PERSOALAN pelintas batas Kalimantan Barat-Serawak (Malaysia Timur) muncul lagi ke permukaan. Ada desas-desus yang beredar bahwa para WNI keturunan Cina -- meski memiliki paspor harus mendapat rekomendasi khusus untuk bisa pergi ke seberang. Ihwal rekomendasi itu, kabarnya, diatur tidak tertulis. "Kalimantan Barat memang daerah yang khas," ujar Dudung Wargamiharja, Kepala Direktorat Sosial Politik Pemda Kal-Bar pekan lalu. "Tapi tidak benar ada diskriminasi," tambahnya. Bukan saja keturunan Cina, tapi orang Indonesia asli pun secara perorangan tidak diperkenankan melintas batas lewat darat tanpa rekomendasi dari Ditsospol Pemda Kal-Bar. "Kalau mau piknik, silakan lewat udara. Ini terbuka bagi mereka yang punya paspor." Perbatasan Kal-Bar dan Serawak memang daerah yang tergolong rawan. Di kawasan inilah beroperasi gerombolan pengacau PGRS. Bahkan, pada 1976, Laksusda Kal-Bar menyatakan daerah perbatasan itu sebagai daerah tertutup. Hingga kini, wilayah itu belum aman benar. Misalnya, baru-baru ini 16 anggota gerombolan komunis ditangkap di kawasan perbatasan. Kebanyakan anggota PGRS itu memang keturunan Cina. Tapi, bukan karena ini semata, demi keamanan perbatasan kedua negara, pihak Malaysia meminta agar pelintas batas keturunan Cina itu diperketat. "Penyelundupan juga tinggi, dan pelakunya sebagian besar keturunan Cina, atau yang dibiayai WNI keturunan Cina," kata sumber TEMPO. Penyelundupan itu terutama lewat Jagoibabang (Kabupaten Sambas) dan Entekong (Kabupaten Sanggau). Pada dasarnya, pintu resmi (border crossing) kedua perbatasan belum pernah dibuka. Meski berkali-kali sudah perundingan kedua negara berlangsung -- baik di tingkat Jakarta-Kuala Lumpur maupun regional Kal-Bar dan Serawak -- toh belum ada kesepakatan kapan pintu resmi itu akan dibuka. "Belum ada agreement resmi," ujar Jimmy M. Ibrahim, Sekwilda Kal-Bar. Kesepakatan yang ada ialah terbatas memberi kebebasan hanya bagi penduduk yang tinggal di kecamatan-kecamatan yang langsung berbatasan di pihak Indonesia, dan yang berdiam lima batu dari perbatasan bagi penduduk Serawak. Masih banyak hambatan bagi hubungan lintas batas yang terbuka. Misalnya, pihak Departemen Perdagangan dan Bea Cukai belum siap baik sarana maupun personel. Dewasa ini, berbagai kantor, termasuk Imigrasi, belum permanen. Masih berupa pos saja. Minat melintas batas lewat darat memang besar. Sebab, harga barang di Kucing, Serawak, rupanya, jauh lebih miring ketimbang di Pontianak. Karena itu, perdagangan gelap, atau penyelundupan, tumbuh menjadi masalah serius. Sesungguhnya, tak ada persoalan untuk pergi ke Kucing melalui udara. "Tapi barang yang bisa diangkut sedikit," kata seorang pedagang keturunan Cina. "Lewat darat bisa angkut pakai mobil," tambahnya. Dan memang kemungkinan membawa barang banyak-banyak itulah yang dilihat Mohamad Nor Bin Atan, 32, konsul Malaysia di Pontianak. Dalam rapat koordinasi yang hingga kini sudah dilakukan sebanyak 85 kali itu, menurut Nor, beberapa hal sudah disepakati. Antara lain bebas membawa barang dari Serawak sampai seharga $ 600 Malaysia satu kali perjalanan untuk kesempatan maksimal lima kali perjalanan dalam per bulan. "Nah, kalau mereka pakai 10 orang saja, untuk melakukan perjalanan itu, berapa mereka rugikan pemerintah?" ucap Mohamad Nor. Menurut konsul Malaysia itu, ada empat kriteria bagi mereka yang ingin menyeberang perbatasan lewat darat. Yaitu, undangan resmi kedua pemerintah, tugas-tugas resmi, kegiatan kebudayaan, dan faktor kemanusiaan. Yang terakhir itu, misalnya, ada keluarganya di seberang perbatasan sakit. "Kami tak membedakan ras. Kalau mereka mau lewat udara, silakan," ucap Mohamad Nor lagi. Laporan Djunaeni KS (Pontianak)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini