevar ini menunda pembangunan gedung Fakultas Kedokteran, Fakultas Kedokteran Gigi, serta rumah sakit pendidikan, dan mengakibatkan UI didenda Rp 1 miliar dari pemberi pinjaman, Japanese International Cooperation Agency.
Gumilar mengatakan jalan itu sesuai dengan rencana induk. Bulevar akan jadi gerbang masuk UI dari jalan tol Cijago, Cinere-Jagorawi, yang, sayangnya, entah kapan terwujud. Tidak ada perubahan bagi tiga gedung lain. Malah pembangunan dipercepat, dari rencana selesai 2018 jadi 2014. Satu-satunya yang kena gusur adalah gedung BNI, yang mendapat tempat baru di perpustakaan. Sedangkan pembayaran satu miliar merupakan commitment fee yang ada di setiap pinjaman.
Ada pula polemik masa transisi dari badan hukum milik negara ke perguruan tinggi pemerintah, yang dilontarkan Effendi Gazali. Menurut dia, Gumilar buru-buru mengganti Senat Akademik Universitas dengan Senat Universitas untuk memuluskan jalannya ke kursi rektor 2012-2017. Pergantian organ itu juga bisa berlaku pada Dewan Guru Besar, Dewan Audit, dan Majelis Wali Amanat (MWA) sebagai pengawal rektor. Pada pemilihan sebelumnya, MWA, yang terdiri atas 21 orang, memiliki suara 65 persen dalam pemilihan rektor—sisanya Menteri Pendidikan. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010, suara MWA beralih ke Senat Universitas.
Gumilar cuma mesem atas tudingan itu. Dia mengaku belum berpikir soal pencalonan kembali.
Sumber Tempo di Rektorat mengatakan hujatan dua bulan terakhir sedikit-banyak membuat Gumilar patah arang. "Buat apa dia maju lagi kalau tidak dihargai seperti ini," ujarnya. Justru, ia melanjutkan, Effendi cs yang ingin memperpanjang masa jabatan MWA, yang habis akhir tahun ini, agar bisa menggusur lawan mereka. Calonnya adalah Ade Armando. "Ha-ha-ha…, masak saya mau jadi rektor," ujar Ade.
RM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo