Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UNTUK ketiga kalinya pemerintah RI mengirim tim khusus ke Swedia. Kali ini pun tim itu bertugas "memburu" Hasan Tiro dan pemimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM) lainnya di sana. Tim yang terdiri atas unsur polisi, jaksa, instansi politik-keamanan, dan Direktorat Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri itu menyerahkan dokumen tambahan seribu halaman lebih. Isinya bukti-bukti hukum keterlibatan para pemimpin GAM itu dalam pemberontakan di Aceh dan teror bom di berbagai kota di Indonesia.
"Kesan kita, mereka serius menangani kasus ini," ujar Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda. Apa arti penting pe- ngiriman dokumen itu bagi penyelesaian konflik di Aceh? Dan mungkinkah mereka diadili dengan hukum Indonesia? Wartawan TEMPO Adi Prasetya dan Purwani Diyah Prabandari mewawancarai Hassan Wirajuda pekan lalu. Petikannya:
Secara spesifik, apa tujuan pengiriman tim ketiga ke Swedia?
Setelah (pengiriman tim terdahulu) dinilai ada dasar untuk proses hukum, berkasnya diserahkan ke kejaksaan lokal Stockholm. Rupanya, jaksa penyidik khususnya meminta informasi tambahan baru soal keterkaitan pemimpin GAM di Swedia dengan operator peristiwa di Aceh. Kita kan mendalilkan GAM tak hanya memberontak, yang dapat di- hukum menurut hukum kita ataupun hukum Swedia, tapi juga bertanggung jawab atas terbunuh, terluka, dan hilangnya harta benda sejumlah orang.
Apa isi dokumen baru itu?
Mereka minta bukti hukum hubungan dan bukti keterkaitan langsung pemimpin GAM di Swedia dengan operatornya di Aceh. Yang kita sampaikan November lalu baru summary. (Karena itu) kita susulkan dokumen hukum seperti putusan pengadilan keterlibatan GAM dalam pengeboman gedung Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan pada peristiwa bom Natal di Medan. Juga kita sampaikan berita acara pemeriksaan polisi, pengakuan Teungku Amri bin Abdul Wahab tentang keterkaitan mereka dengan GAM.
Bukankah Amri tak diakui sebagai petinggi GAM?
Itu taktik gerilya. Kalau ada tokoh yang menyerah, pasti akan dikecilkan posisi dan artinya.
Seribu halaman lebih?
Saya menyaksikan sendiri dokumen (seribu halaman) itu. Diterjemahkan oleh penerjemah tersumpah, bukan oleh penerjemah pemerintah, karena ini punya konsekuensi hukum.
Seriuskah Swedia dalam kasus ini?
Kesan kita, jaksa yang ditugasi bekerja. Tapi itu proses hukum yang njlimet, tidak mudah. Untuk memudahkan proses, saya pernah mengusulkan kepada Duta Besar Swedia sebelum ini, Harald Nils Erik Sanberg, silakan polisi dan kejaksaan Swedia datang ke Jakarta untuk mewawancarai para tokoh GAM dan saksi di sini.
Reaksi mereka?
Mereka terbuka. Hanya, belum menjawab ya atau tidak. Mereka ingin mempelajari dulu dokumen itu.
Seberapa pentingkah upaya itu bagi Jakarta?
Sifatnya hanya pelengkap dari pe- nanganan menyeluruh soal Aceh. Kunci utamanya tetap upaya dalam negeri, operasi terpadu.
Sudah tampakkah hasilnya?
Kita bisa melihat upaya itu mampu membungkam pemimpin GAM di sana. Di media kita atau asing, jarang ada tanggapan, komentar, atau kampanye mereka terhadap apa pun yang kita lakukan.
Atau targetnya memang itu saja?
Tidak. Kita serius. Itu baru hasil pendahuluan. Mengapa mereka tak berani berceloteh lagi? Karena, bagi Swedia, makin banyak mereka berbicara soal kejadian di lapangan di Aceh, makin kuat bukti mereka punya direct link (ke- terkaitan langsung).
Tapi Malik bin Mahfud masih ter- dengar komentarnya?
Malik beda. Ia belum warga negara Swedia. Ia baru punya visa sementara yang kabarnya berakhir bulan ini. Dia warga Singapura, lahir dan besar di Singapura. Dia lebih leluasa ngomong. Tapi tokoh lain yang terjangkau hukum Swedia praktis tak terdengar berkomentar. Kita "kunci" mereka dengan hukum Swedia sendiri.
Indonesia minta mereka diadili di Swedia atau diekstradisi?
Pertama, tidak ada perjanjian ekstradisi (Indonesia-Swedia), jadi itu tak mungkin. Kedua, meskipun mereka dari Aceh, Hasan Tiro dan kawan-kawan kan sudah warga negara Swedia. Kita serahkan pada proses hukum Swedia sendiri.
Belum lama ini, Human Rights Watch melansir ditemukannya banyak pelanggaran hak asasi manusia selama operasi militer di Aceh?
Laporan itu berdasarkan interview 85 orang Aceh di Malaysia yang mengklaim (dirinya) pendatang sesudah operasi (militer). Kita punya data (dari pemerintah Malaysia) yang menyebut ada 232 warga Aceh di sana yang dinyatakan pendatang haram. Kita juga tahu, mereka datang sebelum Mei 2003, sebelum operasi terpadu digelar. Karena itu, dalam press release, sikap kita jelas bahwa laporan itu tak akurat dan misleading. Mereka diwawancarai sesudah berada di Malaysia sebelum operasi terpadu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo