Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SENYUM Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Djoko Santoso sejenak hilang tatkala mendengar kata "UI". Dari balik kacamatanya, terlihat alisnya mengernyit. Berbeda dengan lukisan karikatur dirinya—sedang tertawa lebar—yang menghiasi ruang kerjanya di Gedung D lantai 10 Kementerian Pendidikan Nasional. Sembari mengembalikan senyum, dia menolak berkomentar tentang Universitas Indonesia. "UI akan menyelesaikan permasalahannya sendiri," katanya kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Guru besar teknik geologi itu memilih menjelaskan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Peraturan berisi 220 pasal ini merupakan satu pemicu kisruh UI, yang berujung pada tuntutan pengunduran diri Rektor Gumilar Rusliwa Somantri. Bermodal setumpuk dokumen, plus coret-coretan di selembar kertas, Djoko mengutip putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan badan hukum milik negara tak memiliki dasar hukum.
Untuk mengisi kekosongan hukum, pemerintah mengeluarkan PP 66 Tahun 2010 dan mengganti status tujuh universitas dari BHMN jadi perguruan tinggi yang diselenggarakan pemerintah, disingkat PTP. Semuanya perguruan tinggi papan atas, yaitu Universitas Indonesia di Jakarta dan Depok, Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Sumatera Utara di Medan, Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung, dan Universitas Airlangga di Surabaya.
Djoko mengatakan perbedaan utama kedua status itu terletak pada perwalian. Di era BHMN, pada 2000 sampai 2010, rektor bertanggung jawab kepada Majelis Wali Amanat (MWA). Majelis itu terdiri atas 21 orang yang mewakili Menteri Pendidikan, Senat Akademik Universitas, masyarakat, karyawan, dan mahasiswa. Mirip-mirip presiden yang jadi mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat. "Sekarang perwalian ke pemerintah," katanya.
Selain MWA, tidak ada lagi Dewan Audit, Senat Akademik, dan Dewan Guru Besar. Sebagai pengganti adalah Senat Universitas sebagai pemberi pertimbangan dan pengawas rektor dalam bidang akademik, Dewan Pertimbangan yang memberi masukan di bidang non-akademik, dan Satuan Pengawas yang mewakili rektor dalam pengawasan di bidang non-akademik. Rektor, sebagai pucuk pimpinan universitas, tetap ada. Pasal 58-F menegaskan perannya sebagai perpanjangan tangan pemerintah, dalam hal ini Menteri Pendidikan Nasional: "Rektor menjalankan otonomi perguruan tinggi untuk dan atas nama Menteri."
Di pasal 220A terdapat ketentuan masa transisi paling lama tiga tahun sejak peraturan itu ditetapkan Presiden Yudhoyono pada 28 September 2010. Di bawah komando Gumilar, UI bergerak cepat. Pada Mei lalu, dia membentuk Senat Universitas Indonesia, yang mewakili 12 fakultas di Salemba dan Depok, mengganti Senat Akademik Universitas yang habis masa tugasnya pada 17 Juli 2011. "Tiga tahun kan paling lama," ujarnya. "Transisi harus segera, bukan dilama-lamain."
Padahal, sebenarnya, dia bisa memanfaatkan masa transisi untuk menyiapkan statuta. Sesuai dengan penjelasan pasal 220-A, Djoko mengatakan, setiap perguruan tinggi harus menyusun perencanaan dan penyesuaian tata kelola. Aturan itu kemudian diberikan ke Kementerian Pendidikan Nasional, yang nantinya ditetapkan jadi peraturan menteri dan peraturan presiden. Setelah itu baru peralihan status bisa berjalan. "Kalau itu tidak dilakukan, pasti ribut," katanya. Setahun PP 66 Tahun 2010 berjalan, Djoko belum menerima satu pun usulan statuta dari tujuh perguruan tinggi itu.
Keributan memang terjadi di UI. Ketua Dewan Guru Besar Fakultas Hukum UI Abdul Bari Azed menyatakan perubahan organ UI itu tidak sah. Alasannya, belum ada peraturan presiden yang mengatur UI sebagai perguruan tinggi pemerintah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional yang mengatur Statuta UI.
Pendapat itu didukung pakar hukum Adnan Buyung Nasution. Dia menyarankan Gumilar meminta Menteri memperpanjang masa jabatan Majelis Wali Amanat, yang berakhir pada Desember mendatang, karena keberadaannya vital, sebagai pelaksana checks and balances, penyelesai sengketa, dan pembuat Statuta UI. Buyung mengutip Peraturan Pemerintah Nomor 152 Tahun 2000 tentang Penetapan UI sebagai BHMN, yang menyebutkan MWA bertugas menangani penyelesaian tertinggi masalah dalam universitas.
Gumilar berkukuh dengan bersandar pada pendapat hukum guru besar hukum keuangan Publik UI, Arifin Soeria Atmadja, yang mengatakan PP 66 Tahun 2010 sebagai satu-satunya landasan hukum dan MWA tidak diakui lagi. Gerakan UI Pembaruan yang didukung Badan Eksekutif Mahasiswa, sebagian dosen, dekan, dan guru besar menuntut Gumilar turun (baca "Gumilar di Simpang Jalan").
Ramalan Djoko semakin terang saat melihat enam saudara UI yang adem ayem. Mengingat masa transisi sampai 2013, kata Rektor Universitas Sumatera Utara Syahril Pasaribu, tidak perlu buru-buru. Sambil menunggu tenggat, mereka menyiapkan Statuta USU, dan mereka masih berstatus BHMN. "Kalau perubahan kita lakukan semua sekarang, pusinglah kepala kita," ujarnya.
Rektor Institut Teknologi Bandung Akhmaloka menyiapkan ancang-ancang dengan berembuk bersama pimpinan MWA, Senat Akademik, dan Majelis Guru Besar. Meski kewenangannya beralih ke pemerintah, mereka berpendapat MWA bisa beralih jadi Dewan Pertimbangan. MWA ITB yang masa kerjanya habis pada September lalu diperpanjang sampai Desember, sehingga bisa menyiapkan aturan peralihan, evaluasi rektor, dan rencana kerja tahun mendatang. "Sangat berbudaya, kan," kata Djoko, Rektor ITB 2005-2010, sembari tersenyum.
Perhatian di masa transisi juga tertuju pada pengelolaan keuangan. PP 66 Tahun 2010 mewajibkan perguruan tinggi pemerintah menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum. Universitas Pendidikan Indonesia, seperti disampaikan Rektor Sunaryo, menunggu revisi Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Badan Layanan Umum, karena bakal mengubah sistem pelaporan keuangan mereka. Saat masih BHMN, pendapatan negara bukan pajak seperti sumbangan pengembangan pendidikan, hasil riset, dan bagi hasil pihak ketiga tidak disetorkan ke negara. Sekarang, dia melanjutkan, harus disetor dulu ke negara.
Keruwetan makin menjadi pada Institut Pertanian Bogor sebagai pemilik Mal Botani Square dan Mal Ekalokasari, dua pusat belanja terbesar dan elite di Bogor, yang berkongsi dengan swasta. "Mudah-mudahan mereka mau mengerti dan tidak mempermasalahkan secara hukum," kata Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan IPB, Yoni Koesmaryono.
Keputusan Rektor UI mengadopsi PP 66 Tahun 2010 bukan tak punya pendukung. Koordinator Presidium Paguyuban Pekerja UI Andri G. Wibisana, misalnya, mengatakan peraturan itu bisa menghapus ketidakjelasan status pekerja di Kampus Kuning. Jumlah mereka sekitar 12 ribu orang, dengan 4.000 pegawai negeri sipil dan 500 pegawai universitas. "Sisanya, sekitar 5.000 orang, tanpa status," katanya. Dengan kembali ke pangkuan pemerintah, karyawan UI akan berstatus seragam, pegawai negeri sipil.
Meski begitu, guru besar Fakultas Hukum UI, Hikmahanto Juwana, mengatakan, tujuh universitas tersebut perlu berhati-hati menerapkan PP 66 Tahun 2010. Tanpa Majelis Wali Amanat, rektor bisa menjelma jadi sosok yang otoriter karena tidak ada checks and balances. Apalagi dengan posisi "untuk dan atas nama Menteri", rektor cuma menjalankan arahan Menteri. "Kalau begitu, independensi perguruan tinggi terancam," kata Dekan Fakultas Hukum UI 2004-2008 ini. Menurut dia, otonomi perguruan tinggi terlihat dari minimnya campur tangan pemerintah dan kekuasaan yang tersebar di beberapa organ, bukan terpusat di rektor.
Hikmahanto mengatakan universitas sebaiknya memanfaatkan tenggat tiga tahun itu. Setidaknya sampai Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi disahkan. Beleid itu memiliki kedudukan hukum lebih tinggi sehingga bukan tidak mungkin kembali mengubah tata kelola di tujuh universitas tersebut.
Djoko menepis kekhawatiran itu dengan menjamin otonomi kampus. "Prinsip kami, apa pun yang diusulkan universitas, pasti diiyakan," katanya. Mengutip pasal 58-F, kampus bersifat otonom hampir di semua lini, dari penerimaan, pengaturan kurikulum dan kegiatan mahasiswa, sampai pengelolaan keuangan. Otonomi tidak berubah sejak masa BHMN, yang dikenal dengan semangat otonomi kampus, sampai era PTP. Toh, selama berbentuk BHMN pun, ketujuh "saudara" itu masih menerima uang negara. Jumlahnya ratusan miliar rupiah dan memenuhi sekitar sepertiga anggaran kampus.
Pemerintah baru bisa mengintervensi jika kampus melanggar statuta. Djoko mengiyakan bahwa PP 66 Tahun 2010 bisa berubah jika tidak selaras dengan Undang-Undang Pendidikan Tinggi. Menurut dia, hingga draf terbaru ada beberapa hal yang bertentangan. Namun dia enggan menjabarkan dengan alasan pasal-pasal itu sangat mungkin berganti lagi. Rancangan ini rencananya akan diketuk palu menjelang akhir tahun.
Tampaknya UI perlu belajar bersabar dari saudara mereka di kota-kota lain.
Reza M. (Jakarta dan Depok), Soetana (Medan), Angga (Depok), Arihta (Bogor), Anwar (Bandung), Bernada (Yogyakarta), Dini (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo