Para gubernur, wali kota, dan bupati beserta wakil-wakilnya yang baru terpilih patut cemas. Meski keputusan presiden yang mereka kantongi menyebut masa jabatan mereka lima tahun, Dewan Perwakilan Rakyat kini berkehendak lain. Seiring dengan perubahan sistem pemilihan kepala daerah, para politikus yang berkantor di Senayan itu mengusulkan agar masa jabatan kepala daerah yang kini lima tahun disunat setengahnya.
Hal itu tercantum dalam Pasal 123-G Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Pemerintahan Daerah versi DPR. RUU itu telah diajukan ke pimpinan Dewan, 10 September lalu, untuk dibahas bersama pemerintah pada masa persidangan yang akan dimulai akhir Oktober ini. ”Target kita sih Desember sudah bisa disahkan,” kata Ketua Badan Legislasi DPR, Zain Badjeber, kepada TEMPO Rabu pekan lalu.
Bila merujuk pasal 123-G itu, Zain menjelaskan, untuk kepala daerah dan wakil kepala daerah yang masa jabatannya berakhir sebelum Pemilu 2004, pemilihan kepala daerah dan wakilnya yang baru harus ditangguhkan. Sebagai gantinya, pemerintah akan menunjuk seorang penjabat sementara. Pemilihan baru boleh dilakukan selambat-lambatnya 3 bulan setelah pelantikan DPRD hasil Pemilu 2004.
Tapi, bagi mereka yang telah menjabat sekurang-kurangnya 30 bulan dari masa jabatannya yang 60 bulan, masa jabatannya dinyatakan selesai. Selanjutnya, dilakukan pemilihan kepala daerah dan wakilnya yang baru secara langsung, paling lambat 3 bulan terhitung sejak pelantikan DPRD hasil Pemilu 2004. ”Kalau ada yang baru enam bulan menjabat, ya, dia punya waktu sisa 24 bulan lagi. Setelah itu, dilakukan pemilihan baru secara langsung oleh rakyat dengan masa jabatan kembali lima tahun,” kata politikus dari PPP itu.
Pemerintah kurang sreg dengan bunyi ”pasal penyunatan” yang dibuat DPR. Pemerintah pun merancang RUU serupa. Secara teori, menurut Direktur Jenderal Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri, Oentarto Sindung Marwadi, bisa saja semua kepala daerah diganti secara serempak. Sebab, setiap undang-undang yang baru memang bisa menggantikan yang lama. Tapi langkah itu bakal menimbulkan banyak ekses. ”Atau taruhlah sebagai pejabat mereka tunduk pada aturan baru. Tapi bagaimana dengan kekuatan politik pendukungnya? Ini kan repot, bisa menimbulkan kekecewaan dan gejolak,” ujar Oentarto.
Anggota DPR sendiri tidak bulat. Dari sembilan fraksi, tiga fraksi berkeberatan dengan ide mempersingkat masa jabatan kepala daerah. Hanya, diakui Rustam E. Tamburaka, yang menjadi juru bicara Fraksi Partai Golkar, pihaknya kalah suara. Dia bersama Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia dan Fraksi TNI/Polri dalam pembahasan ”Tim RUU Revisi Pemda” di Wisma Kopo, awal Agustus lalu, berkeras ingin agar kepala daerah dibiarkan menghabiskan masa jabatannya selama lima tahun, baru kemudian dilakukan pemilihan secara langsung sesuai dengan tuntutan zaman.
”Tapi apa daya. Ketika itu, Pak Badjeber didukung mayoritas fraksi Islam,” kata Rustam. Dia pun mengaku kaget dengan sikap PDIP, yang mengekor Zain Badjeber. Tapi hal itu, katanya, lebih karena juru bicara Fraksi Banteng kurang mendapatkan bekal dari induknya. Di balik dalih demokrasi dan reformasi untuk secepatnya menerapkan pemilihan kepala daerah secara langsung, Rustam mengendus alasan lain, yakni rotasi dan perebutan kursi.
Faktanya, 16 dari 32 kursi gubernur yang ada diisi kader Golkar. Dan lebih dari 70 persen bupati dan wali kota pun masih ”loyalis Beringin”. Nah, dengan dipangkasnya cepat-cepat masa jabatan itu, partai-partai politik yang menjadi pesaing Golkar tentu berharap bisa segera merebut posisi-posisi tersebut.
Zain Badjeber mengakui saat ini kader partainya masih segelintir saja yang duduk sebagai gubernur, bupati, atau wali kota. Tapi dia mengelak jika dikatakan karena kondisi tersebutlah dia lantas memprakarsai usul percepatan masa jabatan kepala daerah. Menurut dia, para kepala daerah tak perlu khawatir masa jabatannya dipangkas. Jika mereka memang populer, peluang dipilih kembali tetap terbuka. Apalagi, dalam RUU revisi itu, calon nonpartai bisa ikut tampil sebagai calon kepala daerah. ”Partai mayoritas di DPRD tidak mesti calonnya terpilih. Semua amat tergantung tokoh yang ditawarkan,” katanya.
Sudrajat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini