Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Gusur-Gusur di Lahan Tidur

Penggusuran di Jakarta akan terus berlangsung sampai menjelang bulan puasa mendatang. Tak ada yang membela korban gusuran.

5 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bangunan mewah Mal Taman Anggrek, Jakarta, sekarang terlihat angkuh. Soalnya, di samping bangunan tinggi itu kini terhampar lahan yang penuh reruntuhan rumah. Itulah Kampung Sawah, Tanjung Duren, Jakarta Barat, yang sudah rata dengan tanah akibat serudukan buldoser Kamis pekan lalu. Pada akhir pekan, ratusan rumah yang didirikan 800 keluarga di atas lahan seluas 12 hektare itu sudah tak terlihat lagi. Hanya tersisa tumpukan batu, debu, serta besi-besi. ”Mau ke mana saya ini? Uang tak punya,” Ruslan Sihombing, 42 tahun, mengeluh sambil menunduk. Ia sibuk mengais-ngais sisa perabot yang masih bisa dipergunakan di atas bekas rumahnya yang berukuran 90 meter persegi. Sesekali ia mencari benda yang bisa dipakai untuk menutupi tubuh anak perempuannya yang berusia tujuh tahun dari panas matahari. Sedangkan suaminya, Johnson, sejak pagi telah pergi menyopir metromini. Tanah itu ia beli seharga Rp 1 juta dari penggarap lahan tidur tiga tahun lalu. Ruslan mengaku tak ada pemberitahuan, apalagi secarik surat resmi, kepada warga sebelum penggusuran. Maka kedatangan ribuan petugas Kamis pagi itu membuat warga berang. Bentrokan terjadi. Sembilan orang luka. Tapi aparat lebih kuat, apalagi berbekal surat Wali Kota Jakarta Barat Sarimun Hadisaputra. Berdasarkan keputusan pengadilan awal April lalu, tanah itu milik ahli waris Munawar Salbini. Warga yang menempati lahan itu sejak 1997 dianggap liar dan mesti diusir. Di belahan lain Jakarta, derita yang sama dialami Umi, 39 tahun. Duduk termangu di atas bangku panjang yang reyot, sesekali tangannya mengibaskan lalat yang berkerumun di onggokan aneka sayuran yang dijualnya. Tak jauh dari situ, sang suami, Taruli, 43 tahun, sibuk memindahkan sisa-sisa reruntuhan gubuknya ke seberang jalan. ”Saya beli tiga juta, lo,” katanya sambil menunjuk bekas bedengnya seluas 5 x 4 meter persegi, Jumat pagi lalu. Keluarga penjual sayur itu adalah satu dari belasan pemilik bedeng liar yang dibongkar Pemerintah Kota Jakarta Timur, Rabu lalu. Empat puluh rumah semipermanen di atas lahan 8.000 meter persegi ikut dibuldoser setelah Mahkamah Agung memenangkan PT Billy and Moon Housing Development dalam sengketa kepemilikan tanah dengan H. Madi. Pembongkaran diawali bentrokan petugas dengan ratusan anggota Forum Betawi Rempug yang mengaku solider kepada Madi. Derita keluarga Rusman dan Taruli mewakili ribuan korban penggusuran di Jakarta dalam sebulan terakhir, mulai Tambora dan Kapuk Sawah, Kampung Baru, hingga Karanganyar. Mereka tak bisa berbuat banyak menghadapi perlakuan pemerintah. Mereka pun sadar dalam posisi lemah karena menempati tanah bukan miliknya selama bertahun-tahun. Tapi mereka sebetulnya bukan penyerobot tanah. Awalnya pemerintah yang mengizinkan mereka memanfaatkan lahan tidur untuk penghidupan. Di tengah krisis moneter sejak 1997 lalu, dengan Surat Keputusan Nomor 184/1998, Gubernur Sutiyoso mencanangkan produktivitas ratusan lahan tidur. Tujuannya menekan pengangguran melalui sektor jasa dan pertanian. Namun tanah hanya untuk pertanian dan tetap dijamin akan dikembalikan ke pemiliknya. Yang terjadi kemudian, rumah-rumah bedeng dibangun dan pemerintah tidak segera melarangnya. Bahkan rumah-rumah tersebut berkembang menjadi semipermanen di area itu. Warga yang datang belakangan tidak mendapatkannya dengan gratis. Mereka membeli lahan dari penggarap sebelumnya. ”Saya beli satu juta rupiah untuk 115 meter persegi ini,” kata Linda Simamora, 42 tahun, warga gusuran Kampung Sawah. Kini kebijakan pemerintah DKI adalah menata permukiman tanpa ada penghuni liar. Pemda DKI menargetkan, sebelum bulan puasa, akhir Oktober, semua rumah liar sudah dibereskan. Sutiyoso mengakui penertiban penduduk liar adalah pekerjaan yang tak populis dan makan hati. ”Namun terpaksa dilakukan demi tertibnya Ibu Kota,” katanya. Antropolog dari Maarif Institute for Culture and Humanity, Moeslim Abdurrahman, menilai langkah pemerintah daerah itu tak peka terhadap proses kemiskinan. Fenomena kemiskinan malah diatasi dengan cara-cara birokrasi seperti mempersoalkan hak atas tanah dan izin mendirikan bangunan. Dia khawatir langkah demikian bisa menimbulkan gejolak sosial. ”Bagaimanapun, mereka rakyat Indonesia,” ujarnya. Anehnya, belum ada satu partai pun yang peduli dengan nasib rakyat yang tergusur ini. Barangkali sudah tak ada lagi partai yang memperjuangkan wong cilik. Jobpie Sugiharto, Sudrajat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus