PENDUDUK Desa Pandu, Kecamatan Wori, Minahasa, kini malu menyebut tempat asalnya. Sebab, saban kali mereka melintas kampung tetangga, orang-orang mengolok-olok mereka. "Hidup kusta! Hidup kusta!" teriak penduduk tetangga. "Olok-olok itu sangat menyayat hati," ujar seorang warga Pandu. Setelah sering dicemooh, akhirnya, puncak kemarahan pun tiba. Ini terjadi, kala sebuah grup vokal dari desa itu bertanding di ibu kota kabupaten. Ketika naik ke panggung, langsung disambut hadirin dengan teriakan, "Hidup kusta! Hidup kusta! " Maka, akhir bulan lalu, di suatu sore yang cerah, sekitar seratus penduduk Desa Pandu berkumpul. Tak tanggung-tanggung, seperti hendak perang antarsuku, mereka menabuh genderang. Lodewijk Pangkey, sang kepala desa, sebenarnya masih dibuai tidur istirahat siang. Tapi, bunyi genderang itu terasa aneh. Tak lazim Kelompok Tani Mapalus memukul genderang di senja seperti itu. Biasanya, genderang ditabuh pagi hari, ketika kelompok tani itu bergerak berangkat ke ladang. Merasa curiga, kepala desa itu bangkit dari ranjangnya. Betapa ia kaget, karena sekitar seratus penduduk, ternyata, ditemuinya telah berkumpul di halaman belakang Balai Desa. Lodewijk Pangkey, kepala desa yang di tanah Minahasa dipanggil "Tete", segera bertindak. "Jangan mengganggu keamanan," katanya, menegakkan wibawa. "Kalau tidak senang lagi pada saya sebagai kepala desa, silakan. Saya siap berhenti saat ini juga!" Dua orang penduduk, memang, kemudian mendekatinya. "Tete," kata penduduk itu dengan hormat, "kami tidak akan berbuat apa-apa." Bunyi genderang pun henti. Kerumunan penduduk yang berang itu menunjukkan gelagat membubarkan diri. Lantas, merasa keadaan sudah aman, Tete Lodewijk kembali ke rumahnya. Dengan tenang, ia pun mandi sore. Tapi, saat itulah, huru-hara pecah. Sebagian penduduk yang, rupanya, tetap berang, berangkat meneruskan niat mereka. Maka, terjadilah: perusakan sekitar lima puluh rumah yang dihuni eks penderita kusta. Alhamdulillah, tak ada korban, karena memang, yang dilabrak tak melawan. Sesungguhnya, sejak 18 Juni lalu, penduduk Desa Pandu telah menyimpan kemarahan. Sejak hari itu, 153 jiwa penderita kusta terdiri dari 34 kepala keluarga dan 24 bujangan -- dipindahkan hanya 200 meter sebelah timur Desa Pandu. Program ini disebut resosialisasi. Para penderita kusta itu, yang selama ini dirawat di Rumah Sakit Kusta Malalayang, telah dianggap sembuh. Maka, tinggal tahap penyembuhan sosial, alias "mendekatkan" mereka dengan masyarakat, atau memasyarakatkan mereka kembali agar hidup normal (resosialisasi). Rumah Sakit Kusta Malalayang itu sendiri, di sebelah selatan Kota Manado, kini telah rata dengan tanah. Gedungnya ditraktor, dan di lokasi itu, akan dibangun Rumah Sakit Umum Manado. Benarkah semua penderita kusta itu telah sembuh betul? Pertanyaan inilah yang merisaukan penduduk Desa Pandu. Ketika lokasi permukiman kembali penderita kusta ini baru dibangun, Maret lalu, penduduk sebenarnya sudah protes. Tapi mereka bisa diredakan, karena percaya bahwa penderita kusta itu sudah sembuh benar semuanya. "Padahal, ternyata, cukup banyak yang kakinya masih dibungkus plastik," ujar Ina Isa, salah seorang penduduk. Akibatnya, penduduk tak lagi berani mandi, mencuci, dan menangguk udang di Sungai Kokole, yang mengalir di desa mereka. Soalnya, lokasi permukiman penderita kusta, seluas 13 ha, itu berada di hulu sungai. "Kami tak berani menjamah air sungai, dan kami tidak lagi makan udang," tambah Ina lagi. Ekses, bahkan, berkembang lebih jauh. Sayur-mayur hasil pertanian penduduk tak lagi laku dijual di pasar Tuminting, Manado. "Kami terpaksa berdusta bahwa kami bukan dari Desa Pandu," ucap Ina. Tapi, Kepala Desa Lodewijk Pangkey membantah hal ini. "Itu tidak benar," katanya. "Saya sendiri pernah bertindak sebagai detektif." Kepala desa ini, katanya, penasaran, lalu terjun menyamar ke pasar-pasar di Manado. Hasilnya: tak sedramatis itu. Nelly Mongi, seorang pedagang di pasar Tuminting, berkata, "Kami tetap saja membeli hasil bumi dari Desa Pandu." Menurut pengamatan wartawan TEMPO di lokasi permukiman baru penderita kusta itu, memang benar, secara klinis, belum semua sembuh seratus persen. Setelah protes penduduk Desa Pandu, setidaknya, ada empat penderita yang terpaksa diungsikan. Belum jelas apa langkah selanjutnya yang akan dilakukan pihak Kanwil Depsos -- yang kini menjadi penanggung jawab proyek resosialisasi itu. Yang jelas ialah, para bekas penderita kusta itu toh kini lebih menderita, dibanding semasa tinggal di rumah sakit khusus kusta Malalayang. Misalnya, nasib pendidikan sekitar 40 anak mereka -- yang telah bersekolah mulai SD hingga SMTA. Agaknya, mereka masih harus disekolahkan di tempat tersendiri, seperti sebelumnya. Sebab, "Penduduk mengancam akan menghentikan sekolah anak-anaknya, kalau bergabung dengan anak kami," kata seorang penderita kusta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini